Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Diplomasi tanpa Todongan Bedil

Kolonel Mohammad Jasin berhasil meredam pemberontakan DI/TII Aceh. Strategi utamanya lewat propaganda dan merebut hati Teungku Muhammad Daud Beureueh.

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aceh 7 Maret 1961. Sepucuk surat mahapenting meluncur dari markas penguasa militer tertinggi di Aceh. Pada bagian luar amplop tertulis alamat yang dituju, yaitu Teungku Muhammad Daud Beureueh, pemimpin gerakan DI/TII Aceh. Surat yang dikirim lewat kurir khusus itu diawali dengan kalimat nan indah: "Bahwa inilah warkatul ikhlas, yang datang dari M. Jasin, Kolonel Infanteri, Panglima Kodam Iskandar Muda. Dan mudah-mudahan Ayahanda Teungku dan keluarga dalam keadaan sehat walafiat. Amin ya rabbal alamin." Boleh jadi gaya bahasa Jasin terbilang aneh. Meski seorang panglima militer, Jasin sama sekali tak mengedepankan tekanan. Dalam surat itu Jasin bahkan menawarkan keberangkatan ke tanah suci Mekah kepada Teungku Daud Beureueh dan keluarga. Jasin sengaja memilih jurus sopan itu. Soalnya, Teungku Daud adalah ulama Aceh yang paling disegani pada zaman itu. Ia tak takut ancaman dan tekanan. Teungku Daud justru akan "takluk" pada orang-orang yang bersikap sopan dan rendah hati. Meski tak kenal secara pribadi, "Saya sengaja menyebut Teungku Daud sebagai 'ayahanda'," ujar Jasin. Bukan hanya itu, sebenarnya. Sejak beberapa waktu sebelumnya, segera setelah Jenderal A.H. Nasution menugasinya menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh pada November 1960, Jasin telah menyebarkan selebaran lewat pesawat udara, berisi permintaan agar tak seorang prajurit pun dari Kodam yang mengeluarkan atau menembakkan senjata ke arah pasukan DI/TII. "Saya tak ingin menggunakan peluru untuk menyelesaikan pemberontakan di Aceh," katanya. Jasin tak menutup kemungkinan ada prajurit Kodam yang kecewa. Tapi, "Mereka harus mengikuti komando dan perintah panglima," ujarnya. Jasin yakin pada laporan dan analisis intelijen bahwa masalah DI/TII di Aceh bisa diselesaikan secara damai. Caranya terbukti efektif. Ribuan pasukan DI/TII Aceh pun turun gunung dan menyerahkan diri. Beberapa tokoh seperti Sulaiman Gading, R. Sulaiman, dan Wahab Ibrahim bahkan menghentikan aktivitas pemberontakan. Jasin mengirimkan surat untuk Teungku Daud Beureueh yang masih memimpin belasan ribu pasukan di kawasan pegunungan sesudah itu. Gayung pun bersambut. Teungku Daud segera membalas surat Jasin. Dalam suratnya, Teungku Daud menyebut Kolonel Jasin dengan predikat "anakanda". Tak tanggung-tanggung, pemimpin pemberontakan DI/TII Aceh itu menulis empat halaman penuh kertas folio. Isinya seputar alasan pemberontakan di wilayah Aceh, yakni upaya penegakan "hukum Allah dan Rasul" dan akibat kekecewaan rakyat Aceh terhadap sikap Jakarta. Teungku Daud kemudian mengirim utusan pribadi, A.R. Hasjim, untuk menemui Kolonel Jasin di Kutaraja, Banda Aceh. Pendekatan Jasin tak sia-sia. Setelah melalui beberapa kali korespondensi, Teungku Daud bersedia bertemu dengan Jasin. Seperti mendapat durian runtuh, Jasin pun bergegas. Ia mengajak lima orang ulama dan 20 pasukan pengawal berjalan menyusuri hutan di selatan Lhok Seumawe. Agar tak mengesankan permusuhan, Jasin sengaja hanya mengajak sedikit pasukan. Padahal, Letkol Nya Adam Kamil, Kepala Staf Kodam Iskandar Muda, sempat menyiapkan 200 pasukan bersenjata lengkap. Tak cuma itu, Jasin juga memerintahkan pasukannya menggantungkan senjata di bahu. "Moncong senapan harus mengarah ke tanah sebagai tanda persahabatan," kata Jasin. Meski telah mendapat lampu hijau dari Teungku Daud Beureueh, perjalanan menuju markas DI/TII bukan tanpa risiko. Selama sekitar empat jam perjalanan di hutan, rombongan Jasin beberapa kali "dicegat" oleh ratusan pasukan DI/TII. Jasin sempat terheran-heran dengan persenjataan yang dimiliki pasukan pemberontak itu. Saat itu pasukan DI/TII setidaknya menenteng empat bazoka. Padahal, ujar Jasin, "Saat itu TNI belum memiliki bazoka. Kita tidak punya uang untuk membelinya." Jasin tiba di sebuah bukit yang dipenuhi pasukan DI/TII. Teungku Daud Beureueh, yang telah menunggu, langsung turun dari gubuk panggungnya. Tanpa banyak bicara, Teungku Daud dan Jasin berpelukan cukup lama. Mereka terlihat seperti ayah dan anak yang telah lama berpisah jalan. Ini adalah pertemuan pertama Teungku Daud dengan pejabat militer setelah delapan tahun mengibarkan pemberontakan DI/TII di Aceh. Teungku Daud mengajak Jasin naik ke gubuknya. Sambil minum kopi panas, mereka bicara empat mata selama satu jam. Saat itu Teungku Daud mengulang alasan pemberontakan seperti yang pernah ditulis dalam suratnya. Jasin menanggapinya dengan takzim. Setelah "curhat" selesai, Jasin mengajak Teungku Daud mengakhiri pemberontakan secara damai. Tawaran ini membuahkan hasil yang luar biasa. Pada 9 Mei 1962, Teungku Daud beserta ribuan pasukannya turun gunung. Mereka menghentikan pemberontakan dan berikrar untuk kembali ke pangkuan RI. Ini adalah akhir dari sembilan tahun pemberontakan DI/TII Aceh yang diperkirakan merenggut sekitar seribu nyawa. Jasin, yang pada zaman Presiden Soeharto sempat menjabat Sekjen Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik tapi kemudian mengundurkan diri dan belakangan ikut dalam kelompok Petisi 50, menyatakan tak tahu apakah cara yang ia pakai bisa juga digunakan untuk mengatasi Gerakan Aceh Merdeka. "Mungkin saja kondisinya berbeda," katanya. Meski berhasil, tak semua orang setuju dengan gaya pendekatan Jasin kepada Teungku Daud Beureueh. M. Nur El Ibrahimy, menantu Teungku Daud yang juga menulis buku tentang mertuanya itu, menyebut tawaran untuk menunaikan ibadah haji sebagai sogokan yang terlalu dini. "Sebenarnya tawaran seperti itu tidaklah sopan. Teungku Daud bukanlah orang yang silau dengan fasilitas dan kemewahan," ujar Ibrahimy. Jasin, kini 82 tahun dan menghabiskan sebagian besar hari-harinya di atas kursi roda setelah stroke menghantamnya dua tahun lalu, mengakui Teungku Daud adalah tokoh yang sederhana. Jasin beberapa kali mengunjungi Teungku Daud, sesudah "penyerahan diri" itu di Kampung Beureunen, Pidie. "Saya melihatnya bekerja menggali parit bersama rakyat biasa. Setelah bekerja, beliau mengajak saya dan rakyat makan bersama," kata Jasin, yang menambahkan bahwa Teungku Daud pun menampik tawaran jip Willys dan rumah darinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus