SESUATU yang riskan sedang dipertaruhkan di dalam sistem
peradilan kriminal kita," kata Hakim Federal William Bryant
mengenai investigasi Abscam. Yaitu bentuk pembuktian melalui
video-tape, yang akhir-akhir ini banyak dihebohkan di Amerika
Serikat. Setidak-tidaknya, nada sangsi seperti itu muncul
setelah kasus seorang bekas anggota Kongres, yang dipersalahkan
melakukan korupsi politik.
Pada Mei 1982, Richard Kelly, bekas wakil Florida di Kongres
AS dituduh terlibat penyogokan dan persekongkolan.
Peristiwanya sendiri nyaris merupakan teka-teki. Sejumlah agen
FBI menyamar sebagai wakil seorang sheikh Arab. Mereka menemui
Kelly, dan melibatkan tokoh malang itu ke dalam kasus yang
mendatangkan aib.
Setelah itu masih ada beberapa bekas anggota Kongres yang
terjerat "investigasi Abscam". Tentu banyak di antara mereka
yang menyesalkan penggunaan sistem ini. Mereka menyebut taktik
itu tidak sah. "Bahkan Kongres dan Mahkamah Agung mengeluh, dan
menganggap para tertuduh diperlakukan tidak adil. Mereka sengaja
dipancing ke dalam suatu tindak pidana," kata Kevin McKean dalam
tulisannya di majalah Discover, Juli 1982.
Kini, "Abscam" juga mendapat kecaman dari beberapa ilmuwan
sosial. Mereka menyebut agen-agen FBI dan Mel Weinberg --
pengecoh yang dituduh membantu para agen itu -- mengatur semacam
kongkalikong yang memuakkan. Dengan sengaja atau tidak, mereka
menggunakan teknik psikologis yang sangat ampuh dalam memaksa
beberapa politikus menerima uang semir. Sementara itu, sebuah
kamera video-tape tersembunyi merekam peristiwa tersebut untuk
menyajikan "bukti" di kemudian hari.
"Tidakkah teknik seperti ini mempunyai efek 'menciptakan' para
pelaku kejahatan, lebih dari pada 'menangkap' mereka?" kata
McKean mengajukan pertanyaan. "Apakah beberapa tertuduh dalam
kasus Abscam dapat menghindari godaan menerima uang semir bila
mereka tidak berada di bawah tekanan yang hebat sekali? Dan
dapatkah seorang penuntut lepas dari perasaan malu telah
menggunakan teknik yang sama, yang dapat menjebak setiap
warganegara ke dalam tindak pidana?"
Salah seorang yang turut mengajukan pertanyaan serupa adalah
Albert Levitt, psikolog konsultan pada Temple University, dan
psikolog senior pada Philadelphia's Court of Common Pleas. Ia
diminta tim pembela mempertimbangkan rekaman video-tpe yang
digunakan FBI mendakwa Harry Jannotti, anggota dewan Kota
Philadelphia.
Sebermula beberapa agen FBI yang menyamar datang mengunjungi
Jannotti. Kepada anggota dewan kota itu mereka mengaku mewakili
sebuah grup penanam modal yang dikepalai seorang sheikh Arab.
Grup ini dikecapkan ingin mendirikan kompleks restoran dan
perhotelan bernilai US$44 juta di Philadelphia. Mereka tak lupa
membisikkan, sheikh tak segan-segan mengeluarkan uang pelincir
sekedarnya demi memperlancar semua urusan. Sementara itu, sebuah
kamera tersembunyi merekam adegan ini.
Tanggapan Jannotti -- sepanjang rekaman video-tape yang kabur
itu "membuktikan" -- sebenarnya biasa-biasa saja. Ia berkata
dapat membantu proyek tersebut, "sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum."
Ia kemudian menambahkan, "atas dasar keterangan anda dan niat
mereka (sheikh), saya cukup berbicara di dewan dengan cara
sedikit meyakinkan." Setelah itu, kamera merekam akting Jannotti
menerima amplop berisi US$10 ribu dari agen FBI Michael Wald.
Nah. Mengapa Jannotti toh akhirnya menerima uang haram itu?
Jawabannya, menurut Levitt, terletak pada eksperimen psikologis
klasik yang diulangi FBI dalam mengantarkan tekanan tersembunyi.
Levitt ingat, ia sendiri pernah terlibat eksperimen semacam itu
tatkala masih mahasiswa pada Temple University, 1961. Ia bersama
tujuh sukarelawan dikelompokkan dalam sebuah grup dan diharuskan
menjawab serangkaian pertanyaan yang bersifat pilihan.
Jawaban yang harus dipilih tampaknya sangat sederhana, nyaris
tak memerlukan pertimbangan. Namun beberapa rekan sekelompok
memilih sejumlah jawaban yang jelas-jelas salah. Situasi ini
membuat Levitt merasa terpojok. "Pengalaman yang sungguh tak
sedap," katanya mengenangkan. "Saya terpaksa berjuang melawan
kelompok itu, sementara saya mulai meragukan pikiran saya
sendiri."
Kelak Levitt mengerti tes itu hanya sandiwara. Mahasiswa lain
bekerja sama dengan penguji, tes sesungguhnya bertujuan menguji
ketabahan seorang mahasiswa menghadapi mayoritas. Levitt
ternyata mampu bertahan, tapi belum tentu hal yang sama bisa
terjadi pada semua mahasiswa yang mengikuti tes seperti itu.
Bagi Levitt, eksperimen semacam ini memperlihatkan betapa
beratnya melawan mayoritas, kendati akal sehat mengetahui
mayoritas itu berada di pihak yang salah. Demikian pulalah,
katanya, yang dialami para tertuduh Abscam menghadapi para agen
FBI dan pembantu-pembantu mereka.
Dalam kasus Jannotti, misalnya, anggota dewan kota itu
mendapatkan dirinya di dalam sebuah kamar bersama setiap orang
-- dua agen FBI yang mewakili 'sheikh' dan seorang pengacara
sewaan -- yang menyarankan tindakan mentoleransi penyogokan.
Tambahan pula, sejalan dengan eksperimen di Temple University
(di mana mayoritas menjawab beberapa pertanyaan dengan benar),
para agen FBI itu sengaja mencampur-adukkan urusan bisnis yang
sah dengan tindakan melanggar hukum.
Levitt mengatakan, "setiap orang dapat melakukan pilihan yang
diambil Jannotti di bawah tekanan yang serupa. Menurut hemat
psikolog ini, hanya dua jenis manusia yang mampu melawan. "Yang
ekstrim independen, atau yang ekstrim paranoid."
PENTING pula diingat, kata Levitt "fakta bahwa penyogokan itu
dilakukan seorang asing, yang mungkin sudah sangat terbiasa
dengan urusan sogok-menyogok, sehingga baginya pekerjaan itu
tampak sah." Agen Wald sendiri, dalam peranannya sebagai "wakil
sheikh" menerangkan kepada Jannotti: "Gaya bisnis mereka lain
dengan gaya bisnis kita. Mereka tak mau tahu soal-soal yang
mungkin menghambat rencana."
Maka Jannotti khawatir, demi kian analisa Levitt, kalau ia
menolak uang semir itu si 'Arab' tak jadi membangun kompleks
restoran dan perhotelan di Philadelphia. "Dia telah melakukan
sesuatu yang melanggar hukum demi sedikit berbakti kepada
kotanya," kata Levitt mengajukan pembelaan. Boleh juga.
Elemen asing bisa juga memainkan peranan rumit untuk para
tertuduh Abscam dalam kasus menghadapi sheikh bohong-bohongan
ini. Tokoh Arab itu diperankan Richard Farhart seorang agen FBI
yang terpilih karena tampangnya yang agak meyakinkan. Apalagi
dalam memainkan rolnya, Farhart bisa berbahasa Inggris secara
canggung dan terpatah-patah. "Fakta ini," kata Roger Shuy,
seorang linguis dari Georgetown University di Washington DC,
"mungkin membuat para tertuduh akhirnya sudi menenggang usul
yang sebetulnya tak senonoh itu."
Shuy menjelaskan, "semata-mata sopan dan beradab bagi seorang
yang berlidah Inggris untuk menenggang orang asing yang bahasa
Inggrisnya kurang tepat, bermakna ganda, bahkan mungkin
membingungkan." Demikian pula, katanya lebih lanjut, "seperti
mungkin diketahui, adat istiadat pembicara tersebut berbeda
dengan etika Amerika. Maka mungkin saja, tuan rumah merasa
terpaksa melayani usul tamunya dengan sopan dan hormat, bukan
dengan rasa benci dan sakit hati."
Faktor ini pula mungkin sangat penting dipertimbangkan, kata
Shuy, tatkala bekas senator New Jersey, Harrison Williams,
berhadapan dengan Farhart dalam sebuah pertemuan penting, 15
Januari 1980. Belakangan, rekaman Abscam atas pertemuan itu
dijadikan bukti primer untuk menuduh Williams menerima sogok dan
mclakukan persekongkolan.
SENATOR ini telah menerima langsung uang tunai untuk jasanya
membantu 'sheikh Arab' tadi beroleh izin menetap di Amerika
Serikat. Farhart mencoba menghubungkan urusan izin menetap itu
dengan janji pinjaman US$100 juta untuk sebuah usaha tambang
titanium yang kebetulan diidam-idamkan Williams. Seperti yang
terekam dalam video-tape Abscam yang menghebohkan itu:
Sheikh: Ah, sepanjang hal ini memungkinkan, untuk meyakinkan,
menjamin saya, ah, memperhatikan, eh, izin menetap. Hm, urusan
tambang titanium akan sepenuhnya termasuk. Pada penghujung, hm,
akhir, hm, bulan.
Williams: Ya.
Sheikh: Dapatkah saya?
Williams: Dapat.
Sheikh: Saya akan . . .
Williams: Anda dapat . . .
Sheikh: Percayalah.
Williams: Anda dapat pulang sekarang, dengan jaminan bahwa saya
akan melakukan segala hal yang memungkinkan anda menetap di
negeri ini. Terus terang saya katakan, tak dapat melakukan hal
itu secara perseorangan. Hm, itu adalah masalah hukum.
Sementara para penuntut dan juri dibingungkan oleh rekaman
percakapan ini, Shuy berusaha meyakinkan betapa ketidaktepatan
linguistik memungkinkan interpretasi yang berbeda-beda. "Naskah
tertulis ucapan Farhart mengesankan sangkut paut antara soal
izin menetap dengan pertambangan titanium," katanya. "Tapi dalam
bahasa percakapan, hal itu tak demikian jelas. Terdapat jeda
yang panjang dan tak lazim antara satu kata dengan lainnya, dan
banyak preposition serta article yang seperti sengaja
dihilangkan."
Menurut Shuy, jawaban "Ya" pertama dari Senator Williams harus
diartikan "Saya akan mendengarkan anda, bicaralah." Jadi bukan
berarti "Saya setuju." Demikian pula halnya dengan kalimat
terakhir.
Menurut Shuy, Williams hanya berjanji menolong sang sheikh
melengkapi keterangan yang diperlukan untuk prosedur izin
menetap. Secara khas Williams bahkan mengatakan dia sendiri tak
dapat menjamin hak menetap untuk seseorang.
Shuy juga berpendapat, agen-agen pemerintah sengaja menggunakan
kesamaran linguistik untuk menjebak Williams ke dalam situasi
yang membuat ia tampak bersalah melalui pita rekaman. Strategi
mereka termasuk "menyusun skenario", atau menyediakan kata-kata
yang akan diucapkan sang senator, menukar beberapa kata sehingga
terdengar ilegal, dan membuat kalimat-kalimat seperti teka-teki
sehingga maknanya bisa ditarik ke sana ke mari.
Salah satu sisi yang paling busuk dari strategi itu, menurut
Shuy, termasuk usaha mencegah sang tertuduh mengucapkan
pernyataan yang kelak memungkinkan ia membela diri. Tatkala,
misalnya, Williams menolak uang sogokan itu, seorang agen FBI
yang mengintai dari pintu sebelah segera memutuskan percakapan
dengan cara menelepon Farhart. Ia menyarankan agar Farhart
menggunakan strategi baru.
Ada kalanya para agen FBI itu mati-matian berusaha agar korban
mereka masuk ke dalam perangkap. Dalam hal ini Shuy mengambil
kasus anggota Kongres Kelly. Sembilan kali tokoh ini menolak
uang semir, tapi akhirnya ia "takluk" juga dan menerima US$25
ribu. Pada saat itulah ia "ditangkap basah". Menurut Shuy,
contoh seperti ini lebih memperlihatkan "pelanggaran atas
hak-hak kita, dan kebrengsekan polisi memperlakukan korbannya."
Shuy menambahkan, analisa linguistik yang dilakukan atas topik
demi topik pertemuan dan pembicaraan Williams dengan sheikh Arab
palsu itu lebih banyak menunjukkan peranan pasif Williams. Ia
tak sampai mengambil seperempat dari seluruh percakapan, dan
duapertiga dari bagian itu lebih bersifat pemberian informasi.
Ia tampak lebih berperan sebagai orang luar, ketimbang sekutu
dalam persekongkolan.
Bahkan di dalam video-tape FBI itu, Williams kadang-kadang
kentara berada di bawah komando. "Kontradiksinya," kata
Elizabeth Loftus, psikolog dari University of Washington,
Seattle, "mungkin terletak pada cara menempatkan kamera."
Video-tape memperlihatkan wajah Williams seutuhnya. Sedangkan
para agen FBI sebagian besar direkam dari belakang atau samping.
Pandangan frontal itu merugikan posisi Williams. Para penuntut
langsung merasa berhadapan dengan dia, dan teknik pemotretan
seperti itu menimbulkan kesan lebih mengekspos tokoh tersebut.
Untuk mendukung pendapatnya, Loftus mengingatkan pada studi yang
pernah dilakukan di Harvard, 1975. Studi itu membuktikan,
persepsi seorang pengamat dalam sebuah percakapan banyak sekali
dipengaruhi oleh tokoh yang diperhatikannya.
Dari segi lain Loftus malah lebih kritis. Ia menaruh syak pada
pita rekaman yang dijadikan bahan bukti itu. Meski "shooting "
dilakukan di kamar hotel mewah, kata Loftus, mutu rekaman itu
bagaikan "film porno 1940-an". Gambarnya kumal, penampilan para
tokoh menimbulkan kesan "adegan setan-setanan". Kemudian kesan
penonton menjadi lebih buruk, sebab film itu memperlihatkan
pelbagai nomor hari dan tanggal, mengingatkan orang akan
poster-poster "wanted".
Seorang ahli lain, Mary Gallagher ikut pula angkat bicara.
Linguis dan pengacara ini mengingatkan orang akan kesan
prasangka yang sudah 'dibina' melalui serial TV. "Ambillah
seorang politikus yang tampangnya paling jujur," katanya.
"Tempatkan di antara sekelompok orang busuk dan besar mulut. Dia
akan segera tampak berdosa."
"Di dalam film," katanya lebih jauh, "sang peran bisa berdiri,
memukul meja, dan membentak-bentak. Hal itu tak mungkin terjadi
dalam kehidupan biasa." Maksudnya, dalam percakapan biasa,
ketika sang tokoh tak tahu bahwa dia sedang ditembak dengan
kamera Abscam. "Seorang linguis maklum bahwa anda toh tidak akan
bertindak sebagai John Wayne," katanya.
Tak seorang pun ilmuwan yang terlibat dalam gelombang kritik
terhadap Abscam percaya, bahwa para tertuduh bertindak untuk
penampilan yang lebih baik. Semua rekaman video-tape
memperlihatkan adegan para tertuduh itu menerima uang suap,
kadang-kadang lengkap dengan adegan memasukkan uang ke dalam
saku. Namun tidak semua politikus yang dijebak operasi Abscam
masuk perangkap. Ada juga yang gigih menolak, atau sama sekali
tak bersedia berjumpa dengan "wakil sheikh" itu.
YANG dikhawatirkan para ilmuwan dan banyak orang Amerika
lainnya, tulis Kevin McKean, ialah "kemungkinan manipulasi oleh
para penuntut dan agen-agen yang menyamar dalam menentukan
target mereka." Maksudnya, bisa saja seseorang dijebak ke dalam
situasi melanggar hukum, tanpa ia menginginkan sebelumnya.
Dalam menyusun "perangkap" di masa depan, para ahli menyarankan
agen pemerintah tidak menggunakan teknik tertentu. Misalnya:
menyamar sebagai orang asing, memegang peranan "pelopor" dalam
aktivitas yang menjurus tindakan melanggar hukum, atau berusaha
mencegah sang "korban" mengucapkan keterangan yang mungkin
meringankan dia di masa depan. Gallagher dan rekan-rekannya
menghimbau polisi untuk mempertimbangkan kembali penggunaan
video-tape tersembunyi. Pendeknya, agar menggunakan cara yang
memperlakukan para tertuduh lebih adil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini