Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Tempat evakuasi di Ulak Karang Utara, Padang, tak bisa digunakan saat gempa Mentawai, Selasa lalu.
Pemda mengklaim dua dari tiga shelter di Padang berfungsi dengan baik.
Masih ada warga Kepulauan Mentawai yang tinggal di pengungsian karena khawatir akan gempa susulan.
JAKARTA – Bangunan berlantai lima di Jalan Sumatera, Kelurahan Ulak Karang Utara, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, ini terlihat kumuh. Sampah berserakan dan rerumputan tumbuh di sekitar gedung. Sebagian kaca jendelanya sudah pecah. Gedung dengan kombinasi warga biru dan kuning itu merupakan tempat evakuasi sementara (TES), yaitu lokasi evakuasi warga saat bencana terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Ulak Karang Utara, Yusran, mengatakan sejumlah peralatan bencana di TES tersebut raib tak lama setelah dibangun. Kondisi itulah yang membuat warga sekitar gedung berinisiatif mengunci pintu pagar di tangga lantai satu bangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan lain warga mengunci pagar ke akses lantai atas adalah bangunan itu dijadikan tempat berpacaran. "Digembok karena sering dijadikan tempat maksiat," kata Yusran saat ditemui Tempo di sekitar gedung, Rabu, 26 April 2023.
Saat gempa bermagnitudo 6,9 mengguncang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat—yang guncangannya terasa di Padang—pada Selasa dinihari lalu, hanya sebagian kecil warga Ulak Karang Utara dan sekitarnya yang berlarian ke TES tersebut. Mereka menyadari bahwa gedung tersebut tak layak dijadikan tempat evakuasi. Padahal bangunan ini dirancang dapat ditempati sekitar 3.000 orang.
Gempa Mentawai yang berpusat pada koordinat 0.94 Lintang Selatan dan 98.38 Bujur Timur itu juga terasa di wilayah Siberut, Pasaman Barat, Padang Pariaman, Agam, Gunung Sitoli, Padang Panjang, Pesisir Selatan, Limapuluhkota, Solok Selatan, Solok, Bukittinggi, Labuhan Batu, dan Padang Sidempuan. Gempa ini mengakibatkan dua rumah rusak di Desa Simalegi, Siberut Barat, Kepulauan Mentawai, dan di Desa Hili Anombase, Kecamatan Hibala, Nias Selatan.
Yusran mengatakan awalnya bangunan ini menggunakan pembangkit listrik tenaga surya. Namun sejumlah peralatan pembangkit listrik, seperti baterai panel surya, sudah hilang. Stopkontak listrik, kabel, dan lampu juga raib.
Kondisi itu membuat bangunan tanpa aliran listrik. Namun warga sekitar patungan untuk menyediakan listrik di lantai satu gedung. "Listrik di lantai bawah itu bisa digunakan atas swadaya masyarakat," tutur Yusran.
Tempat evakuasi sementara (TES) di Kelurahan Ulak Karang Utara, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. TEMPO/Fachri Hamzah
Tempo menyaksikan kembali kondisi gedung TES itu, Rabu lalu. Dinding dan tiang-tiang penyangga bangunan penuh dengan coretan. Fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) di gedung ini sudah rusak. Sumber air bersih juga tak tersedia. Lantai dasar gedung pun terendam air.
Selain itu, peralatan sirene sebagai tanda peringatan bencana di gedung ini tak berfungsi. Karena itu, saat lindu mengguncang wilayah Sumatera Barat, dua hari lalu, sirene tersebut tak berbunyi. "Sirene itu memang sudah rusak," ujar Yusran.
TES Ulak Karang ini selesai dibangun pada 2018. Dananya bersumber dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Shelter ini berjarak 500 meter dari pantai Ulak Karang. Pemerintah sengaja membangun tempat evakuasi ini karena sepanjang pantai Ulak Karang, yang dihuni ribuan warga, berada di zona merah tsunami. Wali Kota Padang Hendri Septa baru meresmikan gedung tersebut pada 2021.
Sekretaris Daerah Kota Padang, Andree Harmadi Algamar, mengatakan pemerintah kota sudah mengevaluasi pengelolaan TES Ulak Karang Utara. "Nanti kami rapikan dan susun kembali. Kami akan carikan juga pembiayaannya walaupun bangunan itu bisa digunakan untuk yang lain," kata Andree. "Untuk peralatan yang hilang, nanti kami sampaikan kepada BNPB."
Andree menuturkan ada tiga tempat evakuasi sementara di Padang, yaitu di area Masjid Nurul Haq, Kelurahan Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah; di area Masjid Darussalam; dan di Ulak Karang Utara. Setiap bangunan TES mampu menampung lebih dari 1.000 orang.
Ia menyebutkan pengelolaan ketiga TES tersebut melibatkan masyarakat sebagai pengurus. "Kunci (gedung) dipegang oleh mereka. Jika situasi darurat, mereka yang akan membuka aksesnya," ujar Andree.
Ketua Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Avianto Amri, mengatakan mitigasi yang baik akan mengurangi dampak bencana. Misalnya, kata dia, urusan perawatan TES. "Tapi banyak TES tidak terawat, tidak digunakan, dan peruntukannya tidak jelas," kata Avianto.
Kondisi pengungsian pascagempa di Desa Simalegi, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, 25 April 2023. Dok. warga
Kelimpungan di Pengungsian
Hendrikus Bentar, 32 tahun, kebingungan saat lindu dengan magnitudo 6,9 mengguncang Kepulauan Mentawai, Selasa lalu. Warga Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, itu mengaku dirinya dan warga lainnya kelimpungan mencari tempat pengungsian saat mengetahui adanya peringatan dini tsunami dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). "Kami bingung mau ke mana karena pemerintah tidak pernah bangun tenda pengungsian di sini," kata Hendrikus. "Dulu sempat ada bantuan tenda untuk mengungsi dari UNICEF, tapi sudah hilang sekarang."
Selain itu, kata dia, masyarakat Madobag kebingungan karena papan penunjuk jalan menuju lokasi evakuasi sudah rusak. Akibatnya, jalur evakuasi tidak jelas.
Warga Desa Betaet, Kecamatan Siberut Barat, Kepulauan Mentawai, Fachri, menguatkan keterangan Hendrikus itu. Ia menyebutkan sesungguhnya pemerintah menyiapkan banyak lokasi pengungsian dan jalur evakuasi saat bencana. Namun, kata dia, di lokasi evakuasi itu tak ditemukan bangunan tempat berteduh bagi para pengungsi.
"Saya dan istri tadi malam mengungsi ke ladang orang. Ada pondok tempat berteduh," kata Wakil Kepala SMAN I Siberut Barat ini. "Kami naik ke bukit dinihari tadi (saat bencana), saat hujan. Tidak ada bangunan khusus untuk mitigasi di Siberut Barat."
Selain urusan evakuasi saat gempa, Fachri melanjutkan, kini warga Betaet memilih tinggal di tenda pengungsian. Mereka khawatir terjadi gempa susulan. Tenda pengungsi itu berasal dari bantuan pemerintah sebelumnya.
Fachri mengatakan pengungsi di Siberut Barat juga terhambat masalah sumber air bersih dan jaringan telekomunikasi. "Jika boleh meminta, ada satgas yang dibentuk, tidak saat pascagempa saja, tapi juga standby ketika terjadi gempa untuk mengarahkan warga," ujarnya.
Kepala Desa Sigapokna, Kecamatan Siberut Barat, Kepulauan Mentawai, Elias Piau, menyatakan warganya berlarian ke lokasi evakuasi saat gempa terjadi. Setelah gempa, kini warga Sigapokna masih memilih tinggal di lokasi pengungsian.
Elias mengatakan jaringan telekomunikasi di daerahnya sangat jelek. Kondisi itu membuat proses koordinasi bantuan dengan pemerintah daerah, termasuk urusan tenda, tidak berjalan lancar. "Tenda yang ada di sini menggunakan terpal milik masyarakat," kata dia.
Balai Kementerian Sosial Sumatera Barat menyiapkan tenda pengungsian pascagempa dengan magnitudi 6.9, di Jalan Limau Manis, Kota Padang, 25 April 2023. Dok. Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Regional Sumatera
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi BNPB, Abdul Muhari, membantah soal kekurangan tenda di tempat pengungsian. BNPB justru menerima laporan bahwa masyarakat di wilayah yang terkena dampak gempa sudah kembali ke rumah masing-masing. "Peringatan dini sudah diakhiri, kenapa mereka harus mengungsi?" kata Muhari. Ia mengaku tidak mendapat berita tentang masyarakat yang mengajukan permintaan bantuan tenda.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat, Rumainur, mengatakan saat ini masih terdapat beberapa posko pengungsian di Kepulauan Mentawai, seperti di Desa Sikabaluan, Sigapokna, dan Simalegi. "Di Sikalabuan, kami mendirikan tenda darurat untuk evakuasi masyarakat di sana," kata Rumainur. "Di Sigapokna, mereka mengungsi hanya malam hari. Siangnya, sebagian kembali ke rumah masing-masing."
Adapun sebagian warga Desa Simalegi, yang merupakan wilayah terdekat dengan pusat gempa, masih tinggal di tempat pengungsian hingga kemarin. "Rencananya, tadi (Rabu) pagi kami mau ke lokasi, tapi tidak jadi karena cuaca buruk. Kami akan ke sana esok pagi (hari ini) jika cuaca sudah membaik," ujar Rumainur.
Ia menyebutkan, berdasarkan data BPBD Kepulauan Mentawai per 25 April, sebanyak 2.049 keluarga atau 8.137 warga tinggal di tenda pengungsian. Mereka tersebar di tiga desa di Kecamatan Siberut Barat dan satu desa di Kecamatan Siberut Utara. "Kondisi jaringan listrik di Mentawai masih dilaporkan padam dan BPBD masih melakukan pendataan perihal dampak gempa."
ANDI ADAM FATURAHMAN | FACHRI HAMZAH (PADANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo