Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
M. Album Tiga menjadi Album Pilihan Tempo 2024.
Album ketiga karya Kareem Pradipto Soenharjo alias BAP.
Cerita dan refleksi personal perjalanan hidup BAP.
REPETISI dentuman bass drum bergerak dalam satu pola dengan birama 4/4, ditingkahi tabuhan snare drum, mengantarkan pendengar menyambut Kareem Pradipto Soenharjo melantunkan larik-larik dari “Wake Up! Look Alive!”:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Look alive, look alive
That's what I always say to myself
I ain't got no fuckin' time
To stay and worry about myself
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iringan musik mengayun dalam irama yang mengundang gerak tubuh, atau goyangan kepala, atau entakan kaki, dengan karakter bas yang terdengar gemuk, bulat, dan kenyal. Tapi lagu berdurasi 3 menit 56 detik itu tidak disusun dengan alur yang datar. Ada entakan, guncangan, juga teriakan; ada aksen, sinkopasi.
Aksi Kareem Pradipto Soenharjo yang dikenal dengan nama panggung BAP. dalam pesta perilisan album yang bernama "M. Album Tiga" di Tong Tong Fest, Kuala Lumpur, Malaysia, 2024. La Munai Records/Nugie Rian
Di situlah justru daya tariknya. Setelah nyanyian tentang tuntutan kerja sampai mati pada kuplet-kuplet awal, di menit 1.20, masuk interlude dengan isian permainan arpeggio gitar berlatar bunyi synthesizer yang mengingatkan pada pola poliritmik musik King Crimson era 1980-an. Interlude lain, setelah ulangan nyanyian kuplet semula dan diikuti rapping delapan bar yang berfungsi sebagai bridge, muncul berupa solo gitar yang ingar sekaligus membawa suasana rusuh. Belakangan, menyeruak kejutan melegakan ketika, setelah vokal intens yang menjadi puncak dari satu crescendo, pada bagian penutup (outro) hadir petikan gitar dalam suara natural, ketukan drum, yang disusul keyboard, sebelum semua bunyi akhirnya menghilang.
“Saya memang mencoba mengambil beberapa elemen dari King Crimson, album yang Discipline. Itu keren banget. Trek ‘Indiscipline’, yang saya paling suka, instrumentasinya terkesan broody banget dan vokalnya spoken words aja,” kata Kareem saat ditemui di tempat tinggalnya di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, Kamis, 16 Januari 2025.
Cover album dan CD "M. Album 3" BAP. Dokumentasi La Munai Records
Berkaus oblong hitam dan bercelana longgar, Kareem terlihat rileks dan melayani obrolan sekitar dua jam hampir tentang apa saja. Dia mengaku belum menyentuh musik lagi setelah M. Album Tiga keluar. “Bukan mau lari,” ujarnya. “Saya pingin berfokus belajar hal-hal lain dulu. Kayaknya saya perlu itu.”
Sulit melewatkan momen tatkala ada seorang musikus yang mampu membuat lagu atau album—sekumpulan komposisi atau lagu—yang bisa terdengar chaotic tapi juga terkendali, tertata dalam harmoni, apalagi kandungan syairnya menuturkan cerita dan refleksi personal tentang perjalanan hidup serta, secara tak langsung, keadaan di luarnya. Radar musikal yang sensitif, sekurang-kurangnya, akan berseru, “Wow!”
Kareem, dikenal dengan nama panggung BAP. (juga Yosugi), boleh dibilang berhasil melakukan apa yang pada 1969 diintroduksikan Robert Fripp dan kawan-kawan melalui King Crimson, di lagu berjudul “21st Century Schizoid Man”. Dalam album ketiganya, yang diberi judul M. Album Tiga ini, dia bahkan dengan percaya diri “menaikkan level permainan”: menjadikannya kolase musik—dengan melodi, progresi akor, syair yang dinyanyikan ataupun diucapkan, perjalanan tekstur bunyi-bunyian instrumen, sampling, dan beraneka idiom musik—yang membangun suasana kacau balau dan suasana damai dalam satu harmoni selayaknya yin dan yang.
Kepiawaian Kareem dalam menggubah lagu dengan meramu elemen-elemen tersebut bisa disimak, misalnya, dalam “Bruxism Or, Why I'm Afraid of Earthquakes”. Lagu ini, selain “Wake Up! Look Alive!”, sebelumnya dikeluarkan sebagai single. Dibuka dengan dentang piano pada not rendah yang terdengar bagai lonceng gereja, setengah bagian dari lagu berdurasi 4 menit 55 detik ini menjadi platform bagi Kareem untuk nge-rap tentang kecemasan menghadapi malam (“The night has come again and you know what that means/It means you won’t be resting anytime soon”); setengah bagian lagi, yang musiknya bertumpu pada synth bass dan drum dengan iringan gesekan biola yang mengiris, bisa disebut sebagai momen gaya bebas.
Contoh lain, “Pikun”, yang intronya menyambung dengan mulus outro dari lagu sebelumnya, boleh dibilang bergaya komposisi kontemporer. “Ini untuk pertama kali saya bereksperimen, mencoba sesuatu yang abstrak,” kata Kareem.
Aksi panggung Kareem BAP. dalam peluncuran album yang bernama "M. Album Tiga" di Krapela, Jakarta Selatan, 2024. La Munai Records/Nugie Rian
Mulanya terdengar sebagai lagu berirama jazz dengan tata suara era masa lampau, kemudian beralih menjadi gemuruh seperti letupan-letupan petasan yang berebut perhatian dengan kemresek radio yang sedang mencari gelombang siaran, sebelum berakhir dengan tiupan trompet dalam atmosfer damai—semacam momen pencerahan.
Kareem mengaplikasikan pola tersebut pada pengorganisasian lagu-lagu yang ada—total 12 lagu—sebagai materi dalam album. Menyimak secara utuh, pendengar bisa merasakan bukan saja dinamika musikal, melainkan juga suasana hati yang diekspresikan: meditatif atau, kalaupun bukan itu, kontemplatif, yakni bahwa, pada akhirnya, semua akan baik-baik saja, sekalipun hidup sempat bagaikan kereta luncur di taman hiburan yang naik-turun, berkelok-kelok, jungkir balik.
Beberapa hal itulah yang menjadi pertimbangan para juri menobatkan M. Album Tiga milik BAP. sebagai Album Pilihan Tempo 2024.
Memulai debut hiphop pada 2017, tiga tahun sejak memasuki dunia musik, Kareem sebagai BAP. cenderung memilih tidak dikelompok-kelompokkan. Upaya untuk menyematkan label, kalaupun hendak dilakukan, juga tidak mudah. Musik dalam album-albumnya, terutama album mutakhirnya yang dirilis La Munai Records ini, bukan hiphop murni. Formula hiphop-nya menggunakan palet yang berwarna-warni. Aneka idiom musik menyeruak di sana-sini—funk, jazz, metal, hardcore punk, progressive rock, bahkan ambient.
Kalau hendak dipaksakan, barangkali, ia bisa digolongkan ke dalam progressive rap. Pelabelan sebagai panduan saja ini digunakan, antara lain, untuk mengidentifikasi karya Kendrick Lamar, khususnya To Pimp a Butterfly.
Kareem Pradipto Soenharjo atau BAP. dalam sesi pemotretan untuk majalah Tempo, di Jakarta Selatan, 16 Januari 2025. TEMPO/Imam Sukamto
Kareem memulai penggarapan M. Album Tiga hanya berselang beberapa pekan dari saat peluncuran album keduanya, MOMO’S MYSTERIOUS SKIN, tiga tahun lalu. Musikus 28 tahun ini merasa, “Masih ada yang harus saya bahas mengenai diri saya. Ada bagian dari hidup saya yang masih perlu saya gali. Dan ada yang harus saya capai secara musik.”
Penggalian itu berlangsung panjang. Kurasi lagu-lagunya saja memerlukan waktu satu tahun. Dan lagu-lagu ini, terutama temanya, tidak muncul di awal. Begitu pula makna keseluruhan yang hendak disampaikan.
Selama pengerjaan, Kareem melalui proses yang sebetulnya cair, meski sifatnya adaptif, sesuai dengan kondisi dan suasana hati. Misalnya klaustrofobia—ketakutan terhadap tempat-tempat sempit dan situasi terjebak—yang dia alami di kediamannya, sebuah kos-kosan, justru meletupkan sejumlah ide. Atau, sepulang dari Bali dalam perjalanan menuju rumah, saat dia melihat sebuah Mercedes-Benz yang terbakar di jalan tol.
Menurut Kareem, dua albumnya yang terdahulu kelewat berat, bahkan pretensius untuk menjadi intelektual. Lewat album ketiga, dia menceritakan diri sendiri, tentang emosi dan pengalamannya, dengan lebih blakblakan. “Ini arsip hidup saja, sebetulnya,” dia berujar. “Kalaupun timbul kesan ada social commentary di dalamnya, misalnya dari lagu ‘Wake Up! Look Alive!’, soal efek tahap akhir kapitalisme terhadap hidup kita, itu by-product saja.”
Satu aspek mendasar yang sengaja dia jadikan pegangan adalah melepaskan apa yang ia sebut konteks—yaitu, dalam pengertian umum, situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian, tindakan, keputusan. “Konteks itu mengganggu banget. Soalnya, orang jadi kayak sudah punya prejudice tertentu terhadap suatu karya. Makanya saya pingin bikin album yang, ‘Oke, lu harus dengerin kalau mau tahu seperti apa isinya.’”
Apa yang lalu didapat sebagai kesan oleh pendengarnya, Kareem tidak terlalu peduli. Buat dia, yang terpenting pada akhirnya adalah bagaimana album itu memungkinkannya melihat ke belakang, merefleksikan diri, dan untuk bertanya apa ia sudah berubah.
Dan memang kemudian ada relevansinya. Setelah M. Album Tiga dirilis, dia dapat menempuh “perjalanan perbaikan diri”. Perihal perbaikan itu, banyak yang terwujud sejauh ini: kembali ke hidup sehat, ke buku, melukis, berdamai dengan beberapa hal.
Menurut dia, proses untuk ini bermula dari arsip hidup yang ia sebut “lumayan gelap” itu, lalu timbul pertanyaan apa yang bisa dilakukannya untuk menyimpulkan bahwa semua masalah di dalamnya sudah tak berelasi lagi dengannya. Dia bersyukur tidak menghadapi kesulitan.
Muaranya, dengan begitu, bisa dibilang adalah semacam happy ending, suasana yang sebetulnya secara gradual muncul pada setengah bagian terakhir dari M. Album Tiga. Penempatan “Tampopo (For My Mother)”, sebuah instrumental lagi, dengan ornamen bunyi glockenspiel dan tekstur ambient, di bagian penutup terasa sebagai pilihan yang pas dan niscaya—sebagai pengontras untuk “Gairah (Live from the Fuck Off)” yang menjadi pembuka. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo