TUGIMAN meletakkan kacamata kuda yang sedang dijahitnya. Mata
penarik sado itu menatap kuda hitamnya yang renta, yang ia beli
seharga Rp 9.000 di tahun 1964. Renta, seperti juga dirinya,
yang sudah 64 tahun. Dan mungkin tanpa masa depan. Sebab katanya
pelan: "Sado akan punah dalam 4 atau 5 tahun yang akan datang."
Tugiman bisa meramal itu. Sudah 22 tahun ia menarik sado. Pernah
ia mengalami masa kejayaan alat angkutan ini, tatkala tiga
ribuan sado merajai jalan-jalan kota tempat tinggalnya,
Pematangsiantar, Sumatera Utara. Kini tercatat tinggal 15 sado
yang bertahan mengais hidup, dengan penghasilan Rp 800 sampai Rp
1.000 sehari.
Tugiman dan kendaraannya adalah satu ilustrasi dari zaman yang
menggelinding. Dengan cepatnya, di banyak tempat, sado yang juga
disebut bendi, andong, dokar, delman, kahar, ebro atau nama
lainnya telah jadi masa lalu.
Tidak jelas kapan alat pengangkut ini lahir. Kendaraan
pengangkut tertua yang dipakai di Indonesia mungkin sekali
adalah pedati yang ditarik lembu. Dalam kitab Pararaton,
misalnya, dikisahkan bahwa dalam Perang Bubat (tahun 1357),
Patih Gajah Mada menaiki pedati. Dalam banyak relief di
candi-candi Hindu, terlukis juga kereta yang dihela sapi.
Kereta yang ditarik kuda memerlukan jalan yang lebih baik dan
rata, karena larinya yang lebih cepat. Thomas Stamford Raffles
melaporkan, di awal abad ke-19 jaringan jalan yang agak baik di
Jawa adalah antara Jakarta-Bogor, Jakarta-Surabaya dan
Semarang-Surakarta-Yogyakarta.
Boleh jadi kereta kuda yang pertama di Indonesia didatangkan
oleh Belanda. Raja-raja Jawa memperolehnya sebagai hadiah dari
penjajah ini juga. Beberapa dari "kereta kencana" ini sampai
sekarang masih terawat baik, disimpan di kraton, dikeramatkan
dengan nama Kiai, dibersihkan sekali setahun dan ada yang
menganggap air cuciannya bertuah.
Tanpa tuah, sado jelas merupakan bentuk yang disederhanakan dari
kereta ningrat tersebut. Ada bermacam bentuk kendaraan ini.
Perbedaannya terutama pada jumlah roda (dua atau empat dengan
berbagai ukuran), kuda yang menarik (satu atau dua ekor),
susunan tempat duduk (berhadapan atau beradu punggung), atau
bentuk karoserinya (persegi atau persegi lonjong).
Selain bangsawan, yang mula-mula memakai kereta kuda adalah
para pembesar Belanda dan orang-orang kaya yang memilikinya
secara pribadi. Di Jakarta puluhan tahun lalu, misalnya, dikenal
kereta penumpang yang disebut "kahar per" (veer) karena memakai
pegas penahan guncangan. Rodanya tinggi dan tidak punya pintu
belakang.
Kereta-keteta itu dibuat oleh wagenmakerij yang biasanya
merangkap bengkel dan tempat pembuatan serta pemasangan tapal
kuda. Kemudian muncul usaha penyewaan kereta. Yang paling
terkenal mungkin Eerste Bataviasche Rijtuig Onderneming
(Perusahaan Kereta Pertama Batavia). Saking terkenalnya,
singkatan nama perusahaan ini, EBRO, berkembang jadi nama bentuk
alat angkutan ini. Rautnya persis seperti andong yang ada di
Yogyakarta.
Tapi tak semua bermula pada "Ebro".
Kata "sado" misalnya berasal dari istilah Prancis, dos-a-ados
(bertolak belakang). Kendaraan beroda dua ini susunan tempat
duduknya memang membuat para penumpangnya beradu punggung. Dan
"delman"? Istilah itu dianggap berasal dari nama seorang
insinyur Belanda C.T. Deeleman (1823-1884) yang menciptakan
bentuk kereta baru yang lebih kuat dengan tempat duduk di
belakangnya yang terbagi dua, saling berhadapan.
Sisa bekas raja jalanan Batavia itu sekarang masih bisa dijumpai
di pinggran Jakarta, antara lain di Kebayoran Lama. Keadaannya
jauh dari masa jayanya dulu. Tak ada lagi hiasan. Yang tinggal
hanyalah kelintingan-kelintingan kecil yang dipasang di punggung
kuda. Warna kereta kusam, seperti juga nasibnya. Peralatan kuda
didatangkan dari Sukabumi. Sedang cambuk, seharga Rp 1.000,
dibawa pedagang dari Bogor.
Penumpang delman di Kebayoran Lama kini harus sabar. Terkadang
mereka harus menunggu sampai 45 menit. Alasan: kusir segan
menjalankan delmannya sebelum penuh, artinya sampai ia mendapat
empat penumpang. Pak Badeng, kusir delman sejak "zaman normal",
mengaku memperoleh sekitar Rp 3.000 seharinya. Biaya makanan
kuda Rp 1.000. Sedang rumputnya? "Ngarit sendiri," jawabnya.
Delman yang paling unik bentuknya terdapat di daerah Kudus atau
Pati (Jawa Tengah). Ada dua jenis di sini: "dokar kerangkeng"
dan "dokar delman". Tempat penumpang dokar kerangkeng berbentuk
kotak, dibuat dari kayu jati, sekelilingnya dipagari jeruji besi
hingga benar-benar mirip kerangkeng. Atapnya dibuat dari seng
yang dilapisi gedek bambu. Penumpangnya enam orang termasuk
kusir -- duduk bersila. Kuda penariknya seekor. Rodanya dilapisi
karet ban bekas. Kendaraan ini umumnya untuk mengangkut
penumpang yang banyak memhawa barang.
Bentuk dokar delman tak berbeda dengan delman biasa. Berdasar
UU No. 3/1965, kendaraan tak bermotor ini diatur oleh pemerintah
daerah. Di Kudus pembinaannya di bawah Dinas PUK (Pekerjaan Umum
Kota). Selain mendaftar, para kusir harus juga rnemperoleh Surat
Izin Mengemudi (SIM) Khusus dokar. Pajaknya per tahun Rp 475. Di
kabupaten ini sekarang ada sekitar 400 buah dokar. Hanya dokar
di sini, dengan kudanya Rp 350.000.
Di Sumatera Barat, kejayaan bendi dahulu tercermin dalam lagu
yang kini masih terkenal Berbendi-bendi ke Sungai lah Tanang, .
. . Tapi kini, Sungai Tanang, 7 km dari Bukittinggi, sudah tak
bisa dikunjungi bendi. Tempat wisata itu kini tak terurus.
Kondisi jalannya rusak hingga kereta berkuda tak bisa sampai ke
tempat itu -- dan sang bendi pun nyaris punah.
Di provinsi ini memang hanya di Payakumbuh nasib bendi lebih
mendingan. Pemerintah setempat memberi trayek khusus untuk bendi
yang tak boleh dimasuki oplet. Untuk desa sekitar kota tiap
penumpang dikenakan pembayaran Rp 50. Terminalnya juga diatur,
hingga bendi bisa bergiliran berangkat. Masyarakat Payakumbuh
sendiri tampaknya masih menyenangi alat angkutan ini.
Payakumbuh barangkali seperti Kencong, Jember, Jawa Timur. Di
sana kusir dokar masih bisa tersenyum. Ini karena masih kuatnya
tradisi menggunakan dokar untuk mengarak pengantin atau
khitanan. "Bagi orang desa, dokar itu seperti Mercy ketika
mengarak pengantin," cerita seorang penduduk Kencong. Biasanya
arakan itu pada malam hari, dan kuda penariknya dipilih yang
gagah, yang biasa disebut "dergem siwalan" (sejenis kuda balap).
Tarif sewanya sekitar Rp 2.000.
Seperti di daerah lain di Ja-Tim, dokar di Kencong beroda dua
terbuat dari kayu dengan garis tengah 1,40 m dengan lapisan ban.
Mungkin karena cukup laris, di Kencong masih terdapat tukang
khusus pembuat perlengkapan kuda -- satu jenis kerajinan yang
kian sulit didapat.
Tapi mungkin dari semua bentuk sado yang ada, cuma di Cibadak
(30 km dari Bogor menuju ke Sukabumi) kendaraan itu tak meniru
kereta ningrat lama, meskipun terpengaruh selera "ningrat" baru:
mobil.
Nayor, demikian delman di sana disebut, ditarik seekor kuda.
Tapi rodanya ban mobil, ukuran 600 x 13,5 (ukuran bis mini).
Sebagai penahan guncangan pernya juga per mobil. Kerangka kereta
dari kayu, yang dilapisi seng, juga dicat seperti mobil. Ada
yang dihiasi ornamen. Penumpang naik dari pintu belakang. Kuda
penariknya tak memakai hiasan. Alasan: "Karena banyak yang
mencurinya," kata seorang "sopir" nayor di sana.
SEKITAR 30 nayor setiap hari kini mangkal di depan pasar
Cibadak. Penumpangnya kebanyakan orang yang berbelanja ke
pasar, yang membawa barang. Ongkos nayor untuk jarak sampai 3 km
Rp 400, dibanding oplet yang hanya Rp 100. Toh seorang sais
nayor tiap hari bisa memperoleh sekitar Rp 3.000 bersih. Tak ada
saingan becak di sini, karena jalan di Cibadak yang naik turun.
Bagaimana keadaan delman di "Kota Andong" Yogyakarta?
Diperkirakan di seluruh DIY kini tinggal ada 400 andong dari
jumlah ribuan pada 1960-an. Yogyakarta memang unik para kusir
andong harus memakai seragam, baju biru dengan garis tepi putih
yang konon telah ada sejak sebelum kemerdekaan. Mereka juga
diwajibkan memakai blangkon.
Membanjirnya turis asing di Yogyakarta rupanya dimanfaatkan
sebagian kusir andong. Yosodikromo, 53 tahun, kini lebih suka
mangkal di depan hotel. Alasannya, "Turis asing lebih royal
kalau memberi tip, sedang kalau mengangkut bakul, kerongkongan
sampai kering buat tawar-menawar." Maka Yoso pun pasang tarif Rp
3.000 per jam dengan pemakaian minimal 2 jam. "Pendapatan saya
sehari-hari rata-rata Rp 6.000," ucap Yoso bangga.
Di Yogya, andong juga wajib memasang karung bekas di bawah
pantat kuda untuk menampung kotorannya. Selain itu andong perlu
dilengkapi tanda untuk membelok, berupa kardus bulat yang
tengahnya dicat merah dan diberi tangkai.
Yogya juga satu-satunya kota yang menyelenggarakan Festival
Andong. Tahun ini diselenggarakan 29 Agustus lalu, dengan pawai
yang diikuti kereta kraton yang diiringi 50 prajurit Kraton
Yogyakarta. Dan seperti para prajurit itu, andong pun kini lebih
berfungsi dekoratif: fungsinya lama mulai hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini