Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mencari Hukum Di Kampung

Sidang pembahasan "bahtsul masail" (pembahasan berbagai masalah menurut hukum agama/fiqh) di pesantren sukorejo, ja-tim.(ag)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Idham Chalid tidak ada dalam kitab fiqh. Masuk akal bila tokoh tersebut tidak dibicarakan dalam sidang para ulama NU Jawa Timur, di Pesantren Sukorejo, Asembagus, Situbondo, 21-22 Agustus ini. KH Anwar Musaddad, Rois I Syuriah NU, memang menyebut 'kasus Idham Chalid' dalam sambutannya pada acara pembukaan, dan mengharapkan "tercapainya kerukunan". Tapi hanya itu. KH Ali Ma'shum, Rois Aam, bahkan tak menyebutnya sama sekali. Kedatangan para pemimpin puncak itu mungkin memang punya "hikmah tertentu", dalam situasi kini. Lagi pula tuan rumah kali ini adalah KH As'ad Syamsul 'Arifin, 86 tahun (hitungan hijri), pemimpin pesantren dengan 3.000-an santri, yang banyak peranan dalam kasus Idham Chalid (lihat Laporan Utama). Toh ini tak lain sidang agama, yang bersandar pada kitab-kitab fiqh. Namanya saja Bahtsul Masail (Pembahasan Berbagai Masalah), dan 'masalah' menurut istilah para kiai hampir selalu berarti masalah hukum agama (fiqh). Ini pertemuan ilmiah yang meski berskala lokal (Jawa Timur) dan bersifat rutin (untuk wilayah ini diadakan sejak 1980, lalu ditetapkan enam bulan sekali), mencerminkan inti kehidupan keagamaan kalangan besar nahdliyyin alias umat NU. Masalah dihimpun dari berbagai cabang di Ja-Tim, yang sebagiannya telah mengumpulkannya lebih dulu dari pertanyaan umat. Dalam lembar stensilan lima halaman, berbahasa Indonesia dalam huruf ketik Arab, dimuat 39 soal yang diajukan oleh 10 cabang dan pesantren. Pembicaraan lantas dibagi begitu saja ke dalam empat 'majlis' yang mengambil tempat terpisah-pisah. Tidak semuanya "penting". Yang unik justru, banyak persoalan yang bagi "orang luar" barangkali dianggap remeh-temeh, di sini tiba-tiba menjadi besar. Misalnya: masalah hukum telepon umum. Atau bolehkah menggembalakan binatang di pekuburan. Bagaimana pula hukum meletakkan pengantin di pelaminan. Mana yang lebih baik: membaca bismillah sebelum mengucapkan salam atau sebaliknya. Masih adakah keutamaan orang yang menyingkat cara menulis shallallahu 'alaibi wa sallam, dalam tulisan Arab? Bolehkah berdusta kepada istri demi kerukunan, bagi yang berpoligami? Tapi itulah memang cerminan kehidupan agama di bawah di samping berbagai persoalan yang lebih menyangkut ritus atau lebih pokok. Seperti bolehkah memindahkan jenazah dari tempat matinya, sebelum disalati. Atau bolehkah anak si A kawin dengan anak si B, bila A dan B dulu pernah kawin, meski tidak menghasilkan anak. Juga masalah sekitar waqaf, utang-piutang dan berbagai transaksi dan kontrak. Sangat menarik, bagi siapa pun asal pembicaraan tidak menjadi begitu teknis dan ruwet. Dan di sinilah bisa dilihat kebiasaan khas kalangan kiai argumen yang diambil dari berbagai kitab klasik itu, didukung oleh logika yang berangkat dari sudut pandang masing-masing, dicampur dengan cara bicara yang lugu, spontan, tanpa basa-basi dan "benar-benar rakyat". Maka suara pun atasmengatasi, meski masing-masingnya bisa terdengar logis. Satu suara misalnya nyeletuk: "Bagaimana kambing bisa dilarang masuk kuburan? Ia bukan mukallaf (dibebani tanggung jawab moral)." Yang lain menyahut: "Tapi si pemilik itu mukallaf!" "Si pemilik ataukah yang melihat si kambing masuk makam?" "Wah, siapa yang menanggung dosanya?" Masalah telepon umum tadi misalnya. Menurut fiqh, dalam kontrak jual-beli selalu terdapat unsur akad ('aqd). Bagaimanakah akad dalm jual-beli jasa berwujud penggunaan telepon umum, bila uang logam begitu saja lepas dari tangan dan masuk kotak? Siapa sebenarnya pihak penjual, bila telepon itu dikatakan milik umum? Dan bagaimana hukumnya? Itu sebenarnya masalah sepele: pengertian akad dalam hampir semua transaksi zaman ini toh tidak lagi sama dengan yang tertulis di kitab, dan kesimpulan yang akhirnya diambil juga selaras dengan kenyataan itu. Yang menarik, perdebatan cukup panjang diperlukan untuk lebih dulu menetapkan: termasuk jenis mu'amalah apa penggunaan telepon umum itu. Mu'amalah ijarah mu'amalah 'ain, mu'amalah ijarah mutha'ah atau yang lain. Dari situ dicari lagi hukumnya. Banyak yang ternyata lebih intelektualistis ketimbang praktis -- meski terlihat bahwa dalam kepala-kepala yang bersorban dan berpeci itu (kira-kira separuh dari mereka ini baru calon kiai) tersimpan cara berpikir sistematis. Memang, itu juga jenis pikiran yang, tentu saja, lebih meletakkan titik berat pada 'yang tertulis' daripada yang di belakangnya. Dan ini sama saja di kalangan hukum Islam yang lain, Muhammadiyah umpamanya. Perbedaannya: di lingkungan NU pembicaraan sebenarnya hampir tak pernah sampai pada ayat Qur'an maupun lafal hadis, kecuali sebagai penguat atau ilustrasi. Referensi utama, dan ukuran keahlian, di situ tak lain penguasaan berbagai kitab klasik yang tak terhitun, yang di Indonesia terutama tersimpan sebagai khazanah pesantren. Bila ada satu kalimat yang membenarkan satu pendapat, dalam sebuah kitab terpandang tenteramlah orang. Para cendekiawan abad-abad lalu itu dianggap sudah bersusah-payah menafsirkan Quran dan Hadis dan bahkan lebih dari itu -- dan sudah teruji. Bisa dipaham tak ada kritik -- juga andai pendapat para ulama kuno itu saling berbeda. Penguasaan kitab klasik sebaliknya tak menjadi syarat di lingkungan Muhammadiyah -- salah satu alasan yang menyebabkan para ulama NU cenderung memandang remeh kalangan ini. Di sini pembicaraan akan langsung menuju bunyi ayat atau hadis. Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqh (Metode Penyimpulan Hukum dan Qaidah Hukum) memang mercka pakai, cuma saja perbincangan baru akan sampai kepada kitab-kitab "bikinan manusia" (istilah mereka) hanya bila perlu -- dan si pembicara mampu. Kerugiannya memang, boleh jadi banyak pendapat yang sekarang disangka 'baru', dan dihadapi dengan hati-hati, yang sebenarnya sudah dipikirkan sekian abad yang lalu -- meski andai tak harus berkekuatan "mutlak" seperti di kalangan NU. Itu pula sebabnya banyak orang segera paham bila dikatakan, kalangan NU bisa lebih "longgar" dibanding Muhammadiyah mereka punya banyak bandingan, termasuk memanfaatkan perbedaan pendapat ulama besar yang sudah disebut. (Ada lelucon tentang kiai yang lebih dulu bertanya kepada orang yang menanyakan hukum kepadanya: "Anda ingin dalil yang membolehkan atau yang mengharamkan?"). Toh itu paling-paling hanya berlaku dalam daerah yang sudah pernah menjadi wilayah pemikiran para ulama Sunni. Di antara berbagai masalah besar yang dibicarakan dalam sidang NU ini terdapat misalnya sekitar zina. Bukan soal hukum zina itu sendiri cambuk atau rajam, atau kemungkinan yang lain misalnya saja. Tapi masalah pelaksana hukum itu bagaimana bila badan tersebut tidak ada, seperti di Indonesia. Praktis, memang, toh tidak membayangkan "kelonggaran" apa pun atau "falsafah", yang memang tidak mendapat tempat dalam pemikiran hukum Sunni. Lagi pula persoalannya dinyatakan mauquf, "tak terpecahkan untuk sementara". Bahkan salah satu masalah yang diajukan dalam sidang itu berisi: bolehkah orang yang bukan mujtahid (yang "berhak menyimpulkan hukum"), baik mujtahid mutlak maupun muqaiyad (terikat pada mazhab), mengkiaskan suatu masalah yang tidak terdapat nashnya yang persis kepada nasi yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh yang mempunyai persamaan? jawabnya: Boleh, dengan syarat-syarat. Dan syarat-syarat itu akan dirumuskan oleh panitia. Itu baru soal mengkiaskan, membuat analogi. Ini bukan soal sidang Syuriah Pusat. Toh tidak terdapat perbedaan dalam hal daya laku, meski bisa berbeda dalam hal pemilihan topik. Dalam kenyataan, para ulama yang ikut dalam sidang-sidang itu sendiri -- para pemimpin pesantren, yang masing-maslng punya "otonomi" -- tidak sepenuhnya terikat pada keputusan yang diambil. (Misalnya bila dalam sidang, seorang asal Madura mengharamkan mendudukkan pengantin di pelaminan, sedang kiai di sebelahnya menyatakan boleh -- sesuai dengan keputusan akhir). Seperti dikatakan Kiai As'ad, tuan rumah, kepada TEMPO, justru "hukum itu dicari di kampung, bukan di Pusat." Ada pluralitas, memang. Letak masalahnya tentunya, seperti dikatakan KHM Syafa'at, di pesantrennya yang terpencil di Dusun Blokagung, Jajag, Banyuwangi. Pemimpin pondok dengan 2.600-an santri, di desa yang mayoritas beragama Budha ini, berkata kepada TEMPO: "Hukum itu masalah zhanni." Masalah dugaan: kita tak boleh memastikan bahwa yang kita putuskan itu yang paling tepat. Ia lalu membacakan, dari Al-Ghazali, sebuah kaidah. "Hukum itu berjalan di lidah para ulama setiap zaman dengan segala kepantasan menurut ahlinya." Jadi ulama setiap zaman. Alias ulama. Dalam NU, itu berarti Syuriah. Bukan PB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus