Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi menghantam industri air minum dalam kemasan akibat pembatasan interaksi sosial.
Setelah pandemi, isu mikroplastik dalam air kemasan kini menerpa.
Perang Rusia dan Ukraina membayangi tren positif bisnis air kemasan.
BIASANYA, Iswandono Poerwodinoto membeli air minum dalam kemasan galon Aqua untuk keperluan keluarganya di Duren Sawit, Jakarta Timur. Alasannya sederhana: selalu ada di toko retail. Kadang-kadang-kadang ia membeli Cleo karena kemasannya menarik. Belakangan, ia lebih sering membeli Le Minerale. “Soalnya tak harus bawa galon kosong,” kata laki-laki 77 tahun ini pada Rabu, 27 April lalu. “Rasanya lebih segar dan lebih murah.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang dirasakan Iswandono sebetulnya ekor dari perang pemasaran pelbagai merek air minum dalam kemasan, baik galon, botol, maupun gelas plastik. Setelah terpuruk selama dua tahun akibat pandemi Covid-19, industri air minum dalam kemasan (AMDK) mulai meriah lagi. Perusahaan kembali gencar berpromosi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aqua, misalnya. Merek air kemasan tertua dan terbesar dalam bisnis air mineral ini menggempur pemirsa televisi setiap hari, terutama menjelang waktu berbuka puasa selama Ramadan, 3 April-1 Mei 2022. Dengan slogan “kurang minum menurunkan konsentrasi dan fokus”, Aqua mengklaim mengambil sumber air mereka dari pegunungan.
Le Minerale tak mau kalah. Merek ini menekankan kandungan mineral dalam air kemasan mereka: kalium, magnesium, dan natrium. Karena itu, Le Minerale memasukkan slogan rasa dalam air, “kayak ada manis-manisnya”. Dengan kemasan yang variatif, Le Minerale menggaet pembeli lewat tampilan dengan menyediakan pegangan di tutup galon, yang membuat konsumen seperti Iswandono kepincut.
Di tengah tren pemulihan, industri air mineral diterpa isu kandungan bisfenol A (BPA) dalam produk kemasan galon guna ulang. Juga kandungan mikroplastik dalam air kemasan galon sekali pakai berbahan polietilena tereftalat (PET). Badan Pengawas Obat dan Makanan tengah memantau dan mengkaji kedua persoalan tersebut.
Meski sedang menjadi sorotan, bisnis air minum dalam kemasan mungkin menggeliat kembali tahun ini. Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan (Aspadin) memproyeksikan pertumbuhan industri ini akan lebih tinggi ketimbang raihan pada 2021 yang mencapai 4-5 persen. Bahkan masih ada ruang 8 persen seperti sebelum masa pandemi. Syaratnya, “Kebijakan pemerintah kondusif, Covid-19 tertangani, tahun ini bisa lebih baik,” ucap Ketua Umum Aspadin Rachmat Hidayat.
Pada awal tahun masa pandemi, 2020, bisnis air minum dalam kemasan mendapat tekanan berat. Permintaan anjlok. Penjualan semua produk kemasan kecil, seperti gelas dan botol, merosot signifikan. “Turun lebih dari 40 persen,” tutur Rachmat.
Pembatasan interaksi sosial membuat acara kumpul-kumpul tak bisa digelar dan restoran pun tutup. Akibatnya, permintaan terhadap air minum kemasan botol dan gelas turun. Sementara itu, produksi tetap berjalan karena pemerintah mengizinkan industri esensial—termasuk makanan dan minuman—terus beroperasi. Ketidakseimbangan suplai dan permintaan ini yang mengguncang industri air minum.
Bisnis air kemasan tertolong permintaan air kemasan galon yang biasa dikonsumsi rumah tangga, perkantoran, dan pabrik. Karena itu, perusahaan air minum dalam kemasan galon masih mencetak pertumbuhan. “Pada 2020, bisnis AMDK tumbuh sekitar 1 persen,” Rachmat menambahkan.
Memasuki tahun kedua masa pandemi Covid-19, kondisi membaik. Kegiatan masyarakat mulai bergulir seiring dengan program vaksinasi dan pelonggaran interaksi sosial. Program pemulihan ekonomi pemerintah lumayan mendorong kegiatan ekonomi. Pendapatan dan daya beli masyarakat pelan-pelan naik.
Direktur Komunikasi Korporat Danone Indonesia Arif Mujahidin berharap pertumbuhan ekonomi dan industri air kemasan segera membaik dengan berakhirnya pandemi. Kini tekanan berat datang dari krisis global akibat invasi Rusia ke Ukraina yang menghambat pasokan barang.
Kinerja bisnis AMDK Danone sejauh ini masih positif. Perusahaan yang terdaftar di bursa Euronext di Paris (berkode BN-FR) ini membukukan kenaikan tingkat penjualan 4,5 persen per semester I 2021. Kenaikan ini didorong pertambahan volume penjualan secara bertahap.
Yuna Eka Kristina, Head of Public Relations & Digital Le Minerale, juga optimistis industri air kemasan pulih seusai pandemi. “Saat aktivitas masyarakat mulai normal, permintaan terhadap AMDK meningkat kembali,” ujarnya. Ia yakin target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah sebesar 7 persen akan berimbas terhadap pemulihan semua sektor, termasuk industri air minum.
Le Minerale diproduksi oleh PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Grup Mayora. Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi PT Mayora Indah Tbk, per triwulan I 2022, Tirta Fresindo membukukan penjualan bersih Rp 100,682 miliar atau 1,33 persen dari total pendapatan grup. Jumlah itu naik dibanding perolehan pada triwulan I 2021 yang hanya Rp 61,449 miliar. Mayora mencatat penjualan dan pendapatan usaha Rp 7,585 triliun per Maret 2022, naik dari Rp 7,335 triliun pada periode tahun sebelumnya.
Pemain besar bisnis AMDK lain adalah PT Tirta Sukses Perkasa—dulu PT Tirta Bahagia. Pada November 2013, produsen air mineral merek Club ini diakuisisi PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Sedangkan PT Tri Banyan Tirta Tbk, yang memproduksi Alto, kepada otoritas bursa mengatakan pandemi menurunkan laba bersih konsolidasi 25-50 persen hingga Maret 2022.
Optimisme tinggi dinyatakan PT Sariguna Primatirta Tbk, produsen Cleo. Perusahaan itu memproyeksikan penjualan tahun ini meningkat 30 persen. Tahun lalu Sariguna membukukan penjualan bersih Rp 1,103 triliun, naik dibanding pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp 972 miliar. Pendapatan terbesar diperoleh dari penjualan produk segmen nonbotol. Menutup 2021, perseroan membukukan laba tahun berjalan Rp 180 miliar, naik dari Rp 132 miliar pada tahun sebelumnya. “Target pertumbuhan double digit cukup realistis,” kata Melisa Patricia, Wakil Direktur Utama PT Sariguna Primatirta, dalam keterbukaan kepada Bursa Efek Indonesia, 11 Februari 2022.
Melisa merujuk pada prospek industri AMDK yang tumbuh positif setelah interaksi sosial dilonggarkan. “Kepedulian akan kesehatan dan produk berkualitas membuat masyarakat lebih memperhatikan makanan dan minuman,” tuturnya. Ia yakin hal itu akan mempengaruhi tingkat konsumsi air minum dalam kemasan.
Karena itu, Cleo berekspansi secara masif. Perusahaan berencana membangun tiga pabrik pengolahan air minum dalam kemasan di Balikpapan, Palangka Raya, dan Palembang. Untuk membangun semua infrastruktur itu, kata Melisa, perusahaan menyiapkan Rp 63 miliar atau sekitar 28 persen dari total belanja modal perseroan tahun ini.
Manajemen PT Sariguna juga menambah 88 cabang distribusi dengan 383 mitra di seluruh Indonesia. Cleo berambisi menaikkan pangsa pasar yang mereka nilai masih bolong. “Melihat permintaan yang naik, kami berfokus meningkatkan kapasitas agar bisa terus memenuhi kebutuhan dan menjaga kualitas produk,” Melisa menambahkan.
Meski memasuki tren positif, Rachmat Hidayat mewanti-wanti tahun ini tetap ada kendala dalam bisnis air minum dalam kemasan. Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai dari 10 persen menjadi 11 persen berlaku mulai 1 April 2022. Tarif ini akan terus naik hingga menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Perang Rusia-Ukraina yang belum terlihat akan berakhir, kata Rachmat, juga menghambat pasokan minyak sebagai bahan bakar sehingga berdampak pada rantai pasok dunia produksi industri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kemasan Bisnis Air Kemasan"