Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Buntut?"—Daud Beureueh mengernyitkan dahi.
Adegan ini terjadi pada awal 1980-an di Beureunen—kota kecil 15 kilometer dari Sigli, ibu kota Kabupaten Pidie. Ketika itu sang Abu—sebutan sehari-hari Daud Beureueh—baru pulang dari tahanan rumah di Jakarta. Tengah berjalan-jalan di pasar dia melihat sekerumunan orang sibuk mencoret-coret kertas di sebuah kedai kopi. "Sedang apa mereka itu? Kok, sibuk sekali?" tanya Beureueh kepada Yasin, Camat Beureunen yang mendampinginya. "Mereka menerka kode buntut, Abu," jawab Yasin. Abu bergumam. "Hmm, judi rupanya."
Tanpa disangka, Beureueh masuk ke kedai kopi itu. Tiba-tiba dia memukulkan tongkatnya keras-keras ke atas meja. Kertas kode buntut bertebaran. Lalu dengan suara menggelegar, dia menghardik dalam bahasa Aceh kasar: "Peu nyang neu peubut nyan. Buet bui? Apa yang sedang kalian kerjakan ini. Pekerjaan babi?
Mereka yang hadir di kedai kopi itu langsung ambil langkah seribu. Tak ada yang berani ambil risiko berurusan dengan tokoh pemberontak nomor wahid di Pulau Sumatera itu. Tapi, dasar sudah keranjingan judi, mereka berkumpul lagi setelah Abu pergi. Celakanya, ucapan Abu Beureueh langsung mereka jadikan ilham. Para petaruh lantas menafsirkan kata "babi" sebagai wangsit untuk nomor yang akan keluar. Semuanya sepakat memasang nomor yang merujuk pada gambar babi.
"Ajaib!" Besoknya nomor yang keluar sebagai pemenang adalah gambar babi. Konon, bandar judi buntut di kota itu sampai bangkrut membayar para pemenang taruhan. Sejak itu, ada kebiasaan baru bagi para pecandu judi di Beureunen pada masa itu. Mereka kerap memperhatikan ucapan Abu. Mereka yakin, bahkan dalam umpatan sekalipun Abu membawa "berkah". Selalu saja, ketika Abu Beureueh melintas di pasar, banyak pecandu judi buntut diam-diam memperhatikan gerak-geriknya. Mungkin mereka berharap ada "wangsit" baru yang turun lagi pada hari itu.
Cerita itu dikenal luas di Pidie. Agak lebih menonjolkan aspek kelucuannya memang. Tapi dari situ mungkin dapat kita baca bahwa pada era 1980, keperkasaan Daud Beureueh, ulama pemberontak—kepada Sukarno pun tak tunduk—sudah lewat. William Liddle, dosen Universitas Ohio yang tinggal di Aceh pada 1985-1987, melihat zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh di masa itu telah berlalu hampir tanpa bekas.
"Ketika saya tinggal di Aceh, kesan saya adalah bahwa beliau tidak banyak berpengaruh lagi," katanya. Saat Daud Beureueh meninggal, Liddle hadir pada pemakamannya. Dan dia menyaksikan betapa sederhana upacara itu. Selain keluarga, tak banyak orang yang hadir. Liddle melihat hanya ada seorang tokoh—Sanusi Junid, Menteri Pertanian Malaysia, anggota teras United Malay National Organization (UMNO). Tokoh tersebut ternyata menantu Daud Beureueh.
Liddle menduga, memudarnya karisma Daud Beureueh karena Orde Baru berhasil "mendekamkan" dia sebagai tahanan rumah. Abu dijaga terus agar ia tidak beraktivitas. Menjelang wafatnya, Abu bak orang yang ditinggalkan. Dia hidup sendiri, sakit parah, tapi tetap tegar. Pada 1986, kesehatannya sudah amat merosot.
Tinggal sendiri di sebuah rumah amat sederhana di Beureunen, Taufik Ismail pernah menjenguknya. "Saya seperti dipertemukan oleh Tuhan dengan seorang pemimpin besar yang tengah dikucilkan. Dihina. Jasa-jasanya yang besar seolah dihapus," tuturnya. Sore itu, selepas magrib, Taufik ingat, ia naik jip bersama para penyair: Soetardji Calzoum Bachri, Hamsad Rangkuti, Abdul Hadi W.M.
Kondisi Daud Beureueh sudah uzur. Toh, untuk menghormati tamu, beliau bangkit dari pembaringan dan bersandar di tepi ranjang sehingga bisa memandangi mereka. Taufik dan Abdul Hadi lantas meminta Abu mendoakan bangsa ini agar terhindar dari kehancuran. Daud Beureueh lalu berdoa dalam bahasa Arab. Doanya sedemikian khusyuk. "Saya langsung menangis, terharu. Soetardji spontan bercucuran air mata, mengacungkan kepalan tangan dan berteriak, 'Allahu Akbar! Allahu Akbar!'," cerita Taufik.
Peneliti Fachri Ali juga pernah menengok Daud Beureueh di era-era itu. Kondisi Abu, menurut dia, merana. Tulangnya rapuh. "Teungku Daud bertanya kepada saya, 'Dro nanuso? Kamu anak siapa?'," tutur Fachri. Lantas Fachri menyebut nama ayahnya, M. Alishah, yang pernah turut Abu dalam perang kemerdekaan. Seketika itu Abu, cerita Fachri, berusaha bangkit.
Dilahirkan sebagai Muhammad Daud, pada sekitar tahun 1898 di Kampung Beureueh, seperti kebanyakan ulama Aceh lainnya, Muhammad Daud menambahkan nama kampungnya ke namanya. Pendidikannya pesantren tradisional di Titeue dan Pesantren Lie Leumbeue. Kakak dan pamannya yang bersekolah di perguruan tinggi Mesir kerap mengirimkan buku. Abu Beureueh selalu lahap membaca buku berbahasa Arab. Gagah dalam penampilan, tokoh ini selalu berpakaian necis—di hutan sekalipun. Dia disebut-sebut sebagai ulama modernis karena memelopori pemikiran di Aceh bahwa ulama haruslah terlibat dalam persoalan konkret keduniaan.
Ia kemudian merombak sistem pesantren di Aceh. Dia pernah berkeliling di Aceh, berdakwah selama 25 hari untuk mengemukakan pikiran-pikirannya. Saat kawin dengan Halimah di Kampung Usi Meunasah Dayah, ia mengajak warga Usi—yang kala itu menganut tasawuf mistik ala ajaran-ajaran Al-Hallaj—agar hidup lebih konkret bergelut dengan persoalan umat. Pada tahun 1930 ia mendirikan Madrasah Sa'adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli. Boleh dibilang, ini madrasah pertama dengan sistem pendidikan modern di Aceh.
Sembilan tahun kemudian, Abu mendirikan organisasi yang punya pengaruh ke seluruh lapisan masyarakat Aceh, yaitu Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Watak organisasi ini seperti Muhammadiyah. Berusaha kembali memurnikan ajaran sesuai dengan Al-Quran-Hadis. Namun pendiriannya jauh lebih dahulu daripada Muhammadiyah. Adalah PUSA yang mengembleng rakyat Aceh saat Clash I dan Clash II untuk melawan Hindia Belanda. Pada titik inilah Abu mulai menampilkan diri sebagai orang kuat Aceh. Daud Beureueh dan ulama lain dari generasinya adalah ulama pertama dari dayah-dayah seusai Perang Aceh. Maka kuat benar perasaan anti-Belanda mereka.
Salah seorang yang paling berpengaruh terhadap pemikiran Daud Beureueh, menurut menantunya sekaligus bekas Sekretaris PUSA, M. Nur El Ibrahimy (kini 94 tahun), adalah seseorang yang bernama Teungku Abdul Hamid, lebih dikenal sebagai Ayah Hamid. Tokoh ini tak begitu dikenal dalam blantika politik kita. Tapi ia seperti adik dan abang dengan Daud Beureueh. Mengutip Nazaruddin Syamsudin, penulis buku Pemberontakan Kaum Republik, Kasus Darul Islam Aceh, "Dia ini yang membisiki Daud Beureueh untuk melakukan reformasi pendidikan dari pesantren ke sistem kelas (madrasah).
Ayah Hamid ini adalah bapak Farkhan Hamid, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional. Farkhan mengakui ada hubungan yang erat antara ayahnya dan Abu. Tatkala ayahnya meninggal pada 1968, Daud Beureueh beserta kerabat dekatnya datang ke rumah almarhum membawa makanan, nasi kari kambing, dan segala macam. "Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, orang yang memberi makan adalah orang yang tertimpa musibah," kata Farkhan Hamid.
Menurut Farkhan, ayahnya adalah anggota SI, Sarekat Islam. "Dia memang agak sosialis, antifeodalisme," tutur El Ibrahimy. Tahun 1926 , SI pecah menjadi SI merah dan hijau. SI merah dipimpin Tan Malaka. Nah, pada 1928 terjadi pemberontakan di Padang oleh Tan Malaka. Imbasnya, semua orang SI dikejar, tidak peduli dia SI merah atau hijau. Termasuk Ayah Hamid, yang kemudian lari ke Malaysia.
Tutur Farkhan, "Ayah saya (saat itu berusia sekitar 25 tahun) menyamar sebagai seorang perempuan. Subuh hari pergi ke laut, dia berlayar sampai Sabang," kata Farkhan. Dari Sabang dia terus ke Malaysia dan Arab. "Di sana ayah saya terpengaruh gerakan Wahabiyah. Gerakan modernisasi dan pemurnian Islam," tutur Farkhan.
Dari Arab, Hamid menulis pemikiran-pemikirannya mengenai perlunya pembaruan pendidikan di Aceh. Dia menulis dengan bahasa Arab, diselipkan ke sela-sela surat kabar dari Arab. Lalu dia titipkan kepada jemaah haji asal Aceh yang hendak pulang. "Ini tolong sampaikan kepada Teungku Daud Beureueh." Salah satu yang menjadi "kurir" itu adalah Teungku Abdullah Ujung Rimba, seorang tokoh dari Pidie.
Surat-menyurat ini lolos dari sensor Belanda, dan sampai ke tangan Daud Beureueh. Komunikasi tersebut berjalan dua kali musim haji. Bagi Daud Beureueh, hal ini menimbulkan inspirasi mendirikan Sekolah Adabiyah, setingkat SD, di Sigli, sekolah modern pertama di Aceh.
Dari sini lahirlah pemimpin-pemimpin Aceh. Atas perjuangan PUSA melawan Belanda oleh Mohammad Hatta, Daud Beureueh diangkat menjadi gubernur militer untuk Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Kemudian terjadilah peristiwa dramatis itu.
Sebagai bentuk ketidakpuasan karena dibubarkannya Provinsi Aceh dan dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara oleh pemerintah pusat, Aceh, yang telah menyumbang habis-habisan bagi Republik Indonesia—termasuk pesawat Dakota Seulawah (Gunung Emas)—bergolak. Pada 21 September 1953 dengan berani Abu Daud memproklamasikan Aceh sebagai negara Islam.
Menghindari konflik militer terbuka dengan Republik, Abu bersama resimen-resimen militer dan menteri-menterinya naik ke hutan di sekitar Pidie. Dia bertahan di sana sampai tahun 1962. Hidup di hutan tak sedikit pun melemahkan prinsipnya. Soal kehidupan Abu di hutan, ada lelucon yang didengar Farkhan dari Hasan Saleh, yang saat itu berada di hutan bersama Abu. Sehari-hari Daud Beureueh selalu ingin kelihatan gagah, berwibawa.
Pada pukul enam pagi, Abu sudah rapi, pakai baju, dasi, jas, lalu mondar-mandir dengan tongkatnya seolah sedang menginspeksi keadaan rakyat. Ada dia berjalan dengan pakaian necis itu sampai dua kilometer tiap pagi. Para menteri ketawa-ketawa menyaksikan ini. "Siapa rakyat kita? Monyet? Ha-ha-ha...," mereka tertawa.
Tapi mereka tak berani mengatakan hal itu lantaran Daud Beureueh dikenal amat emosional. Karena Ayah Hamid adalah satu-satunya orang yang bisa mengendalikan emosi Daud Beureueh, mereka meminta bantuannya.
Suatu malam, Ayah Hamid menemui Daud Beureueh di kamp induk. Yang lain mengintip. Ayah Hamid langsung "menerjang": "Ini Teungku apa-apaan? Kenapa kalau pagi sudah mandi, memakai baju rapi keliling-keliling. Apa rakyatnya monyet?" Daud Beureueh tertawa juga. "Kupukul kamu! Ha-ha-ha...," kata Daud sambil mengangkat tongkat. Esoknya Daud tak lagi mondar-mandir."
Kekerasan Abu yang luar biasa akhirnya diluluhkan oleh Panglima Jasin. Melalui serangkaian surat-menyurat sejak 1961, pada Rabu, 9 Mei 1962, sang Gubernur Militer turun kembali ke pangkuan Republik. Ia memancarkan perbawa yang luar biasa. Pada 14 Mei, dia bersembahyang Idul Adha bersama rakyat Aceh yang merindukannya.
Turunnya Daud Beureueh yang karismatik membuat ia segera menjadi tempat masyarakat mengadukan segala persoalan. Salah satunya adalah soal pengairan di Pidie. Pada 1963, atas inisiatifnya, dia memimpin kerja bakti membuat irigasi yang panjangnya lebih dari 17 kilometer. James Siegel, antropolog Amerika yang berada di Aceh saat itu, melaporkan betapa masyarakat saling bantu. Tiap hari 300 orang datang, bahkan pernah sampai 2.000 orang. Mereka bekerja dari pukul delapan pagi sampai pukul empat sore.
"Saya bertanya, kenapa mereka datang ke Abu. Jawab mereka, Bupati Pidie tidak berbuat apa-apa, dan Daud Beureueh mereka anggap mampu menyelesaikan persoalan," tulis Siegel dalam bukunya, The Rope of God. Seperti disaksikan Siegel, Abu ikut terlibat langsung. Dia mencangkul, berpeluh. Selepas kerja Abu Daud tidak pulang ke rumah. Ia tidur di gubuk para petani. Selain membuat saluran irigasi, Abu juga bekerja bakti membuat jalan dari Lampoih Saka (Kecamatan Pekanbaru) ke Langkawi (Kecamatan Lembang Tanjoeng) sepanjang 12 kilometer.
Siegel juga menyaksikan betapa Daud Beureueh adalah seorang macan podium. Pidato-pidatonya sugestif dan menggelegak. "…Boleh jadi Saudara pikir bahwa pekerjaan ini bukan ibadah, boleh jadi Saudara pikir, cukuplah bagi seorang muslim sembahyang dan membaca Quran saja. Boleh jadi Saudara pikir hubungan-hubungan antar-rakyat bukanlah agama...." Menurut Siegel, pidato-pidato itu memompa semangat masyarakat untuk terus bekerja bakti.
Kedekatannya yang erat dengan masyarakat membuat sosoknya tetap "mengkhawatirkan" Jakarta, walau dia sudah kembali ke Republik.
Pada 1971, menjelang pemilu, misalnya, Liddle bertemu Daud Beureueh di kantor CSIS di Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Saat dia masuk, saya merasakan ketegangan merayapi ruangan beberapa saat," Liddle mengaku.
Lain lagi Nazzarudin Syamsudin, yang pertama kali bertemu Daud Beureueh pada 7 Juli 1973. Waktu itu ia hendak mewawancarai ulama besar itu untuk kepentingan tesisnya di Australia. Diantar sekretaris Beureueh, Mansur Ismail, dia dipersilakan menunggu di ruang tamu. "Wah, inilah yang mengirim surat dari Australia," ucap Daud Beureueh. Di sela-sela wawancara itu lewatlah seorang petani naik sepeda. Langsung mampir, mencium tangan Daud Beureueh.
"Saya dikenalkan kepada petani itu," tutur Nazzarudin. Lalu si petani menghadiahi Abu enam biji ketimun hasil petikan kebunnya. Spontan Beureueh memanggil Mansur, "Ini ada buah ketimun. Buat kalian." Mentimun itu langsung dibagi-bagikan. "Bayangkan, dipetik dari kebun! Langsung diberikan kepada Teungku, dan Teungku langsung membagikan untuk orang lain," kata Nazzarudin. Potret kecil ini menandakan betapa semua lapisan masyarakat Aceh menghormati dan mencintai Abu.
Pekan lalu, TEMPO berhasil menemui Mansur Ismail di Maureudue, Kecamatan Mutiara, Pidie. Bekas sekretaris pribadi dan ajudan Daud Beureueh ini umurnya sudah 103 tahun. Mansur sudah tak dapat berdiri. Sehari-hari ia hanya makan nasi dengan pisang. Tapi tubuhnya masih kuat. Genggaman tangannya ketika berjabat tangan juga tetap keras. Ia bahkan masih bisa membaca tanpa kaca mata. Tahun lalu ia dan istrinya baru saja menunaikan ibadah haji. Luar biasa.
"Saya jadi ajudan beliau sejak 1947 sampai beliau wafat pada 1987," katanya. Perkenalan Mansur dengan Daud Beureueh terjadi tahun 1920. Ketika itu Daud Beureueh membangun sebuah pesantren di Usi, yang merupakan desa asal Mansur. Usia Daud Beureueh 5 tahun lebih tua dari Mansur. "Saya dan Daud Beureueh seperti tali dan kambing," Mansur menamsilkan kekerabatan hubungannya dengan Abu.
Mansur juga menjadi orang yang paling dipercaya Daud Beureueh, termasuk ketika keduanya membangun Masjid Baitul A'la Lil Mujahidin—kerap disebut dengan nama Masjid Abu Beureueh. "Masjid itu selesai pada 1973. Abu Daud yang cari dana, saya yang cari barang," katanya. Dia juga mengenang Abu sebagai sosok yang bersahaja dan sederhana. "Semua dia mau makan, bahkan ikan teri sekalipun," kata Mansur. Dalam hal makanan, Nur El Ibrahimy menambahkan, "Kesukaan dia adalah makan nasi dengan lauk brutu ayam."
Abu Daud tak dapat membaca-tulis kecuali dalam bahasa Arab. Dia memang tidak pernah mengecap pendidikan formal. Maka Mansurlah yang selalu merancang dan membalas surat serta mengurus semua hal administratif. Menurut Mansur, di luar jam kerja, Daud Beureueh hanya melakukan dua hal: memperhatikan kebutuhan rakyatnya dan beribadah. Nazaruddin Sjamsuddin punya pengalaman pribadi soal ibadah. Katanya, "Saya pernah ditanya seseorang bagaimana rasanya diimami Teungku."
Nazaruddin tertegun lalu menjawab, "Saya bisa khusyuk." Orang itu berkata lagi. "Teungku selalu bisa membuat khusyuk makmumnya."
Sereformis-reformisnya Daud Beureueh, untuk ukuran sekarang, dia tetap ulama "lama". Abu tidak suka tari Seudati—tari Aceh yang terkenal hingga ke mancanegara. Alasannya, tari Seudati biasa digelar sampai malam, ditonton laki-laki dan perempuan. "Abu berpikir, bila mereka terus pulang berduaan, apa tidak mengundang kemaksiatan?" kata Nazarudin. Konon, Abu juga tak senang sepak bola.
Syahdan, memang ulama tradisional Aceh dulu menganggap permainan sepak bola mengingatkan orang akan nasib tragis Husein, cucu Nabi yang tewas di Padang Karbala dibantai Muawiyah. Lehernya dipenggal dan kepalanya ditendang-tendang di tanah. Abu juga tak senang pada para hulubalang elite yang hidup mewah—misalnya punya ruko biliar dan klub sepak bola—sebuah gaya hidup yang menurut Daud Beureueh tidak nyambung dengan masyarakat bawah.
Semua hal ini mencerminkan betapa sebagai pemimpin Abu amat jauh dari materi. Harga diri dan kehormatannya jauh lebih tinggi dari godaan materi. Ia pemimpin yang bersih. Beberapa pemberontak yang turun dari hutan mendapat tanah dari pemerintah. Tapi Abu menolak. "Sampai meninggal ia tak punya rumah," kata Nur El Ibrahimy.
Dari perjalanan hidup Daud Beureueh banyak yang dapat kita pelajari untuk memahami pergolakan Aceh kini. Misalnya, saat pemakaman Daud Beureueh, yang dihadiri oleh menantunya Sanusi Junid, Menteri Pertanian Malaysia. "Hubungan keluarga itu menimbulkan pertanyaan bagi saya," ujar Liddle kepada TEMPO. Belakangan ini Gerakan Aceh Merdeka memanfaatkan pula orang Aceh yang tinggal di Malaysia. Maka Liddle pun bertanya, "Apakah pada zaman Daud hubungan itu juga (telah) dimanfaatkan?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo