Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bangsawan-bangsawan di tengah debu hyderabad

Kehidupan para bangsawan di hyderabad dan puri-purinya merupakan lambang sebuah zaman yang nyaris punah. beberapa kebiasaan lama masih gigih dipertahankan. (sel)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sekian banyak taha dan kerajaan tenggelam dalam sejarah. Di sana-sini puri dan istana tinggal kenangan. Para penghuninya pun tak lagi dilimpahi puji dan sembah. Tapi di Hyderabad, ada saatnya sang waktu seperti tertegun melangkah. "Beberapa kebiasaan lama masih gigih bertahan di sini," kata Sunil Sethi dalam tulisannya di India Today, akhir Juni 1982. Dan ia pun bertutur perihal kota kuno itu, terutama para bangsawan dan puri-purinya, lambang sebuah zaman yang nyaris punah. Di antara "wakil masa silam" itu, tersebutlah Zainul Abiddin Khan, 6 tahun, cucunda Itsam ul Mulk, penguasa tanah-tanah pribadi sang Nizam. Seperti tak sudi meninggalkan kebiasaannya di masa lampau, bangsawan ini tetap bangun di subuh buta, untuk melakukan namaz yang tak pernah dilupakannya setiap hari. Setelah itu ia menghampiri kandang satwa peliharaannya, memberi makan merpati dan burung hias yang segera riuh berkicau menyambut kedatangannya. Kemudian membelai dan bercanda dengan anjing-anjing kesayangannya: tiga ekor dachshund yang manja, dan seekor fox-terrier yang senantiasa waspada. Bergerak santai di antara tiang-tiang Istana Kuno Aziz Manzil yang didiaminya, Khan itu bagai menyisihkan diri dari dunia. Puri itu memiliki 50 kamar. Di sana sini, Zainul Abiddin berusaha menambahkan sesuatu yang baru. Kadang-kadang ia menggunting gambar pin up majalah-majalah Barat, merekatkannya ke dalam pigura antik yang bergantungan sepanjang dinding. Sebagian besar lukisan asli pigura itu sudah lama lenyap -- entah ke mana. Sekali-kali, Zainul Abiddin masih menerima tamu untuk sebuah jamuan teh di petang hari. Ia pun tampil dalam busana sherwani dan kopiah khas yang memperlihatkan harkat kebangsawanannya. Pada saat seperti itu, ada saja bahan pergunjingan. Misalnya tentang seorang sepupu yang beruntung, yang beroleh menantu seorang bangsawan Prancis. Atau perihal biskuit Osmania, yang secara khusus mendapat nama Nizam terakhir. "Tidakkah biskuit itu luluh dengan halusnya di mulut anda? Langsung luluh?" katanya bangga kepada para tetamunya. Parasnya yang feodal segera tampak lebih kukuh, didukung bentuk hidungnya yang panjang dan aristokratis. Tokoh lain yang dikisahkan Sunil Sethi ialah Mir Moazan Hussain, cucu Fakhr ul Mulk, bangsawan legendaris dari Rumah Nizam. Termasyhur akan selera makannya yang tinggi, Hussain kini tak lagi mendiami rumah tempat ia dilahirkan. Yaitu bangunan yang dinamakan Izam Manzil, puri dengan 150 kamar di atas tanah pribadi 400 acre, tertenggek di pucuk sebuah bukit yang elok. Setelah berhenti sebagai pekerja sosial di PBB selama 26 tahun, ia kini menghuni villa mungil yang sangat indah di Perbukitan Banjara. Di atas tanah lima acre itu ia melampiaskan kegemarannya berkebun. Di sana-sini taman dan serambi semarak dengan kesuma lily, terusan dan air terjun buatan, menambah seronok pemandangan. Secara teratur Mir Moazan Hussain memberikan ceramah di kalangan Golconda Society. Ia mengambil tema seperti Hyderabad: Dulu dan Kini, dan mengutip dengan cemerlang Oscar Wilde, Francis Bacon, Themistocles, T.S. Eliot, dan Nizam Jung yang sering dijuluki "putra terhormat Hydcrabad." Hussain kini banyak menaruh perhatian pada pemeliharaan lingkungan kota dan penyelamatan arsitekturnya. Dan berbeda dengan banyak bangsawan lain, ia tak segan-segan memberikan analisa yang dingin atas masalah yang banyak dipertanyakan. Yaitu: mengapa kekunaan Hyderabad bagai tersisih, dan mengapa aristokrasinya nyaris dilupakan? "Mereka terpaku di dalam istana-istananya," kata Hussain, "dan memisahkan diri dari rakyat. Mereka tak memiliki cinta sejati terhadap istana-istana itu, dan tak memendam kasih sayang yang tulus terhadap bumi ini." Lalu ia menambahkan, "Etos 200 tahun sudah silam. Badai agaknya terlalu mengguncangkan tatkala perubahan itu tiba." Namun bagi Indira Devi Dhanrajgir, persoalannya mungkin agak lain. Ndoro putri ini tetap saja bangun setelah matahari terbit, dan menerima sarapan pagi di tempat tidurnya yang lapang. Sama dengan perabot lain di dalam kamar itu, tempat tidur Devi terbuat dari hasil kerajinan kayu Italia yang elok, penuh bertatahkan gambar. Sebagai anak sulung keluarga yang menunjang sektor keuangan para Nizam Hyderabad, ia berhak menghuni salah satu sayap wisma yang sangat luas dan indah, yang lebih dikenal dengan nama Istana Gyanbagh. Devi adalah cucu Raja Narsinghgir yang sekali waktu di masa lampau meminjamkan uang untuk pembangunan rel kereta api kepada Nizam ke-6. Sampai kini Devi sendiri tampak berusaha keras mempertahankan citra leluhurnya. Tiga untai mutiara menghias lehernya yang jenjang. Jari jemarinya bertatahkan cincin berlian dan kecubung yang sangat menyolok. Di dalam buku telepon namanya tidak akan dijumpai di dalam kelompok "I" maupun "D" melainkan "R". Itulah singkatan Rajkumari, yang mengingatkan orang pada kebangsawanan. Menikah dengan penyair "termasyhur" Telugu, Seshendra Sarma, Devi tampaknya tak menaruh perhatian pada bisnis. Ia lebih suka menyibukkan diri dengan hal ihwal yang berbau kesusastraan. Ia Presiden Akademi Andhra Pradesh Hindi, menulis puisi dan kritik. Berbeda dengan kawula biasa, kata Sunil Sethi dalam tulisannya, "Devi tak perlu khawatir akan pelbagai beban hidup, misalnya membayar sewa rumah." Devi sendiri terus terang menikmati kenyataan itu. "Keluarga kami nomor dua terkaya di selatan ini," katanya, seraya mengelus sepasang jembangan porselen antik Perancis yang sangat mahal, anugerah Sri Salar Jung III. "Kamilah Rockefeller Hyderabad," ujar Devi menambahkan, dengan perasaan bangga. Mungkin saja pernyataan Devi agak berlebihan. Namun "mereka adalah tokoh zaman keemasan dunia lain, yang telah mencoba menyesuaikan diri dengan perubahan masa," kata Sunil Sethi. Masih tak terhitung jumlah orang seperti mereka di Hyderabad, yang seakan-akan menutup pintu untuk masa kini, dan menyepi dalam bayang gemerlapan masa lampau. Bagi mereka, kenangan akan Hyderabad kuno bagai tak pernah beranjak. Pada sebagian mereka, masa lampau itu masih melekat dalam sopan santun, tutur bahasa, serta selera akan makanan dan minuman. Tapi di atas segalanya, di tengah hingar bingar kota modern yang makin berkembang, mereka kian menjadi bagian sebuah mimpi tentang istana-istana di masa lampau. Nama-nama yang diberikan kepada pelbagai istana itu bukan saja mencerminkan semangat suatu periode, melainkan juga aspirasi para pendirinya. Ambillah umpamanya Aasman Mahal dan Galaxy, atau Iram Manzil yang berarti "Nirwana". Ada pula Falaknuma, yang secara harfiah bermakna "Cermin Angkasa". Beberapa bangunan megah itu ada yang cuma tinggal puing, beberapa lainnya sedang menanggung masa suram -- atau paling tidak berubah fungsi. Iram Manzil adalah sebuah contoh yang khas. Kumal dan tak terpelihara, puri itu kini menampung beberapa kantor pemerintah. Padahal ketika didirikan, nun pada suatu zaman keemasan di masa lampau, Iram Manzil merupakan bagian tersendiri yang sangat serasi dengan alam sekitarnya. Direncanakan secara seksama, kompleks ini memiliki hutan pribadi, tempat-tempat tamasya dan bersenda gurau, danau, dan lapangan polo. Tembok yang memagarinya terentang sampai beberapa mil. Di situ pernah mengabdi 927 jongos dan pelayan. Ada gudang khusus menyimpan susu dan mentega, istal yang mampu menampung 100 ekor kuda, garasi dengan kapasitas 20 mobil, hospital, bahkan satuan polisi khusus. Lalu bagaimana suasana di dalam? "Dengan segala kemudahan yang melimpah ruah itu, kehidupan di dalam istana tetap diatur tata protokoler yang ketat dan formalitas yang kaku," kata Sunil Sethi. Keterangan itu dibenarkan Moazam Hussain dengan menceritakan pengalaman masa kecilnya. Hussain tak bisa melupakan hari-hari ketika ia diajak hadir dalam pertemuan resmi dengan para kakeknya. "Kursi-kursi diatur dengan cara tertentu, tak pernah berubah, untuk para putra, menantu, dan cucu kakek dalam pertemuan tetap sejam setiap petang," katanya mengenang. Bila ada kerabat yang tidak datang, kursinya dibiarkan kosong, tak boleh diduduki orang lain. Wajib mengenakan pakaian sherwani, setiap orang memberi salam takzim menurut yang sudah diadabkan. Langkah pulang pun harus diatur, tak bisa sembarang membelok sesuka hati. Tak boleh duduk sebelum dipersilakan, tak boleh duduk dengan kaki bersilang, dan tak boleh angkat bicara kalau tak ditanya. Biasanya, dalam acara sowan seperti itu, pembicaraan berkisar di sekitar berita keluarga. "Tapi ada juga gossip," kata Hussain. Kadang-kadang kakek kehilangan nafsu berbicara. Ia hanya mengangkat alis sedikit, bergumam beberapa kali, "kemudian bangkit untuk menyelesaikan bacaannya. Illustrated London News. Sementara itu, anda harus tetap duduk dan membisu." Iram Mazil sudah tak lagi membayangkan masa lampau seutuhnya. Di situ kini berkantor beberapa instansi pemerintah. Bangsal-bangsalnya yang lapang dikotak-kotak untuk ruangan para sekretaris dan stenografis. Namun ia bukan satu-satunya bangunan sejenis yang bernasib serupa itu. Puri yang lebih kecil juga kadangkadang harus bernasib sama. Bahkan beberapa terpaksa dikotak-kotak untuk anak-cucu yang ditinggalkan. Wisma Aziz Manzil, umpamanya, kini antara lain dijadikan kantor bisnis angkutan truk. Nasib seperti itu pulalah yang menimpa Istana Begumpet, yang kini terletak dekat bandar udara. Di masa lampau, bangunan megah ini menjadi tempat kediaman yang sangat mengesankan, dibangun seorang bernama Sir Vicar untuk keempat anaknya. Kini Begumpet nyaris bagian dari daftar inventaris. Para pewarisnya tinggal di sebuah rumah kecil dengan disain modern. Seperti dikatakan Ahmad Yar Khan, salah seorang keturunan Sir Vicar, yang mendirikan istana dengan 125 kamar itu, "kami tak mampu membelanjai Begumpet. Mungkin sebentar lagi bangunan itu runtuh berkeping-keping." Tak sedikit di antara para bangsawan menempuh "jalan kompromistis" dengan menyerahkan puri dan istananya kepada pemerintah. Beberapa di antara bangunan itu kemudian dijadikan guest house, lainnya perkantoran sekolah, atau rumah sakit. Sementara itu, bagaimana dengan koleksi barang antik dan kesenian yang dulu berjejal di sana? "Satu demi satu harang-barang itu dijual," kata Sunil Sethi. Zainul Abiddin Khan sedikitpun tak ragu ketika menuturkan, "kami menjual semua koleksi yang sangat indah itu, yang dikumpulkan selama tujuh generasi, untuk membayar pajak dan iuran wajib kepada negara." Semuanya? "Perabot keemasan dari zaman Louis XIV, lampu-lampu kristal, ya, semuanya. Yang anda lihat sekarang hanya sampah." Di kota yang sering dibicarakan lantaran arsitekturnya ini, sejak zaman dinasti Qutbshahi dari Golconda, ledakan terakhir demam membangun dimulai sekitar 1880-an. Salah satu penguasa dari masa itu adalah Mahbub Ali Pasha (1869-1911), Nizam ke-6, tokoh yang sangat kontroversial. Ia dilukiskan "sekaligus saleh dan keji, suci dan murtad, naik tahta pada usia tiga tahun, dan mangkat pada 42." Baginda diakui sangat berperanan dalam mengubah Hyderabad di perantian abad mulai dari mode busana kerajaan sampai penggalakan pendidikan. KENDATI ia memilih tinggal di Purani Haveli, salah satu istana tertua di dalam kota, ia memperluas bangunan itu dan mendandaninya dalam gaya baroque yang berat. Seleranya pilihan. Ia hanya mau menggunakan kaus kaki buatan Prancis, dan setiap pasang dipakainya tak lebih dari sekali. Gaya berpakaiannya demikian boros, sehingga di dalam istana itu ia mendirikan ruangan pakaian yang terpanjang di dunia. Sangat jarang Mahbub Ali sudi mengenakan pakaian yang sudah pernah dipakainya, meskipun hanya sekali. Demikian pula halnya perlengkapan lain. Beberapa peninggalannya masih bisa dilihat sekarang sepatu dan kopiah jahitan tangan, yang sedikit demi sedikit mulai remuk dimakan rayap Mahbub sendiri, yang juga pecandu minuman keras, tak membangun istana baru. Di antara para pembangun masa itu tersebutlah Sir Vicar ul Umra, yang sudah dibicarakan di bagian terdahulu, perdana menteri dan sekali waktu Dewan dalam pemerintahan Mahbub Ali Pasha. Dalam hal selera, Sir Vicar sama pemilihnya dengan sang Nizam yang diabdinya. Sampai hari ini ia masih dikenang melalui Istana Falaknuma yang dibangunnya, yang kini sering diperolok-olokkan sebagai "kebodohan Hyderabad". Bangunan ini bukan saja mengangkat Sir Vicar ke jenjang kemuliaan, tapi juga membuat ia tumpur habis-habisan. Mulai didirikan pada 1884 di puncak sebuah bukit terpilih, "Falaknuma memperagakan ketrampilan internasional." Semua pualamnya didatangkan dari Carrara, Italia. Langit-langit ruangan pestanya -- yang mampu menjamu sekaligus seratus tamu -- dilapisi kulit oleh para tukang dari Florentine. Urusan permadani dan gorden diserahkan kepada para tukang dari Prancis. TAPI secara tipikal pula, istana yang luar biasa megah ini memamerkan kombinasi gaya Barat yang paling acak-acakan. Perabot zaman Victoria disandingkan dengan porselen Prancis dan Jerman, dijejali lagi oleh patung-patung Italia. Meja-kursi gaya kraton Prancis bergandengan potret-potret dari Inggris. Aneka hiasan perak dan keemasan berjejalan bersama porselen Cina, sementara di serambi istana menanti dengan takzim para kusir dalam pakaian seragam khusus. Sir Vicar hidup di Falaknuma dalam gaya feodal besar. Di situ ia menerima kunjungan para bangsawan dan utusan dari Eropa. Syahdan pada 1895, berdatanganlah ke Falaknuma Mahbub Ali Pasha bersama seperangkat wanita kesayangannya. Mereka bermalam di situ beberapa hari. Terpesona oleh kediaman yang luar biasa itu, Mahbub Ali memperpanjang kunjungannya. Sir Vicar segera maklum: baginda sangat berkenan akan istana itu. Sir Vicar menyerahkan Falaknuma kepada Mahbub Ali sebagai nazar, kebiasaan utama para orang terhormat zaman itu terhadap atasannya -- semacam upeti-lah. Tapi Mahbub Ali bukan boss yang tak pandai menahan harga diri. Sebagian istana diterimanya sebagai nazar, bagian lain dibayarnya sesuai syarat jual beli. Karena itulah Istana Falaknuma kemudian menjadi milik para Nizam Hyderabad. Banyak pula di antara warisan lama itu yang menjadi rebutan dan persengketaan antarkeluarga. Yang agak aneh, agaknya, tak satu pun di antara bangunan kuno yang jumlahnya nyaris tak terhitung itu dipugar menjadi hotel atau museum. "Kami tak memiliki semacam Dana Nasional, yang di Inggris digunakan memugar bangunan lama," kata Moazam Hussain. Tapi ia segera menambahkan, "bahkan kalau lembaga seperti itu ada, saya sangsi ia dapat bekerja di kota seperti Hyderabad." Mengapa? "Akan banyak keluarga yang salah terima, dan menganggap pemugaran yang dilakukan pemerintah bukan saja mencampuri urusan pribadi mereka, bahkan menyangkut martabat dan kehormatan." Mungkin justru suatu keuntungan, bahwa Osman Ali Khan tak begitu gemar membangun istana baru. Dengan mengecualikan King Kothi, kompleks kediaman keluarga kerajaan yang didirikan Nizam periode terakhir itu, zaman pembangunan gedung-gedung megah Hyderabad sudah selesai. Kini, sebagian King Kothi diubah menjadi rumah sakit. Bekas ruang pribadi sang Nizam digembok dan hanya dibuka pada waktu tertentu. Kedua putra Osman Ali memang membangun lagi sejumlah rumah pribadi, tapi lebih kecil dan modern. Memang berat memelihara warisan leluhur yang serba raksasa itu, di tengah kondisi keuangan yang sudah berubah. Indira Dhannajgir sendiri hanya mampu mendiami salah satu sayap istana Gyambagh. Untuk itu saja ia konon membutuhkan delapan pembantu. "Satu koki, satu jongos, satu ayah, satu tukang sapu, dan empat pelayan lain yang lebih rendah, seperti tukang kebun dan lainnya. Dan hal itu tak mudah. Banyak tanah di sekitar istana yang sudah kami jual," katanya. Di antara istana tua yang berserakan di sekitar Hyderabad itu, kini hanya Falaknuma dan Chow Mahalla yang tercatat sebagai harta pribadi Mukaram Jah, pewaris gelar Nizam sekarang ini. Tapi Mukaram sendiri tinggal di Australia. Lho! Purani Haveli sudah dimanfaatkan untuk usaha penidikan, bahkan belakangan disewa-sewakan untuk lokasi, film. Ada usul mengubah Falaknuma menjadi hotel atau museum, tapi tampaknya tak ada yang menanggapi. Dirawat oleh beberapa sisa pelayan dari masa lampau, istana itu mulai berlumut. Sedikit demi sedikit plester tembok berguguran di serambinya yang indah. Debu menebal di lampu-lampu kristal yang anggun. Gorden dan berbagai kain penghias dinding sobek di sana-sini. Pemandangan ini bagai mewakili hati nurani para bangsawan Hyderabad yang digilas roda sejarah. Seperti diucapkan Zainul -- Abiddin Khan: "Bagi kami, 1947 ada miripnya dengan Revolusi Prancis." Dan ia memandang lurus ke depan, menembus masa lampau yang makin gelap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus