Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Satu nusa, satu bangsa & macam-macam andong

Festival andong di yogyakarta, di indonesia kendaraan ini punya pelbagai nama dan bentuk, nasibnya hampir punah.(pan)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUGIMAN meletakkan kacamata kuda yang sedang dijahitnya. Mata penarik sado itu menatap kuda hitamnya yang renta, yang ia beli seharga Rp 9.000 di tahun 1964. Renta, seperti juga dirinya, yang sudah 64 tahun. Dan mungkin tanpa masa depan. Sebab katanya pelan: "Sado akan punah dalam 4 atau 5 tahun yang akan datang." Tugiman bisa meramal itu. Sudah 22 tahun ia menarik sado. Pernah ia mengalami masa kejayaan alat angkutan ini, tatkala tiga ribuan sado merajai jalan-jalan kota tempat tinggalnya, Pematangsiantar, Sumatera Utara. Kini tercatat tinggal 15 sado yang bertahan mengais hidup, dengan penghasilan Rp 800 sampai Rp 1.000 sehari. Tugiman dan kendaraannya adalah satu ilustrasi dari zaman yang menggelinding. Dengan cepatnya, di banyak tempat, sado yang juga disebut bendi, andong, dokar, delman, kahar, ebro atau nama lainnya telah jadi masa lalu. Tidak jelas kapan alat pengangkut ini lahir. Kendaraan pengangkut tertua yang dipakai di Indonesia mungkin sekali adalah pedati yang ditarik lembu. Dalam kitab Pararaton, misalnya, dikisahkan bahwa dalam Perang Bubat (tahun 1357), Patih Gajah Mada menaiki pedati. Dalam banyak relief di candi-candi Hindu, terlukis juga kereta yang dihela sapi. Kereta yang ditarik kuda memerlukan jalan yang lebih baik dan rata, karena larinya yang lebih cepat. Thomas Stamford Raffles melaporkan, di awal abad ke-19 jaringan jalan yang agak baik di Jawa adalah antara Jakarta-Bogor, Jakarta-Surabaya dan Semarang-Surakarta-Yogyakarta. Boleh jadi kereta kuda yang pertama di Indonesia didatangkan oleh Belanda. Raja-raja Jawa memperolehnya sebagai hadiah dari penjajah ini juga. Beberapa dari "kereta kencana" ini sampai sekarang masih terawat baik, disimpan di kraton, dikeramatkan dengan nama Kiai, dibersihkan sekali setahun dan ada yang menganggap air cuciannya bertuah. Tanpa tuah, sado jelas merupakan bentuk yang disederhanakan dari kereta ningrat tersebut. Ada bermacam bentuk kendaraan ini. Perbedaannya terutama pada jumlah roda (dua atau empat dengan berbagai ukuran), kuda yang menarik (satu atau dua ekor), susunan tempat duduk (berhadapan atau beradu punggung), atau bentuk karoserinya (persegi atau persegi lonjong). Selain bangsawan, yang mula-mula memakai kereta kuda adalah para pembesar Belanda dan orang-orang kaya yang memilikinya secara pribadi. Di Jakarta puluhan tahun lalu, misalnya, dikenal kereta penumpang yang disebut "kahar per" (veer) karena memakai pegas penahan guncangan. Rodanya tinggi dan tidak punya pintu belakang. Kereta-keteta itu dibuat oleh wagenmakerij yang biasanya merangkap bengkel dan tempat pembuatan serta pemasangan tapal kuda. Kemudian muncul usaha penyewaan kereta. Yang paling terkenal mungkin Eerste Bataviasche Rijtuig Onderneming (Perusahaan Kereta Pertama Batavia). Saking terkenalnya, singkatan nama perusahaan ini, EBRO, berkembang jadi nama bentuk alat angkutan ini. Rautnya persis seperti andong yang ada di Yogyakarta. Tapi tak semua bermula pada "Ebro". Kata "sado" misalnya berasal dari istilah Prancis, dos-a-ados (bertolak belakang). Kendaraan beroda dua ini susunan tempat duduknya memang membuat para penumpangnya beradu punggung. Dan "delman"? Istilah itu dianggap berasal dari nama seorang insinyur Belanda C.T. Deeleman (1823-1884) yang menciptakan bentuk kereta baru yang lebih kuat dengan tempat duduk di belakangnya yang terbagi dua, saling berhadapan. Sisa bekas raja jalanan Batavia itu sekarang masih bisa dijumpai di pinggran Jakarta, antara lain di Kebayoran Lama. Keadaannya jauh dari masa jayanya dulu. Tak ada lagi hiasan. Yang tinggal hanyalah kelintingan-kelintingan kecil yang dipasang di punggung kuda. Warna kereta kusam, seperti juga nasibnya. Peralatan kuda didatangkan dari Sukabumi. Sedang cambuk, seharga Rp 1.000, dibawa pedagang dari Bogor. Penumpang delman di Kebayoran Lama kini harus sabar. Terkadang mereka harus menunggu sampai 45 menit. Alasan: kusir segan menjalankan delmannya sebelum penuh, artinya sampai ia mendapat empat penumpang. Pak Badeng, kusir delman sejak "zaman normal", mengaku memperoleh sekitar Rp 3.000 seharinya. Biaya makanan kuda Rp 1.000. Sedang rumputnya? "Ngarit sendiri," jawabnya. Delman yang paling unik bentuknya terdapat di daerah Kudus atau Pati (Jawa Tengah). Ada dua jenis di sini: "dokar kerangkeng" dan "dokar delman". Tempat penumpang dokar kerangkeng berbentuk kotak, dibuat dari kayu jati, sekelilingnya dipagari jeruji besi hingga benar-benar mirip kerangkeng. Atapnya dibuat dari seng yang dilapisi gedek bambu. Penumpangnya enam orang termasuk kusir -- duduk bersila. Kuda penariknya seekor. Rodanya dilapisi karet ban bekas. Kendaraan ini umumnya untuk mengangkut penumpang yang banyak memhawa barang. Bentuk dokar delman tak berbeda dengan delman biasa. Berdasar UU No. 3/1965, kendaraan tak bermotor ini diatur oleh pemerintah daerah. Di Kudus pembinaannya di bawah Dinas PUK (Pekerjaan Umum Kota). Selain mendaftar, para kusir harus juga rnemperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) Khusus dokar. Pajaknya per tahun Rp 475. Di kabupaten ini sekarang ada sekitar 400 buah dokar. Hanya dokar di sini, dengan kudanya Rp 350.000. Di Sumatera Barat, kejayaan bendi dahulu tercermin dalam lagu yang kini masih terkenal Berbendi-bendi ke Sungai lah Tanang, . . . Tapi kini, Sungai Tanang, 7 km dari Bukittinggi, sudah tak bisa dikunjungi bendi. Tempat wisata itu kini tak terurus. Kondisi jalannya rusak hingga kereta berkuda tak bisa sampai ke tempat itu -- dan sang bendi pun nyaris punah. Di provinsi ini memang hanya di Payakumbuh nasib bendi lebih mendingan. Pemerintah setempat memberi trayek khusus untuk bendi yang tak boleh dimasuki oplet. Untuk desa sekitar kota tiap penumpang dikenakan pembayaran Rp 50. Terminalnya juga diatur, hingga bendi bisa bergiliran berangkat. Masyarakat Payakumbuh sendiri tampaknya masih menyenangi alat angkutan ini. Payakumbuh barangkali seperti Kencong, Jember, Jawa Timur. Di sana kusir dokar masih bisa tersenyum. Ini karena masih kuatnya tradisi menggunakan dokar untuk mengarak pengantin atau khitanan. "Bagi orang desa, dokar itu seperti Mercy ketika mengarak pengantin," cerita seorang penduduk Kencong. Biasanya arakan itu pada malam hari, dan kuda penariknya dipilih yang gagah, yang biasa disebut "dergem siwalan" (sejenis kuda balap). Tarif sewanya sekitar Rp 2.000. Seperti di daerah lain di Ja-Tim, dokar di Kencong beroda dua terbuat dari kayu dengan garis tengah 1,40 m dengan lapisan ban. Mungkin karena cukup laris, di Kencong masih terdapat tukang khusus pembuat perlengkapan kuda -- satu jenis kerajinan yang kian sulit didapat. Tapi mungkin dari semua bentuk sado yang ada, cuma di Cibadak (30 km dari Bogor menuju ke Sukabumi) kendaraan itu tak meniru kereta ningrat lama, meskipun terpengaruh selera "ningrat" baru: mobil. Nayor, demikian delman di sana disebut, ditarik seekor kuda. Tapi rodanya ban mobil, ukuran 600 x 13,5 (ukuran bis mini). Sebagai penahan guncangan pernya juga per mobil. Kerangka kereta dari kayu, yang dilapisi seng, juga dicat seperti mobil. Ada yang dihiasi ornamen. Penumpang naik dari pintu belakang. Kuda penariknya tak memakai hiasan. Alasan: "Karena banyak yang mencurinya," kata seorang "sopir" nayor di sana. SEKITAR 30 nayor setiap hari kini mangkal di depan pasar Cibadak. Penumpangnya kebanyakan orang yang berbelanja ke pasar, yang membawa barang. Ongkos nayor untuk jarak sampai 3 km Rp 400, dibanding oplet yang hanya Rp 100. Toh seorang sais nayor tiap hari bisa memperoleh sekitar Rp 3.000 bersih. Tak ada saingan becak di sini, karena jalan di Cibadak yang naik turun. Bagaimana keadaan delman di "Kota Andong" Yogyakarta? Diperkirakan di seluruh DIY kini tinggal ada 400 andong dari jumlah ribuan pada 1960-an. Yogyakarta memang unik para kusir andong harus memakai seragam, baju biru dengan garis tepi putih yang konon telah ada sejak sebelum kemerdekaan. Mereka juga diwajibkan memakai blangkon. Membanjirnya turis asing di Yogyakarta rupanya dimanfaatkan sebagian kusir andong. Yosodikromo, 53 tahun, kini lebih suka mangkal di depan hotel. Alasannya, "Turis asing lebih royal kalau memberi tip, sedang kalau mengangkut bakul, kerongkongan sampai kering buat tawar-menawar." Maka Yoso pun pasang tarif Rp 3.000 per jam dengan pemakaian minimal 2 jam. "Pendapatan saya sehari-hari rata-rata Rp 6.000," ucap Yoso bangga. Di Yogya, andong juga wajib memasang karung bekas di bawah pantat kuda untuk menampung kotorannya. Selain itu andong perlu dilengkapi tanda untuk membelok, berupa kardus bulat yang tengahnya dicat merah dan diberi tangkai. Yogya juga satu-satunya kota yang menyelenggarakan Festival Andong. Tahun ini diselenggarakan 29 Agustus lalu, dengan pawai yang diikuti kereta kraton yang diiringi 50 prajurit Kraton Yogyakarta. Dan seperti para prajurit itu, andong pun kini lebih berfungsi dekoratif: fungsinya lama mulai hilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus