Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Abscam, si penjebak abscam, si penjebak

Abscam yaitu pembuktian melalui video-tape mendapat kecaman dari beberapa ilmuwan sosial, muncul setelah kasus seorang eks anggota kongres as, richard kelly, dituduh melakukan korupsi politik. (sel)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUATU yang riskan sedang dipertaruhkan di dalam sistem peradilan kriminal kita," kata Hakim Federal William Bryant mengenai investigasi Abscam. Yaitu bentuk pembuktian melalui video-tape, yang akhir-akhir ini banyak dihebohkan di Amerika Serikat. Setidak-tidaknya, nada sangsi seperti itu muncul setelah kasus seorang bekas anggota Kongres, yang dipersalahkan melakukan korupsi politik. Pada Mei 1982, Richard Kelly, bekas wakil Florida di Kongres AS dituduh terlibat penyogokan dan persekongkolan. Peristiwanya sendiri nyaris merupakan teka-teki. Sejumlah agen FBI menyamar sebagai wakil seorang sheikh Arab. Mereka menemui Kelly, dan melibatkan tokoh malang itu ke dalam kasus yang mendatangkan aib. Setelah itu masih ada beberapa bekas anggota Kongres yang terjerat "investigasi Abscam". Tentu banyak di antara mereka yang menyesalkan penggunaan sistem ini. Mereka menyebut taktik itu tidak sah. "Bahkan Kongres dan Mahkamah Agung mengeluh, dan menganggap para tertuduh diperlakukan tidak adil. Mereka sengaja dipancing ke dalam suatu tindak pidana," kata Kevin McKean dalam tulisannya di majalah Discover, Juli 1982. Kini, "Abscam" juga mendapat kecaman dari beberapa ilmuwan sosial. Mereka menyebut agen-agen FBI dan Mel Weinberg -- pengecoh yang dituduh membantu para agen itu -- mengatur semacam kongkalikong yang memuakkan. Dengan sengaja atau tidak, mereka menggunakan teknik psikologis yang sangat ampuh dalam memaksa beberapa politikus menerima uang semir. Sementara itu, sebuah kamera video-tape tersembunyi merekam peristiwa tersebut untuk menyajikan "bukti" di kemudian hari. "Tidakkah teknik seperti ini mempunyai efek 'menciptakan' para pelaku kejahatan, lebih dari pada 'menangkap' mereka?" kata McKean mengajukan pertanyaan. "Apakah beberapa tertuduh dalam kasus Abscam dapat menghindari godaan menerima uang semir bila mereka tidak berada di bawah tekanan yang hebat sekali? Dan dapatkah seorang penuntut lepas dari perasaan malu telah menggunakan teknik yang sama, yang dapat menjebak setiap warganegara ke dalam tindak pidana?" Salah seorang yang turut mengajukan pertanyaan serupa adalah Albert Levitt, psikolog konsultan pada Temple University, dan psikolog senior pada Philadelphia's Court of Common Pleas. Ia diminta tim pembela mempertimbangkan rekaman video-tpe yang digunakan FBI mendakwa Harry Jannotti, anggota dewan Kota Philadelphia. Sebermula beberapa agen FBI yang menyamar datang mengunjungi Jannotti. Kepada anggota dewan kota itu mereka mengaku mewakili sebuah grup penanam modal yang dikepalai seorang sheikh Arab. Grup ini dikecapkan ingin mendirikan kompleks restoran dan perhotelan bernilai US$44 juta di Philadelphia. Mereka tak lupa membisikkan, sheikh tak segan-segan mengeluarkan uang pelincir sekedarnya demi memperlancar semua urusan. Sementara itu, sebuah kamera tersembunyi merekam adegan ini. Tanggapan Jannotti -- sepanjang rekaman video-tape yang kabur itu "membuktikan" -- sebenarnya biasa-biasa saja. Ia berkata dapat membantu proyek tersebut, "sepanjang tidak bertentangan dengan hukum." Ia kemudian menambahkan, "atas dasar keterangan anda dan niat mereka (sheikh), saya cukup berbicara di dewan dengan cara sedikit meyakinkan." Setelah itu, kamera merekam akting Jannotti menerima amplop berisi US$10 ribu dari agen FBI Michael Wald. Nah. Mengapa Jannotti toh akhirnya menerima uang haram itu? Jawabannya, menurut Levitt, terletak pada eksperimen psikologis klasik yang diulangi FBI dalam mengantarkan tekanan tersembunyi. Levitt ingat, ia sendiri pernah terlibat eksperimen semacam itu tatkala masih mahasiswa pada Temple University, 1961. Ia bersama tujuh sukarelawan dikelompokkan dalam sebuah grup dan diharuskan menjawab serangkaian pertanyaan yang bersifat pilihan. Jawaban yang harus dipilih tampaknya sangat sederhana, nyaris tak memerlukan pertimbangan. Namun beberapa rekan sekelompok memilih sejumlah jawaban yang jelas-jelas salah. Situasi ini membuat Levitt merasa terpojok. "Pengalaman yang sungguh tak sedap," katanya mengenangkan. "Saya terpaksa berjuang melawan kelompok itu, sementara saya mulai meragukan pikiran saya sendiri." Kelak Levitt mengerti tes itu hanya sandiwara. Mahasiswa lain bekerja sama dengan penguji, tes sesungguhnya bertujuan menguji ketabahan seorang mahasiswa menghadapi mayoritas. Levitt ternyata mampu bertahan, tapi belum tentu hal yang sama bisa terjadi pada semua mahasiswa yang mengikuti tes seperti itu. Bagi Levitt, eksperimen semacam ini memperlihatkan betapa beratnya melawan mayoritas, kendati akal sehat mengetahui mayoritas itu berada di pihak yang salah. Demikian pulalah, katanya, yang dialami para tertuduh Abscam menghadapi para agen FBI dan pembantu-pembantu mereka. Dalam kasus Jannotti, misalnya, anggota dewan kota itu mendapatkan dirinya di dalam sebuah kamar bersama setiap orang -- dua agen FBI yang mewakili 'sheikh' dan seorang pengacara sewaan -- yang menyarankan tindakan mentoleransi penyogokan. Tambahan pula, sejalan dengan eksperimen di Temple University (di mana mayoritas menjawab beberapa pertanyaan dengan benar), para agen FBI itu sengaja mencampur-adukkan urusan bisnis yang sah dengan tindakan melanggar hukum. Levitt mengatakan, "setiap orang dapat melakukan pilihan yang diambil Jannotti di bawah tekanan yang serupa. Menurut hemat psikolog ini, hanya dua jenis manusia yang mampu melawan. "Yang ekstrim independen, atau yang ekstrim paranoid." PENTING pula diingat, kata Levitt "fakta bahwa penyogokan itu dilakukan seorang asing, yang mungkin sudah sangat terbiasa dengan urusan sogok-menyogok, sehingga baginya pekerjaan itu tampak sah." Agen Wald sendiri, dalam peranannya sebagai "wakil sheikh" menerangkan kepada Jannotti: "Gaya bisnis mereka lain dengan gaya bisnis kita. Mereka tak mau tahu soal-soal yang mungkin menghambat rencana." Maka Jannotti khawatir, demi kian analisa Levitt, kalau ia menolak uang semir itu si 'Arab' tak jadi membangun kompleks restoran dan perhotelan di Philadelphia. "Dia telah melakukan sesuatu yang melanggar hukum demi sedikit berbakti kepada kotanya," kata Levitt mengajukan pembelaan. Boleh juga. Elemen asing bisa juga memainkan peranan rumit untuk para tertuduh Abscam dalam kasus menghadapi sheikh bohong-bohongan ini. Tokoh Arab itu diperankan Richard Farhart seorang agen FBI yang terpilih karena tampangnya yang agak meyakinkan. Apalagi dalam memainkan rolnya, Farhart bisa berbahasa Inggris secara canggung dan terpatah-patah. "Fakta ini," kata Roger Shuy, seorang linguis dari Georgetown University di Washington DC, "mungkin membuat para tertuduh akhirnya sudi menenggang usul yang sebetulnya tak senonoh itu." Shuy menjelaskan, "semata-mata sopan dan beradab bagi seorang yang berlidah Inggris untuk menenggang orang asing yang bahasa Inggrisnya kurang tepat, bermakna ganda, bahkan mungkin membingungkan." Demikian pula, katanya lebih lanjut, "seperti mungkin diketahui, adat istiadat pembicara tersebut berbeda dengan etika Amerika. Maka mungkin saja, tuan rumah merasa terpaksa melayani usul tamunya dengan sopan dan hormat, bukan dengan rasa benci dan sakit hati." Faktor ini pula mungkin sangat penting dipertimbangkan, kata Shuy, tatkala bekas senator New Jersey, Harrison Williams, berhadapan dengan Farhart dalam sebuah pertemuan penting, 15 Januari 1980. Belakangan, rekaman Abscam atas pertemuan itu dijadikan bukti primer untuk menuduh Williams menerima sogok dan mclakukan persekongkolan. SENATOR ini telah menerima langsung uang tunai untuk jasanya membantu 'sheikh Arab' tadi beroleh izin menetap di Amerika Serikat. Farhart mencoba menghubungkan urusan izin menetap itu dengan janji pinjaman US$100 juta untuk sebuah usaha tambang titanium yang kebetulan diidam-idamkan Williams. Seperti yang terekam dalam video-tape Abscam yang menghebohkan itu: Sheikh: Ah, sepanjang hal ini memungkinkan, untuk meyakinkan, menjamin saya, ah, memperhatikan, eh, izin menetap. Hm, urusan tambang titanium akan sepenuhnya termasuk. Pada penghujung, hm, akhir, hm, bulan. Williams: Ya. Sheikh: Dapatkah saya? Williams: Dapat. Sheikh: Saya akan . . . Williams: Anda dapat . . . Sheikh: Percayalah. Williams: Anda dapat pulang sekarang, dengan jaminan bahwa saya akan melakukan segala hal yang memungkinkan anda menetap di negeri ini. Terus terang saya katakan, tak dapat melakukan hal itu secara perseorangan. Hm, itu adalah masalah hukum. Sementara para penuntut dan juri dibingungkan oleh rekaman percakapan ini, Shuy berusaha meyakinkan betapa ketidaktepatan linguistik memungkinkan interpretasi yang berbeda-beda. "Naskah tertulis ucapan Farhart mengesankan sangkut paut antara soal izin menetap dengan pertambangan titanium," katanya. "Tapi dalam bahasa percakapan, hal itu tak demikian jelas. Terdapat jeda yang panjang dan tak lazim antara satu kata dengan lainnya, dan banyak preposition serta article yang seperti sengaja dihilangkan." Menurut Shuy, jawaban "Ya" pertama dari Senator Williams harus diartikan "Saya akan mendengarkan anda, bicaralah." Jadi bukan berarti "Saya setuju." Demikian pula halnya dengan kalimat terakhir. Menurut Shuy, Williams hanya berjanji menolong sang sheikh melengkapi keterangan yang diperlukan untuk prosedur izin menetap. Secara khas Williams bahkan mengatakan dia sendiri tak dapat menjamin hak menetap untuk seseorang. Shuy juga berpendapat, agen-agen pemerintah sengaja menggunakan kesamaran linguistik untuk menjebak Williams ke dalam situasi yang membuat ia tampak bersalah melalui pita rekaman. Strategi mereka termasuk "menyusun skenario", atau menyediakan kata-kata yang akan diucapkan sang senator, menukar beberapa kata sehingga terdengar ilegal, dan membuat kalimat-kalimat seperti teka-teki sehingga maknanya bisa ditarik ke sana ke mari. Salah satu sisi yang paling busuk dari strategi itu, menurut Shuy, termasuk usaha mencegah sang tertuduh mengucapkan pernyataan yang kelak memungkinkan ia membela diri. Tatkala, misalnya, Williams menolak uang sogokan itu, seorang agen FBI yang mengintai dari pintu sebelah segera memutuskan percakapan dengan cara menelepon Farhart. Ia menyarankan agar Farhart menggunakan strategi baru. Ada kalanya para agen FBI itu mati-matian berusaha agar korban mereka masuk ke dalam perangkap. Dalam hal ini Shuy mengambil kasus anggota Kongres Kelly. Sembilan kali tokoh ini menolak uang semir, tapi akhirnya ia "takluk" juga dan menerima US$25 ribu. Pada saat itulah ia "ditangkap basah". Menurut Shuy, contoh seperti ini lebih memperlihatkan "pelanggaran atas hak-hak kita, dan kebrengsekan polisi memperlakukan korbannya." Shuy menambahkan, analisa linguistik yang dilakukan atas topik demi topik pertemuan dan pembicaraan Williams dengan sheikh Arab palsu itu lebih banyak menunjukkan peranan pasif Williams. Ia tak sampai mengambil seperempat dari seluruh percakapan, dan duapertiga dari bagian itu lebih bersifat pemberian informasi. Ia tampak lebih berperan sebagai orang luar, ketimbang sekutu dalam persekongkolan. Bahkan di dalam video-tape FBI itu, Williams kadang-kadang kentara berada di bawah komando. "Kontradiksinya," kata Elizabeth Loftus, psikolog dari University of Washington, Seattle, "mungkin terletak pada cara menempatkan kamera." Video-tape memperlihatkan wajah Williams seutuhnya. Sedangkan para agen FBI sebagian besar direkam dari belakang atau samping. Pandangan frontal itu merugikan posisi Williams. Para penuntut langsung merasa berhadapan dengan dia, dan teknik pemotretan seperti itu menimbulkan kesan lebih mengekspos tokoh tersebut. Untuk mendukung pendapatnya, Loftus mengingatkan pada studi yang pernah dilakukan di Harvard, 1975. Studi itu membuktikan, persepsi seorang pengamat dalam sebuah percakapan banyak sekali dipengaruhi oleh tokoh yang diperhatikannya. Dari segi lain Loftus malah lebih kritis. Ia menaruh syak pada pita rekaman yang dijadikan bahan bukti itu. Meski "shooting " dilakukan di kamar hotel mewah, kata Loftus, mutu rekaman itu bagaikan "film porno 1940-an". Gambarnya kumal, penampilan para tokoh menimbulkan kesan "adegan setan-setanan". Kemudian kesan penonton menjadi lebih buruk, sebab film itu memperlihatkan pelbagai nomor hari dan tanggal, mengingatkan orang akan poster-poster "wanted". Seorang ahli lain, Mary Gallagher ikut pula angkat bicara. Linguis dan pengacara ini mengingatkan orang akan kesan prasangka yang sudah 'dibina' melalui serial TV. "Ambillah seorang politikus yang tampangnya paling jujur," katanya. "Tempatkan di antara sekelompok orang busuk dan besar mulut. Dia akan segera tampak berdosa." "Di dalam film," katanya lebih jauh, "sang peran bisa berdiri, memukul meja, dan membentak-bentak. Hal itu tak mungkin terjadi dalam kehidupan biasa." Maksudnya, dalam percakapan biasa, ketika sang tokoh tak tahu bahwa dia sedang ditembak dengan kamera Abscam. "Seorang linguis maklum bahwa anda toh tidak akan bertindak sebagai John Wayne," katanya. Tak seorang pun ilmuwan yang terlibat dalam gelombang kritik terhadap Abscam percaya, bahwa para tertuduh bertindak untuk penampilan yang lebih baik. Semua rekaman video-tape memperlihatkan adegan para tertuduh itu menerima uang suap, kadang-kadang lengkap dengan adegan memasukkan uang ke dalam saku. Namun tidak semua politikus yang dijebak operasi Abscam masuk perangkap. Ada juga yang gigih menolak, atau sama sekali tak bersedia berjumpa dengan "wakil sheikh" itu. YANG dikhawatirkan para ilmuwan dan banyak orang Amerika lainnya, tulis Kevin McKean, ialah "kemungkinan manipulasi oleh para penuntut dan agen-agen yang menyamar dalam menentukan target mereka." Maksudnya, bisa saja seseorang dijebak ke dalam situasi melanggar hukum, tanpa ia menginginkan sebelumnya. Dalam menyusun "perangkap" di masa depan, para ahli menyarankan agen pemerintah tidak menggunakan teknik tertentu. Misalnya: menyamar sebagai orang asing, memegang peranan "pelopor" dalam aktivitas yang menjurus tindakan melanggar hukum, atau berusaha mencegah sang "korban" mengucapkan keterangan yang mungkin meringankan dia di masa depan. Gallagher dan rekan-rekannya menghimbau polisi untuk mempertimbangkan kembali penggunaan video-tape tersembunyi. Pendeknya, agar menggunakan cara yang memperlakukan para tertuduh lebih adil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus