NAMA Idham Chalid tidak ada dalam kitab fiqh. Masuk akal bila
tokoh tersebut tidak dibicarakan dalam sidang para ulama NU Jawa
Timur, di Pesantren Sukorejo, Asembagus, Situbondo, 21-22
Agustus ini. KH Anwar Musaddad, Rois I Syuriah NU, memang
menyebut 'kasus Idham Chalid' dalam sambutannya pada acara
pembukaan, dan mengharapkan "tercapainya kerukunan". Tapi hanya
itu. KH Ali Ma'shum, Rois Aam, bahkan tak menyebutnya sama
sekali.
Kedatangan para pemimpin puncak itu mungkin memang punya "hikmah
tertentu", dalam situasi kini. Lagi pula tuan rumah kali ini
adalah KH As'ad Syamsul 'Arifin, 86 tahun (hitungan hijri),
pemimpin pesantren dengan 3.000-an santri, yang banyak peranan
dalam kasus Idham Chalid (lihat Laporan Utama).
Toh ini tak lain sidang agama, yang bersandar pada kitab-kitab
fiqh. Namanya saja Bahtsul Masail (Pembahasan Berbagai Masalah),
dan 'masalah' menurut istilah para kiai hampir selalu berarti
masalah hukum agama (fiqh). Ini pertemuan ilmiah yang meski
berskala lokal (Jawa Timur) dan bersifat rutin (untuk wilayah
ini diadakan sejak 1980, lalu ditetapkan enam bulan sekali),
mencerminkan inti kehidupan keagamaan kalangan besar
nahdliyyin alias umat NU.
Masalah dihimpun dari berbagai cabang di Ja-Tim, yang
sebagiannya telah mengumpulkannya lebih dulu dari pertanyaan
umat. Dalam lembar stensilan lima halaman, berbahasa Indonesia
dalam huruf ketik Arab, dimuat 39 soal yang diajukan oleh 10
cabang dan pesantren. Pembicaraan lantas dibagi begitu saja ke
dalam empat 'majlis' yang mengambil tempat terpisah-pisah.
Tidak semuanya "penting". Yang unik justru, banyak persoalan
yang bagi "orang luar" barangkali dianggap remeh-temeh, di sini
tiba-tiba menjadi besar. Misalnya: masalah hukum telepon umum.
Atau bolehkah menggembalakan binatang di pekuburan. Bagaimana
pula hukum meletakkan pengantin di pelaminan. Mana yang lebih
baik: membaca bismillah sebelum mengucapkan salam atau
sebaliknya. Masih adakah keutamaan orang yang menyingkat cara
menulis shallallahu 'alaibi wa sallam, dalam tulisan Arab?
Bolehkah berdusta kepada istri demi kerukunan, bagi yang
berpoligami?
Tapi itulah memang cerminan kehidupan agama di bawah di samping
berbagai persoalan yang lebih menyangkut ritus atau lebih pokok.
Seperti bolehkah memindahkan jenazah dari tempat matinya,
sebelum disalati. Atau bolehkah anak si A kawin dengan anak si
B, bila A dan B dulu pernah kawin, meski tidak menghasilkan
anak. Juga masalah sekitar waqaf, utang-piutang dan berbagai
transaksi dan kontrak.
Sangat menarik, bagi siapa pun asal pembicaraan tidak menjadi
begitu teknis dan ruwet. Dan di sinilah bisa dilihat kebiasaan
khas kalangan kiai argumen yang diambil dari berbagai kitab
klasik itu, didukung oleh logika yang berangkat dari sudut
pandang masing-masing, dicampur dengan cara bicara yang lugu,
spontan, tanpa basa-basi dan "benar-benar rakyat". Maka suara
pun atasmengatasi, meski masing-masingnya bisa terdengar logis.
Satu suara misalnya nyeletuk: "Bagaimana kambing bisa dilarang
masuk kuburan? Ia bukan mukallaf (dibebani tanggung jawab
moral)." Yang lain menyahut:
"Tapi si pemilik itu mukallaf!"
"Si pemilik ataukah yang melihat si kambing masuk makam?"
"Wah, siapa yang menanggung dosanya?"
Masalah telepon umum tadi misalnya. Menurut fiqh, dalam kontrak
jual-beli selalu terdapat unsur akad ('aqd).
Bagaimanakah akad dalm jual-beli jasa berwujud penggunaan
telepon umum, bila uang logam begitu saja lepas dari tangan dan
masuk kotak? Siapa sebenarnya pihak penjual, bila telepon itu
dikatakan milik umum? Dan bagaimana hukumnya?
Itu sebenarnya masalah sepele: pengertian akad dalam hampir
semua transaksi zaman ini toh tidak lagi sama dengan yang
tertulis di kitab, dan kesimpulan yang akhirnya diambil juga
selaras dengan kenyataan itu. Yang menarik, perdebatan cukup
panjang diperlukan untuk lebih dulu menetapkan: termasuk jenis
mu'amalah apa penggunaan telepon umum itu. Mu'amalah ijarah
mu'amalah 'ain, mu'amalah ijarah mutha'ah atau yang lain. Dari
situ dicari lagi hukumnya.
Banyak yang ternyata lebih intelektualistis ketimbang praktis --
meski terlihat bahwa dalam kepala-kepala yang bersorban dan
berpeci itu (kira-kira separuh dari mereka ini baru calon kiai)
tersimpan cara berpikir sistematis.
Memang, itu juga jenis pikiran yang, tentu saja, lebih
meletakkan titik berat pada 'yang tertulis' daripada yang di
belakangnya. Dan ini sama saja di kalangan hukum Islam yang
lain, Muhammadiyah umpamanya. Perbedaannya: di lingkungan NU
pembicaraan sebenarnya hampir tak pernah sampai pada ayat Qur'an
maupun lafal hadis, kecuali sebagai penguat atau ilustrasi.
Referensi utama, dan ukuran keahlian, di situ tak lain
penguasaan berbagai kitab klasik yang tak terhitun, yang di
Indonesia terutama tersimpan sebagai khazanah pesantren. Bila
ada satu kalimat yang membenarkan satu pendapat, dalam sebuah
kitab terpandang tenteramlah orang. Para cendekiawan abad-abad
lalu itu dianggap sudah bersusah-payah menafsirkan Quran dan
Hadis dan bahkan lebih dari itu -- dan sudah teruji. Bisa
dipaham tak ada kritik -- juga andai pendapat para ulama kuno
itu saling berbeda.
Penguasaan kitab klasik sebaliknya tak menjadi syarat di
lingkungan Muhammadiyah -- salah satu alasan yang menyebabkan
para ulama NU cenderung memandang remeh kalangan ini. Di sini
pembicaraan akan langsung menuju bunyi ayat atau hadis. Ushul
Fiqh dan Qaidah Fiqh (Metode Penyimpulan Hukum dan Qaidah Hukum)
memang mercka pakai, cuma saja perbincangan baru akan sampai
kepada kitab-kitab "bikinan manusia" (istilah mereka) hanya bila
perlu -- dan si pembicara mampu.
Kerugiannya memang, boleh jadi banyak pendapat yang sekarang
disangka 'baru', dan dihadapi dengan hati-hati, yang sebenarnya
sudah dipikirkan sekian abad yang lalu -- meski andai tak harus
berkekuatan "mutlak" seperti di kalangan NU. Itu pula sebabnya
banyak orang segera paham bila dikatakan, kalangan NU bisa lebih
"longgar" dibanding Muhammadiyah mereka punya banyak bandingan,
termasuk memanfaatkan perbedaan pendapat ulama besar yang sudah
disebut. (Ada lelucon tentang kiai yang lebih dulu bertanya
kepada orang yang menanyakan hukum kepadanya: "Anda ingin dalil
yang membolehkan atau yang mengharamkan?").
Toh itu paling-paling hanya berlaku dalam daerah yang sudah
pernah menjadi wilayah pemikiran para ulama Sunni. Di antara
berbagai masalah besar yang dibicarakan dalam sidang NU ini
terdapat misalnya sekitar zina. Bukan soal hukum zina itu
sendiri cambuk atau rajam, atau kemungkinan yang lain misalnya
saja. Tapi masalah pelaksana hukum itu bagaimana bila badan
tersebut tidak ada, seperti di Indonesia. Praktis, memang, toh
tidak membayangkan "kelonggaran" apa pun atau "falsafah", yang
memang tidak mendapat tempat dalam pemikiran hukum Sunni. Lagi
pula persoalannya dinyatakan mauquf, "tak terpecahkan untuk
sementara".
Bahkan salah satu masalah yang diajukan dalam sidang itu berisi:
bolehkah orang yang bukan mujtahid (yang "berhak menyimpulkan
hukum"), baik mujtahid mutlak maupun muqaiyad (terikat pada
mazhab), mengkiaskan suatu masalah yang tidak terdapat nashnya
yang persis kepada nasi yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh
yang mempunyai persamaan? jawabnya: Boleh, dengan
syarat-syarat. Dan syarat-syarat itu akan dirumuskan oleh
panitia. Itu baru soal mengkiaskan, membuat analogi.
Ini bukan soal sidang Syuriah Pusat. Toh tidak terdapat
perbedaan dalam hal daya laku, meski bisa berbeda dalam hal
pemilihan topik. Dalam kenyataan, para ulama yang ikut dalam
sidang-sidang itu sendiri -- para pemimpin pesantren, yang
masing-maslng punya "otonomi" -- tidak sepenuhnya terikat pada
keputusan yang diambil. (Misalnya bila dalam sidang, seorang
asal Madura mengharamkan mendudukkan pengantin di pelaminan,
sedang kiai di sebelahnya menyatakan boleh -- sesuai dengan
keputusan akhir). Seperti dikatakan Kiai As'ad, tuan rumah,
kepada TEMPO, justru "hukum itu dicari di kampung, bukan di
Pusat."
Ada pluralitas, memang. Letak masalahnya tentunya, seperti
dikatakan KHM Syafa'at, di pesantrennya yang terpencil di Dusun
Blokagung, Jajag, Banyuwangi. Pemimpin pondok dengan 2.600-an
santri, di desa yang mayoritas beragama Budha ini, berkata
kepada TEMPO: "Hukum itu masalah zhanni." Masalah dugaan: kita
tak boleh memastikan bahwa yang kita putuskan itu yang paling
tepat. Ia lalu membacakan, dari Al-Ghazali, sebuah kaidah.
"Hukum itu berjalan di lidah para ulama setiap zaman dengan
segala kepantasan menurut ahlinya."
Jadi ulama setiap zaman. Alias ulama. Dalam NU, itu berarti
Syuriah. Bukan PB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini