Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sastra Indonesia dalam Perburuan Panjang akan Liyan

Faruk HT

Faruk HT

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Pencarian akan realitas lain terus berlangsung. Selain realitas “absurd” yang merupakan produk filsafat eksistensialisme.

26 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Sejak eksperimentasi seni di awal 1970-an, sastra Indonesia makin jauh dari realisme.

  • Sastrawan berusaha menemukan realitas-realitas lain yang terus berlangsung hingga sekarang.

  • Sejarah sastra Indonesia modern tidak pernah lepas dari perkembangan sastra global.

SEJAK 1970-an, satu masa yang disebut eksperimental di awal Orde Baru, realisme dalam sastra dan bahkan mungkin dalam seni pada umumnya mulai terdesak ke pinggiran. Paham yang demikian memasuki wilayah di luar kesenian dengan mengikuti aturan main tambahan yang membuatnya—dalam istilah Pierre Bourdieu—menjadi heterodoks, mempunyai doksa atau semacam aturan main yang lebih dari satu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada dua doksa tambahan terhadap paham tersebut, yaitu hukum ekonomi atau pasar, seperti yang berlaku dalam sastra populer yang terbit di majalah hiburan Kartini dan Femina atau novel-novel yang diterbitkan Gramedia, termasuk karya-karya Ashadi Siregar dan Marga T.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya-karya dengan eksperimentasi estetik tinggi yang muncul pada masa itu memang makin jauh dari realisme dan mendekat ke karya-karya yang, katakanlah, fantastik dan irasional. Pada 1970-an, kecenderungan demikian diwakili oleh novel-novel Iwan Simatupang, yang oleh Dami N. Toda disebut mengikuti gerakan “Novel Baru” yang muncul di Prancis.

Karya-karya itu juga dinilai absurd dan bernapaskan filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Cerita-cerita pendek Budi Darma juga disebut “absurd”. Novel-novel Putu Wijaya, yang cenderung surealistik, pun dianggap absurd. Begitu pula cerita-cerita pendek Danarto, yang cenderung mistis dan sufistik, meskipun dengan pola alur yang tidak terlalu berbeda dengan karya Putu Wijaya dan Budi Darma.

Yang dinamakan realisme tersebut, sebagaimana yang antara lain diimplikasikan oleh Ian Watt, merupakan satu paham tertentu mengenai realitas. Realitas itu merupakan produk dari kelas menengah (borjuis) yang mulai dominan sejak Abad Pencerahan dan menemukan bentuk literernya pada novel. Sesuai dengan pandangan kelas menengah tersebut, kehidupan yang dianggap realistik dalam novel adalah segala sesuatu yang serba partikular, empirik, dapat diverifikasi, sekaligus rasional dan koheren.

Hanya, seperti kata Berger dan Luckmann, karena merupakan hasil konstruksi sosial, realitas menjadi sama pluralnya dengan masyarakat itu sendiri. Karena itu, kecenderungan yang terjadi sejak 1970-an tersebut pada dasarnya didorong oleh hasrat atau tuntutan kultural untuk menemukan realitas-realitas yang lain. Kelainan itu sendiri bersifat relatif, yaitu ditentukan dalam hubungannya dengan realisme borjuis.

Pencarian akan realitas-realitas lain itu terus berlangsung hingga sekarang. Selain realitas “absurd” yang merupakan produk filsafat eksistensialisme, realitas surealistik yang berbasis psikoanalisis, dan realitas mistis yang berbasis sufisme atau pandangan pantheisme, dalam perkembangan sastra Indonesia, kemudian muncul realitas-realitas lain yang begitu beraneka.

Sebagaimana yang antara lain saya temukan dalam pengalaman menjadi salah seorang penilai bagi buku sastra pilihan Tempo, ada novel yang memberikan tekanan pada penggambaran kenyataan atas dasar pengalaman perempuan, misalnya sebagai ibu, pengalaman homoseksual, masyarakat terjajah atau kulit berwarna dan darah campuran, masyarakat tradisional/tribal, masyarakat daerah terpencil, masyarakat Indonesia bagian timur, kelas bawah, dan penganut aliran keagamaan yang bisa disebut sempalan. Di samping itu, terdapat karya-karya yang berusaha mengangkat realitas sejarah dari perspektif yang berbeda dengan perspektif dominan yang menjadi penyangga realisme.

Tentu saja, karya sastra terutama sekali menggambarkan berbagai realitas di atas tidak secara konseptual, melainkan secara imajinatif, yang membentuk sebuah dunia pengalaman, bukan sekadar pemahaman. Karena itu, berbagai realitas tersebut dapat campur aduk, tumpang-tindih, dan berdampingan dalam sebuah karya yang sama.

Di samping itu, realitas-realitas yang, katakanlah, alternatif tersebut tidak pula sepenuhnya dilepaskan dari realisme yang ditopang pengalaman hidup keseharian para penulisnya di sebuah tatanan sosial dan kebudayaan modern yang kapitalistik. Ada banyak kemungkinan relasi di antara kedua pihak tersebut. Dalam karya-karya yang tergolong dalam realisme magis, misalnya, realitas borjuis dijajarkan dalam posisi yang setara, tidak saling menenggelamkan, dengan realitas magis yang pada umumnya berbasis sosio-kultural.

Cara unik masyarakat Indonesia timur yang marginal, yang sekaligus cenderung etnik dan tribal, dalam memandang Indonesia barat yang lebih modern, kolonial, dominan, dan sentral menimbulkan efek-efek humor, parodik, dan sekaligus ironis. Konstruksi ulang sejarah kolonial di Indonesia dalam perspektif kelas bawah dan perspektif mitologis juga memberikan kejutan-kejutan tersendiri yang membawa pembaca ke dalam sebuah dunia yang sama sekali lain, berbeda, dan harus dihadapinya sebagai tidak kalah nyata dibanding realitas dari realisme borjuis. Realitas dalam pengalaman masyarakat kelas bawah yang hidup di daerah pantai utara Jawa dengan pornografi dan pornoaksi yang blakblakan juga demikian.

Puisi lirik merupakan puisi yang bisa disebut utama dalam masyarakat dan kebudayaan modern. Realitas yang dibangunnya adalah realitas yang terpusat, padu, dan padat. Ia berusaha mengubah gerak, dinamika, dan proses menjadi sesuatu yang statis. Karena itu, puisi lirik menjadi sangat dekat dengan yang visual. Puisi lirik ini sering juga disebut sebagai puisi suasana yang sekaligus dianggap sebagai ungkapan suasana hati yang bersifat personal. Efek yang diharapkan adalah kontemplasi dan refleksi yang mengimplikasikan kesunyian dan kesendirian. Penyair terkemuka yang dianggap representatif dalam puisi yang demikian adalah Amir Hamzah dan Chairil Anwar.

Rendra, yang cenderung komunal, serta berorientasi pada aksi dan akting, lebih menyukai balada, puisi naratif yang penuh dengan peristiwa serta aneka suara dan rupa. Pada awal 1980-an, Linus Suryadi AG menulis prosa lirik yang naratif, yang mengurai, hingga satu puisi memenuhi buku. Dalam perkembangan mutakhir terdapat kecenderungan yang relatif menonjol untuk meninggalkan lirisisme itu. Cukup banyak yang bersifat naratif dan berupa puisi panjang. Seperti yang terjadi pada cerpen dan novel, puisi-puisi naratif ini juga memperlihatkan usaha menghadirkan realitas lain yang tidak sekadar komunal, tapi berbasis mitos, legenda, atau bahkan tuturan sejarah.

Puisi Afrizal Malna merupakan puisi yang fenomenal, yang memperlihatkan kecenderungan khas dalam usahanya keluar dari lirisisme itu. Dengan asumsi filosofis tentang hilangnya manusia dan subyek, “aku” lirik dalam puisi-puisinya berkelindan dengan benda-benda, ruang, dan waktu. Karena bahasa, seperti yang dikemukakan antara lain oleh Jacques Lacan, merupakan kekuatan simbolik yang membentuk subyektivitas, puisi-puisi penyair ini juga cenderung melakukan semacam pemberontakan radikal terhadap sistem bahasa tersebut. Tapi puisi-puisi Afrizal itu seperti tidak kehilangan kesan lirisismenya yang memadat, memusat, dan menyatu. Seperti ada ketegangan yang terus-menerus antara kesinambungan dan keterputusan, konvergensi dan divergensi, di dalamnya. Puisi-puisi Afrizal bisa dikatakan sebagai proyek yang belum selesai yang mungkin tetap akan menjadi tantangan ke depan.

Sejak semula sejarah sastra Indonesia modern tidak pernah lepas dari perkembangan sastra global, khususnya Barat atau negara-negara besar lain dengan tingkat peradaban yang tinggi, seperti Cina, Jepang, India, dan Persia. Eksperimentasi pada 1970-an tidak lepas, misalnya, dari munculnya absurdisme, eksistensialisme, dan surealisme. Begitu juga yang dinamakan realisme magis. Karya-karya sastra pemenang Hadiah Nobel, misalnya, cenderung dijadikan pedoman, karya kanonik. Begitu pula ketika muncul paham-paham filosofis, kebudayaan, ekonomi, dan politik seperti pascamodernisme, pascastrukturalisme, pascamarxisme, kosmopolitanisme, dan pluralisme.

Perburuan akan realitas-realitas alternatif tersebut tidak bisa pula dipisahkan dari semangat merayakan perbedaan. Karena itu, bila di tahun-tahun mendatang perburuan terhadap realitas lain tersebut terus berlangsung, tantangan sastra Indonesia adalah menempatkannya tidak hanya dalam konteks sejarah sastra Indonesia sendiri, melainkan sastra dunia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus