SUDAH sekian banyak taha dan kerajaan tenggelam dalam sejarah.
Di sana-sini puri dan istana tinggal kenangan. Para penghuninya
pun tak lagi dilimpahi puji dan sembah. Tapi di Hyderabad, ada
saatnya sang waktu seperti tertegun melangkah. "Beberapa
kebiasaan lama masih gigih bertahan di sini," kata Sunil Sethi
dalam tulisannya di India Today, akhir Juni 1982. Dan ia pun
bertutur perihal kota kuno itu, terutama para bangsawan dan
puri-purinya, lambang sebuah zaman yang nyaris punah.
Di antara "wakil masa silam" itu, tersebutlah Zainul Abiddin
Khan, 6 tahun, cucunda Itsam ul Mulk, penguasa tanah-tanah
pribadi sang Nizam. Seperti tak sudi meninggalkan kebiasaannya
di masa lampau, bangsawan ini tetap bangun di subuh buta, untuk
melakukan namaz yang tak pernah dilupakannya setiap hari.
Setelah itu ia menghampiri kandang satwa peliharaannya, memberi
makan merpati dan burung hias yang segera riuh berkicau
menyambut kedatangannya. Kemudian membelai dan bercanda dengan
anjing-anjing kesayangannya: tiga ekor dachshund yang manja, dan
seekor fox-terrier yang senantiasa waspada.
Bergerak santai di antara tiang-tiang Istana Kuno Aziz Manzil
yang didiaminya, Khan itu bagai menyisihkan diri dari dunia.
Puri itu memiliki 50 kamar. Di sana sini, Zainul Abiddin
berusaha menambahkan sesuatu yang baru. Kadang-kadang ia
menggunting gambar pin up majalah-majalah Barat, merekatkannya
ke dalam pigura antik yang bergantungan sepanjang dinding.
Sebagian besar lukisan asli pigura itu sudah lama lenyap --
entah ke mana.
Sekali-kali, Zainul Abiddin masih menerima tamu untuk sebuah
jamuan teh di petang hari. Ia pun tampil dalam busana sherwani
dan kopiah khas yang memperlihatkan harkat kebangsawanannya.
Pada saat seperti itu, ada saja bahan pergunjingan. Misalnya
tentang seorang sepupu yang beruntung, yang beroleh menantu
seorang bangsawan Prancis. Atau perihal biskuit Osmania, yang
secara khusus mendapat nama Nizam terakhir. "Tidakkah biskuit
itu luluh dengan halusnya di mulut anda? Langsung luluh?"
katanya bangga kepada para tetamunya. Parasnya yang feodal
segera tampak lebih kukuh, didukung bentuk hidungnya yang
panjang dan aristokratis.
Tokoh lain yang dikisahkan Sunil Sethi ialah Mir Moazan Hussain,
cucu Fakhr ul Mulk, bangsawan legendaris dari Rumah Nizam.
Termasyhur akan selera makannya yang tinggi, Hussain kini tak
lagi mendiami rumah tempat ia dilahirkan. Yaitu bangunan yang
dinamakan Izam Manzil, puri dengan 150 kamar di atas tanah
pribadi 400 acre, tertenggek di pucuk sebuah bukit yang elok.
Setelah berhenti sebagai pekerja sosial di PBB selama 26 tahun,
ia kini menghuni villa mungil yang sangat indah di Perbukitan
Banjara.
Di atas tanah lima acre itu ia melampiaskan kegemarannya
berkebun. Di sana-sini taman dan serambi semarak dengan kesuma
lily, terusan dan air terjun buatan, menambah seronok
pemandangan. Secara teratur Mir Moazan Hussain memberikan
ceramah di kalangan Golconda Society. Ia mengambil tema seperti
Hyderabad: Dulu dan Kini, dan mengutip dengan cemerlang Oscar
Wilde, Francis Bacon, Themistocles, T.S. Eliot, dan Nizam Jung
yang sering dijuluki "putra terhormat Hydcrabad."
Hussain kini banyak menaruh perhatian pada pemeliharaan
lingkungan kota dan penyelamatan arsitekturnya. Dan berbeda
dengan banyak bangsawan lain, ia tak segan-segan memberikan
analisa yang dingin atas masalah yang banyak dipertanyakan.
Yaitu: mengapa kekunaan Hyderabad bagai tersisih, dan mengapa
aristokrasinya nyaris dilupakan? "Mereka terpaku di dalam
istana-istananya," kata Hussain, "dan memisahkan diri dari
rakyat. Mereka tak memiliki cinta sejati terhadap istana-istana
itu, dan tak memendam kasih sayang yang tulus terhadap bumi
ini." Lalu ia menambahkan, "Etos 200 tahun sudah silam. Badai
agaknya terlalu mengguncangkan tatkala perubahan itu tiba."
Namun bagi Indira Devi Dhanrajgir, persoalannya mungkin agak
lain. Ndoro putri ini tetap saja bangun setelah matahari terbit,
dan menerima sarapan pagi di tempat tidurnya yang lapang. Sama
dengan perabot lain di dalam kamar itu, tempat tidur Devi
terbuat dari hasil kerajinan kayu Italia yang elok, penuh
bertatahkan gambar. Sebagai anak sulung keluarga yang menunjang
sektor keuangan para Nizam Hyderabad, ia berhak menghuni salah
satu sayap wisma yang sangat luas dan indah, yang lebih dikenal
dengan nama Istana Gyanbagh.
Devi adalah cucu Raja Narsinghgir yang sekali waktu di masa
lampau meminjamkan uang untuk pembangunan rel kereta api kepada
Nizam ke-6. Sampai kini Devi sendiri tampak berusaha keras
mempertahankan citra leluhurnya. Tiga untai mutiara menghias
lehernya yang jenjang. Jari jemarinya bertatahkan cincin berlian
dan kecubung yang sangat menyolok. Di dalam buku telepon namanya
tidak akan dijumpai di dalam kelompok "I" maupun "D" melainkan
"R". Itulah singkatan Rajkumari, yang mengingatkan orang pada
kebangsawanan.
Menikah dengan penyair "termasyhur" Telugu, Seshendra Sarma,
Devi tampaknya tak menaruh perhatian pada bisnis. Ia lebih suka
menyibukkan diri dengan hal ihwal yang berbau kesusastraan. Ia
Presiden Akademi Andhra Pradesh Hindi, menulis puisi dan kritik.
Berbeda dengan kawula biasa, kata Sunil Sethi dalam tulisannya,
"Devi tak perlu khawatir akan pelbagai beban hidup, misalnya
membayar sewa rumah."
Devi sendiri terus terang menikmati kenyataan itu. "Keluarga
kami nomor dua terkaya di selatan ini," katanya, seraya mengelus
sepasang jembangan porselen antik Perancis yang sangat mahal,
anugerah Sri Salar Jung III. "Kamilah Rockefeller Hyderabad,"
ujar Devi menambahkan, dengan perasaan bangga.
Mungkin saja pernyataan Devi agak berlebihan. Namun "mereka
adalah tokoh zaman keemasan dunia lain, yang telah mencoba
menyesuaikan diri dengan perubahan masa," kata Sunil Sethi.
Masih tak terhitung jumlah orang seperti mereka di Hyderabad,
yang seakan-akan menutup pintu untuk masa kini, dan menyepi
dalam bayang gemerlapan masa lampau. Bagi mereka, kenangan akan
Hyderabad kuno bagai tak pernah beranjak.
Pada sebagian mereka, masa lampau itu masih melekat dalam sopan
santun, tutur bahasa, serta selera akan makanan dan minuman.
Tapi di atas segalanya, di tengah hingar bingar kota modern yang
makin berkembang, mereka kian menjadi bagian sebuah mimpi
tentang istana-istana di masa lampau.
Nama-nama yang diberikan kepada pelbagai istana itu bukan saja
mencerminkan semangat suatu periode, melainkan juga aspirasi
para pendirinya. Ambillah umpamanya Aasman Mahal dan Galaxy,
atau Iram Manzil yang berarti "Nirwana". Ada pula Falaknuma,
yang secara harfiah bermakna "Cermin Angkasa". Beberapa bangunan
megah itu ada yang cuma tinggal puing, beberapa lainnya sedang
menanggung masa suram -- atau paling tidak berubah fungsi.
Iram Manzil adalah sebuah contoh yang khas. Kumal dan tak
terpelihara, puri itu kini menampung beberapa kantor pemerintah.
Padahal ketika didirikan, nun pada suatu zaman keemasan di masa
lampau, Iram Manzil merupakan bagian tersendiri yang sangat
serasi dengan alam sekitarnya.
Direncanakan secara seksama, kompleks ini memiliki hutan
pribadi, tempat-tempat tamasya dan bersenda gurau, danau, dan
lapangan polo. Tembok yang memagarinya terentang sampai beberapa
mil. Di situ pernah mengabdi 927 jongos dan pelayan. Ada gudang
khusus menyimpan susu dan mentega, istal yang mampu menampung
100 ekor kuda, garasi dengan kapasitas 20 mobil, hospital,
bahkan satuan polisi khusus.
Lalu bagaimana suasana di dalam? "Dengan segala kemudahan yang
melimpah ruah itu, kehidupan di dalam istana tetap diatur tata
protokoler yang ketat dan formalitas yang kaku," kata Sunil
Sethi. Keterangan itu dibenarkan Moazam Hussain dengan
menceritakan pengalaman masa kecilnya.
Hussain tak bisa melupakan hari-hari ketika ia diajak hadir
dalam pertemuan resmi dengan para kakeknya. "Kursi-kursi diatur
dengan cara tertentu, tak pernah berubah, untuk para putra,
menantu, dan cucu kakek dalam pertemuan tetap sejam setiap
petang," katanya mengenang. Bila ada kerabat yang tidak datang,
kursinya dibiarkan kosong, tak boleh diduduki orang lain.
Wajib mengenakan pakaian sherwani, setiap orang memberi salam
takzim menurut yang sudah diadabkan. Langkah pulang pun harus
diatur, tak bisa sembarang membelok sesuka hati. Tak boleh duduk
sebelum dipersilakan, tak boleh duduk dengan kaki bersilang, dan
tak boleh angkat bicara kalau tak ditanya.
Biasanya, dalam acara sowan seperti itu, pembicaraan berkisar di
sekitar berita keluarga. "Tapi ada juga gossip," kata Hussain.
Kadang-kadang kakek kehilangan nafsu berbicara. Ia hanya
mengangkat alis sedikit, bergumam beberapa kali, "kemudian
bangkit untuk menyelesaikan bacaannya. Illustrated London News.
Sementara itu, anda harus tetap duduk dan membisu."
Iram Mazil sudah tak lagi membayangkan masa lampau seutuhnya. Di
situ kini berkantor beberapa instansi pemerintah.
Bangsal-bangsalnya yang lapang dikotak-kotak untuk ruangan para
sekretaris dan stenografis. Namun ia bukan satu-satunya bangunan
sejenis yang bernasib serupa itu.
Puri yang lebih kecil juga kadangkadang harus bernasib sama.
Bahkan beberapa terpaksa dikotak-kotak untuk anak-cucu yang
ditinggalkan. Wisma Aziz Manzil, umpamanya, kini antara lain
dijadikan kantor bisnis angkutan truk.
Nasib seperti itu pulalah yang menimpa Istana Begumpet, yang
kini terletak dekat bandar udara. Di masa lampau, bangunan megah
ini menjadi tempat kediaman yang sangat mengesankan, dibangun
seorang bernama Sir Vicar untuk keempat anaknya. Kini Begumpet
nyaris bagian dari daftar inventaris.
Para pewarisnya tinggal di sebuah rumah kecil dengan disain
modern. Seperti dikatakan Ahmad Yar Khan, salah seorang
keturunan Sir Vicar, yang mendirikan istana dengan 125 kamar
itu, "kami tak mampu membelanjai Begumpet. Mungkin sebentar lagi
bangunan itu runtuh berkeping-keping."
Tak sedikit di antara para bangsawan menempuh "jalan
kompromistis" dengan menyerahkan puri dan istananya kepada
pemerintah. Beberapa di antara bangunan itu kemudian dijadikan
guest house, lainnya perkantoran sekolah, atau rumah sakit.
Sementara itu, bagaimana dengan koleksi barang antik dan
kesenian yang dulu berjejal di sana? "Satu demi satu
harang-barang itu dijual," kata Sunil Sethi. Zainul Abiddin Khan
sedikitpun tak ragu ketika menuturkan, "kami menjual semua
koleksi yang sangat indah itu, yang dikumpulkan selama tujuh
generasi, untuk membayar pajak dan iuran wajib kepada negara."
Semuanya? "Perabot keemasan dari zaman Louis XIV, lampu-lampu
kristal, ya, semuanya. Yang anda lihat sekarang hanya sampah."
Di kota yang sering dibicarakan lantaran arsitekturnya ini,
sejak zaman dinasti Qutbshahi dari Golconda, ledakan terakhir
demam membangun dimulai sekitar 1880-an. Salah satu penguasa
dari masa itu adalah Mahbub Ali Pasha (1869-1911), Nizam ke-6,
tokoh yang sangat kontroversial. Ia dilukiskan "sekaligus saleh
dan keji, suci dan murtad, naik tahta pada usia tiga tahun, dan
mangkat pada 42." Baginda diakui sangat berperanan dalam
mengubah Hyderabad di perantian abad mulai dari mode busana
kerajaan sampai penggalakan pendidikan.
KENDATI ia memilih tinggal di Purani Haveli, salah satu istana
tertua di dalam kota, ia memperluas bangunan itu dan
mendandaninya dalam gaya baroque yang berat. Seleranya pilihan.
Ia hanya mau menggunakan kaus kaki buatan Prancis, dan setiap
pasang dipakainya tak lebih dari sekali. Gaya berpakaiannya
demikian boros, sehingga di dalam istana itu ia mendirikan
ruangan pakaian yang terpanjang di dunia.
Sangat jarang Mahbub Ali sudi mengenakan pakaian yang sudah
pernah dipakainya, meskipun hanya sekali. Demikian pula halnya
perlengkapan lain. Beberapa peninggalannya masih bisa dilihat
sekarang sepatu dan kopiah jahitan tangan, yang sedikit demi
sedikit mulai remuk dimakan rayap Mahbub sendiri, yang juga
pecandu minuman keras, tak membangun istana baru. Di antara para
pembangun masa itu tersebutlah Sir Vicar ul Umra, yang sudah
dibicarakan di bagian terdahulu, perdana menteri dan sekali
waktu Dewan dalam pemerintahan Mahbub Ali Pasha.
Dalam hal selera, Sir Vicar sama pemilihnya dengan sang Nizam
yang diabdinya. Sampai hari ini ia masih dikenang melalui Istana
Falaknuma yang dibangunnya, yang kini sering diperolok-olokkan
sebagai "kebodohan Hyderabad".
Bangunan ini bukan saja mengangkat Sir Vicar ke jenjang
kemuliaan, tapi juga membuat ia tumpur habis-habisan. Mulai
didirikan pada 1884 di puncak sebuah bukit terpilih, "Falaknuma
memperagakan ketrampilan internasional." Semua pualamnya
didatangkan dari Carrara, Italia. Langit-langit ruangan pestanya
-- yang mampu menjamu sekaligus seratus tamu -- dilapisi kulit
oleh para tukang dari Florentine. Urusan permadani dan gorden
diserahkan kepada para tukang dari Prancis.
TAPI secara tipikal pula, istana yang luar biasa megah ini
memamerkan kombinasi gaya Barat yang paling acak-acakan.
Perabot zaman Victoria disandingkan dengan porselen Prancis
dan Jerman, dijejali lagi oleh patung-patung Italia.
Meja-kursi gaya kraton Prancis bergandengan potret-potret dari
Inggris. Aneka hiasan perak dan keemasan berjejalan bersama
porselen Cina, sementara di serambi istana menanti dengan takzim
para kusir dalam pakaian seragam khusus. Sir Vicar hidup di
Falaknuma dalam gaya feodal besar. Di situ ia menerima kunjungan
para bangsawan dan utusan dari Eropa.
Syahdan pada 1895, berdatanganlah ke Falaknuma Mahbub Ali Pasha
bersama seperangkat wanita kesayangannya. Mereka bermalam di
situ beberapa hari. Terpesona oleh kediaman yang luar biasa itu,
Mahbub Ali memperpanjang kunjungannya. Sir Vicar segera maklum:
baginda sangat berkenan akan istana itu.
Sir Vicar menyerahkan Falaknuma kepada Mahbub Ali sebagai nazar,
kebiasaan utama para orang terhormat zaman itu terhadap
atasannya -- semacam upeti-lah. Tapi Mahbub Ali bukan boss yang
tak pandai menahan harga diri. Sebagian istana diterimanya
sebagai nazar, bagian lain dibayarnya sesuai syarat jual beli.
Karena itulah Istana Falaknuma kemudian menjadi milik para Nizam
Hyderabad.
Banyak pula di antara warisan lama itu yang menjadi rebutan dan
persengketaan antarkeluarga. Yang agak aneh, agaknya, tak satu
pun di antara bangunan kuno yang jumlahnya nyaris tak terhitung
itu dipugar menjadi hotel atau museum. "Kami tak memiliki
semacam Dana Nasional, yang di Inggris digunakan memugar
bangunan lama," kata Moazam Hussain. Tapi ia segera menambahkan,
"bahkan kalau lembaga seperti itu ada, saya sangsi ia dapat
bekerja di kota seperti Hyderabad." Mengapa? "Akan banyak
keluarga yang salah terima, dan menganggap pemugaran yang
dilakukan pemerintah bukan saja mencampuri urusan pribadi
mereka, bahkan menyangkut martabat dan kehormatan."
Mungkin justru suatu keuntungan, bahwa Osman Ali Khan tak begitu
gemar membangun istana baru. Dengan mengecualikan King Kothi,
kompleks kediaman keluarga kerajaan yang didirikan Nizam periode
terakhir itu, zaman pembangunan gedung-gedung megah Hyderabad
sudah selesai.
Kini, sebagian King Kothi diubah menjadi rumah sakit. Bekas
ruang pribadi sang Nizam digembok dan hanya dibuka pada waktu
tertentu. Kedua putra Osman Ali memang membangun lagi sejumlah
rumah pribadi, tapi lebih kecil dan modern.
Memang berat memelihara warisan leluhur yang serba raksasa itu,
di tengah kondisi keuangan yang sudah berubah. Indira Dhannajgir
sendiri hanya mampu mendiami salah satu sayap istana Gyambagh.
Untuk itu saja ia konon membutuhkan delapan pembantu. "Satu
koki, satu jongos, satu ayah, satu tukang sapu, dan empat
pelayan lain yang lebih rendah, seperti tukang kebun dan
lainnya. Dan hal itu tak mudah. Banyak tanah di sekitar istana
yang sudah kami jual," katanya.
Di antara istana tua yang berserakan di sekitar Hyderabad itu,
kini hanya Falaknuma dan Chow Mahalla yang tercatat sebagai
harta pribadi Mukaram Jah, pewaris gelar Nizam sekarang ini.
Tapi Mukaram sendiri tinggal di Australia. Lho!
Purani Haveli sudah dimanfaatkan untuk usaha penidikan, bahkan
belakangan disewa-sewakan untuk lokasi, film. Ada usul
mengubah Falaknuma menjadi hotel atau museum, tapi tampaknya
tak ada yang menanggapi. Dirawat oleh beberapa sisa pelayan dari
masa lampau, istana itu mulai berlumut.
Sedikit demi sedikit plester tembok berguguran di serambinya
yang indah. Debu menebal di lampu-lampu kristal yang anggun.
Gorden dan berbagai kain penghias dinding sobek di sana-sini.
Pemandangan ini bagai mewakili hati nurani para bangsawan
Hyderabad yang digilas roda sejarah. Seperti diucapkan Zainul --
Abiddin Khan: "Bagi kami, 1947 ada miripnya dengan Revolusi
Prancis." Dan ia memandang lurus ke depan, menembus masa lampau
yang makin gelap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini