Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMI Allah, demi Tuhan," kata Setya Novanto ketika ditanya apakah benar ada uang Rp 150 miliar untuk kas Partai Golkar dari korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) pada 2011. Ketika dia mengucapkan kalimat itu, kedua tangannya mengacungkan jari tengah dan telunjuk membentuk huruf "v".
Sumpah Setya Novanto itu ia tunjukkan kepada redaksi Tempo ketika berkunjung ke kantor majalah ini pada Rabu pekan lalu, sehari sebelum jaksa membacakan dakwaan megakorupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ketua Golkar dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini datang untuk mengklarifikasi berita yang menyebutkan ia mengatur korupsi proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.
Nama Setya tertera jelas dalam dakwaan jaksa terhadap Irman dan Sugiharto. Bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta bekas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan di Kementerian Dalam Negeri itu didakwa melakukan korupsi proyek e-KTP yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011-2013.
Menurut hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan kerugian negara dalam proyek itu mencapai Rp 2,3 triliun. Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, hampir Rp 1 triliun dibagi-bagikan kepada anggota DPR dan beberapa fraksi agar menyetujui proyek tersebut.
Selain Setya, orang yang disebut sebagai pengatur korupsi proyek ini adalah Andi Agustinus alias Andi Narogong. Ia pengusaha yang acap dikaitkan dengan Setya dalam proyek-proyek pemerintah yang terindikasi dikorupsi.
Perkara ini menambah panjang daftar kasus kejahatan yang menyeret Setya. Selama ini, ia selalu lolos dari jerat hukum kendati namanya kerap disebut dalam pelbagai skandal besar: korupsi cessie Bank Bali, penyuapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, proyek pembangunan sarana untuk Pekan Olahraga Nasional 2012 di Riau, atau permintaan saham PT Freeport Indonesia yang membuatnya sempat terpental dari kursi Ketua DPR.
Kali ini Setya pun masih berkelit. "Dari dulu sering diisukan ini-itu, tapi tak ada buktinya," katanya. Namun kesaksian Irman dan Sugiharto, anggota DPR, serta banyak pengusaha mengungkap peran sentral Setya dalam korupsi yang diduga melibatkan semua anggota Komisi Pemerintahan DPR ini.
BANCAKAN proyek jumbo pengadaan e-KTP ini direncanakan jauh sebelum proyeknya dimulai, pada 2009. Pada April tahun itu, sejumlah politikus Partai Demokrat dan Golkar bertemu di Restoran Nippon Kan, Hotel Sultan, Jakarta. Mereka membahas kemungkinan mewujudkan proyek KTP elektronik untuk menyatukan semua nomor identitas yang tak kunjung direalisasi sejak 2006.
Dari Demokrat, yang hadir adalah Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, Ignatius Mulyono, dan Zainal Abidin. Dari Golkar hadir Mustokoweni Murdi, yang membawa Andi Narogong, pengusaha yang disebut dekat dengan politikus dan sering mengerjakan proyek di Kementerian Dalam Negeri.
Seperti tertuang dalam dakwaan yang merekam kesaksian para politikus itu, Andi memaparkan rencana megaproyek itu di depan para politikus tersebut. Menurut Nazaruddin, yang belakangan terkenal karena korupsi proyek Hambalang, Andi meminta proyek e-KTP tak dipecah-pecah anggarannya supaya mudah dikoordinasi.
Agar proyek itu mulus, Andi meminta para politikus tersebut mendorong penggantian Direktur Jenderal Kependudukan Sipil yang waktu itu dijabat Rasyid Saleh. Andi meminta Rasyid diganti oleh Irman, direktur di Kementerian Dalam Negeri. Andi beralasan Irman bisa diajak bekerja sama dan ia punya pengalaman ketika menjadi pemenang proyek pengadaan seragam hansip.
Rencana itu mulus. Irman menjadi pelaksana tugas Direktur Jenderal Kependudukan dua bulan kemudian. Dua bulan berikutnya, Andi dan para politikus itu bertemu kembali di restoran yang sama. Kali ini mereka mengajak Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni.
Dari pertemuan itu, mereka berhitung bahwa proyek e-KTP perlu didahului uji petik, yang membutuhkan anggaran Rp 300 miliar dan harus diajukan dalam APBN 2010. "Ini proyek besar, lho, nanti bermasalah," kata Nazaruddin, seperti terekam dalam berkas pemeriksaan.
Peringatan Nazaruddin terbukti. Kejaksaan Agung sempat menyelidiki proyek uji petik KTP ini dan menyimpulkan ada pelanggaran pidana korupsi. Irman sempat menjadi tersangka, tapi penyidikannya dihentikan karena jaksa mengaku "tak menemukan bukti kuat atas tuduhan itu". Irman pun resmi menjabat Direktur Jenderal Kependudukan.
Gerilya mengegolkan proyek ini kian intens ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Bupati Solok Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri. Para politikus peserta pertemuan Nippon Kan mengatur strategi siapa saja pihak yang harus didekati agar proyek ini lancar. Badan Anggaran, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan masuk prioritas.
Andi Narogong lalu menemui Irman di kantornya di Kalibata, Jakarta Selatan, pada Februari 2010. Menurut Irman kepada pemeriksa, Andi menyampaikan keinginannya menggarap proyek e-KTP itu. "Silakan saja, peserta lelang sebaiknya membentuk konsorsium," ujarnya. Agar proyek lancar, Andi menawari Irman bertemu dengan Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto. "Dukungan proyek ini ada di dia," kata Irman, menirukan Andi.
Pertemuan dengan Setya terjadi beberapa hari kemudian. Irman, Sugiharto, dan Diah Anggraeni bertemu dengan Andi Narogong dan Setya di Hotel Gran Melia. Menurut Irman, saat bertemu itu Setya mengatakan mendukung penuh proyek e-KTP. Kali lain, mereka bertemu di ruang Fraksi Golkar membahas sumber pendanaan. "Segera saya koordinasikan," ujar Setya, seperti ditirukan Irman.
Setelah pertemuan itu, Irman dan Sugiharto berpapasan dengan Sekretaris Fraksi Golkar Ade Komarudin di lantai yang sama. Ade dan Irman sempat berbasa-basi sebelum turun. Saat dimintai konfirmasi, Ade Komarudin mengaku lupa ada pertemuan itu. "Sudah agak lama," katanya.
Pada Februari-Mei 2010, Komisi Pemerintahan DPR membahas proyek e-KTP berikut anggarannya. Rapat dengan Irman pada 11 Mei menyepakati sejumlah hal krusial, seperti memutuskan anggaran Rp 384 miliar untuk pemutakhiran data penduduk dan pemberian nomor induk. Anggaran pengadaan KTP disepakati Rp 2,46 triliun pada APBN 2011 dan Rp 3,8 triliun pada 2012.
Anas Urbaningrum lalu meminta koleganya di Demokrat yang menjadi Wakil Badan Anggaran DPR, Mirwan Amir, membahas dan memberi persetujuan atas angka tersebut. Andi Narogong, yang selalu hadir dalam pelbagai pertemuan para politikus, meminta anggarannya dibuat sekaligus, tak dicicil per tahun, untuk menghindari banyak tender.
Pada awal Juni 2010, Mustokoweni mengundang anggota Badan Anggaran DPR dan Komisi Pemerintahan bertemu dengan Menteri Gamawan Fauzi menyampaikan penghitungan anggaran itu. Dalam pertemuan di DPR itu, Andi Narogong juga hadir. Mustokoweni mengenalkannya kepada Gamawan sebagai pengusaha yang akan mengerjakan proyek e-KTP. "Nanti saya yang bertanggung jawab untuk commitment fee," katanya.
Badan Anggaran baru menyetujui pengajuan anggaran itu pada September 2010 memakai kas tahun jamak. Menurut Nazaruddin, dia melihat Andi Narogong mengatur pembagian anggaran proyek e-KTP di ruang kerja Anas Urbaningrum di DPR.
Rinciannya, Rp 2,6 triliun sebagai modal kerja, Rp 2,5 triliun sebagai keuntungan. Angka ini dihitung setelah dipotong pajak 11,5 persen. Keuntungan proyek kemudian dibagi-bagi untuk pejabat Kementerian, anggota DPR, dan konsorsium pemenang tender. "Sebesar 22 persen diberikan untuk Anas Urbaningrum dan Andi Narogong," ujar Nazaruddin.
Dengan janji keuntungan sebesar itu, Anas dan Nazaruddin lalu menemui Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Restoran Ebeya, Hotel Ritz-Carlton, dan di Hotel Crowne, Jakarta. Kepada KPK saat diperiksa, Agus mengatakan Kementerian Dalam Negeri mengusulkan anggaran proyek e-KTP bersumber dari dana hibah luar negeri.
Pencairan anggaran dari pos ini tak kunjung disetujui karena Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tak memproses surat yang diajukan Menteri Dalam Negeri. Soalnya, menurut Agus, proyek ini semestinya dibiayai oleh rupiah murni. Maka ia menolak proposal Menteri Gamawan Fauzi pada 13 Desember 2010 dengan alasan tak sesuai dengan mekanisme anggaran.
Kementerian Dalam Negeri pun memperbaiki proposal mereka dan mengirimkannya kembali pada 21 Desember 2010. Kali ini Kementerian Dalam Negeri melengkapi sejumlah syarat, seperti rekomendasi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Kementerian Keuangan akhirnya mengeluarkan persetujuan anggaran pada 17 Februari 2011. "Kalau pada saat itu tidak memenuhi aturan, tentu kami tolak," ujar Agus pada Jumat pekan lalu.
Sejak keluar persetujuan anggaran oleh Kementerian Keuangan itulah anggota Komisi Pemerintahan mulai menagih "uang komitmen" yang dijanjikan Andi Narogong kepada para pejabat Kementerian Dalam Negeri. Miryam S. Haryani, politikus Hanura, mengaku kepada KPK bahwa ia diminta diam jika diberi "sesuatu" oleh anggota lain. Di Komisi Pemerintahan DPR, kata Miryam, ada anekdot bahwa proyek e-KTP adalah jatah Golkar dan Demokrat.
"Sesuatu" itu tiba diantar oleh Ketua Komisi II Chairuman Harahap dari Golkar sebesar US$ 6.000. Sugiharto juga pernah datang ke rumah Miryam di Tanjung Barat Indah dua kali dengan membawa bungkusan amplop berisi US$ 100 ribu dan US$ 200 ribu. Atas perintah Chairuman, kata dia, "Saya diminta memasukkannya ke amplop untuk dibagikan kepada anggota Komisi."
Rinciannya adalah Ketua Komisi mendapat US$ 8.000, Ketua Kelompok Fraksi US$ 5.500, dan setiap anggota US$ 5.500. "Chairuman menambahkan US$ 56 ribu untuk kekurangannya," ujarnya. Ketua Kelompok Fraksi PDIP waktu itu adalah Yasonna Laoly, yang kini menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. "Saya kaget nama saya dituduh menerima duit e-KTP," katanya pekan lalu.
Ketika dimintai konfirmasi, Chairuman membantah pengakuan Miryam itu. "Enggaklah. Duit dari mana? Hebat banget saya," ujarnya. Adapun Miryam menjawab diplomatis ketika ditanyai seputar pengakuannya kepada penyidik. "Pemeriksaan belum sampai aliran uang," katanya.
Salah satu pemimpin Komisi II yang juga disebut menerima aliran dana adalah Ganjar Pranowo, saat itu wakil ketua. Aliran dana Ganjar ini juga tertuang dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Politikus PDI Perjuangan itu disebut menerima US$ 520 ribu. Ganjar membantah tuduhan itu. "Saya tidak pernah terima uang itu dan sudah memberikan penjelasan ke KPK," ujar Gubernur Jawa Tengah ini.
Penyebaran uang komitmen itu rupanya tak hanya melalui Miryam. Menurut dakwaan jaksa, karena para anggota Komisi mengeluh uang suap terlalu kecil, besel itu juga dibagikan melalui Arif Wibowo, politikus PDI Perjuangan. Ia membagi rata kepada 37 anggota Komisi sebesar US$ 5.000-10.000. "Demi Allah, silakan cek rekening saya," kata Arif Wibowo ketika dimintai konfirmasi.
Sementara anggota lain menyangkal, jejak aliran uang suap terekam dari pengakuan mantan Ketua Fraksi Demokrat M. Jafar Hafsah dan anggota Komisi Pemerintahan, Khatibul Umam Wiranu. Berdasarkan dokumen pengadilan, Jafar mengakui pernah menerima uang US$ 100 ribu dari Nazaruddin yang dipakai untuk membeli Toyota Land Cruiser dengan nomor polisi B-1-MJH. Belakangan, Jafar menyerahkan Rp 1 miliar ke KPK.
Khatibul mengakui menerima uang dari Chairuman pada awal 2013 sebesar Rp 100 juta. Namun ia mengubah keterangan pada pemeriksaan kedua dengan alasan tak berkonsentrasi saat menjawab pertanyaan penyidik. "Soal pemberian itu tak sengaja terucap alias keprucut," ujarnya. Ketika dimintai konfirmasi pekan lalu, ia membantah menerima duit dalam proyek e-KTP. Soal perubahan keterangan, ia mengatakan, "Itu rumor." Di dakwaan, ia juga disebut menerima US$ 400 ribu. Tapi Khatibul lagi-lagi membantah.
Rupanya, permintaan uang tak cuma untuk anggota Komisi. Andi Narogong mendatangi Sugiharto dan menyerahkan secarik kertas bertulisan kode-kode ini: K=150, B=150, M=80, MA=20, AU=20, CH=20, dan LN=80. Menurut Sugiharto, tulisan itu artinya Kuning, Biru, Merah, yang merujuk pada warna partai, Marzuki Alie, Anas Urbaningrum, Chairuman, dan LAIN. "Angka menunjukkan nominal dalam miliar rupiah," kata Sugiharto dalam berkas pemeriksaan.
Anas Urbaningrum menampik tudingan mengatur fee proyek. "Kalau keterangan Nazaruddin sejauh menyangkut saya jelas sangat tidak kredibel," ujarnya saat diperiksa KPK pada 10 Januari lalu.
Andi Narogong belum bisa dimintai konfirmasi mengenai pengakuan Sugiharto dan Irman ini. Selain menurut pengakuan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri ini, kedekatannya dengan Setya Novanto dibenarkan oleh sejumlah politikus Golkar. "Sering minum-minum Jumatan," kata Agun Gunandjar Sudarsa dari Golkar.
Saat Tempo menyambangi rumah Andi Narogong di Kota Wisata Cibubur, seorang petugas keamanan menghadang di pintu perumahan. "Pak Andi berpesan, rumah sedang kosong," ujar Soleh Firdaus, petugas itu.
Irman dan Sugiharto menerima dakwaan yang dibacakan jaksa yang mendasarkannya pada keterangan keduanya. Mereka tak mengajukan keberatan. Soal kebenaran pengakuan mereka, Soesilo Aribowo, pengacara keduanya, mengatakan, "Lihat nanti di persidangan."
Mendengar banyak keterangan dan saling bantah koleganya itu, Setya Novanto kembali menegaskan bahwa ia menyangkal disebut mengatur penganggaran proyek e-KTP, meski mengaku kenal dengan Andi Narogong. "Kalau bisa buktikan, akan saya beri Rp 1 miliar," katanya.
Wayan Agus Purnomo | Ghoida Rahmah | Maya Ayu P. | Hussein Abri Y.
Rinciannya, Rp 2,6 triliun sebagai modal kerja, Rp 2,5 triliun sebagai keuntungan. Angka ini dihitung setelah dipotong pajak 11,5 persen. Keuntungan proyek kemudian dibagi-bagi untuk pejabat Kementerian, anggota DPR, dan konsorsium pemenang tender. "Sebesar 22 persen diberikan untuk Anas Urbaningrum dan Andi Narogong," ujar Nazaruddin.
Korup Sejak Perencanaan
19 Juni 2009
Terbit Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (e-KTP).
November 2009
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengirim surat usulan ke Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa proyek e-KTP diusulkan dibiayai dari anggaran rupiah murni (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Sebelumnya akan dibiayai dari pinjaman hibah luar negeri.
Februari 2010
n Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Irman menemui Ketua Komisi Pemerintahan DPR Burhanudin Napitupulu di DPR. Isi pertemuan: untuk mendapatkan persetujuan anggaran e-KTP, anggota Komisi Pemerintahan akan diguyur uang oleh pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Setelah itu, Andi menemui Irman di kantornya dan menyatakan bersedia mengguyur uang untuk kepentingan tersebut.
n Andi, Irman, Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto, dan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni menemui Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto di Hotel Gran Melia, Jakarta, untuk meminta dukungan anggaran proyek e-KTP.
Mei 2010
Komisi Pemerintahan DPR dan pemerintah membahas anggaran proyek e-KTP dan kemudian disetujui Rp 5,9 triliun sebagai anggaran tahun jamak 2011-2012.
1 Juli 2011
Tanda tangan kontrak proyek e-KTP dimenangi oleh konsorsium Perum Percetakan Negara RI, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sandipala Arthaputra, dan PT Quadra Solutions.
14 Juli 2011
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) mengadukan panitia lelang ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
13 September 2011
Konsorsium Lintas Peruri Solusi mengadukan pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Ketua Panitia Lelang (e-KTP) Sugiharto dan Drajat Wisnu Setiawan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dengan tuduhan penggelembungan dalam proses tender.
13 November 2012
KPPU memutuskan ada persekongkolan dalam tender e-KTP pada 2011-2012. Pelakunya panitia tender, Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), dan PT Astra Graphia Tbk. Konsorsium PNRI didenda Rp 20 miliar dan PT Astra Graphia Tbk didenda Rp 4 miliar.
7 Maret 2013
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan putusan KPPU.
22 April 2014
KPK menetapkan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto sebagai tersangka.
Oktober 2014, Mahkamah Agung menolak kasasi KPPU.
7 September 2016
KPK menetapkan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman sebagai tersangka.
9 Maret 2017
Tersangka mulai diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo