Tengah malam pada 1980, terdengar jeritan kecil di perkemahan wisatawan Ayers Rock, Australia. Itulah suara Azaria. Bayi itu tak pernah ditemukan lagi. Pengadilan kemudian menyatakan bahwa ia dimangsa Dingo -- anjing liar -- di Australia. Tapi, dalam sidang perkara ulangan, 1982, Lindy Chamberlain, ibu Azaria, dituduh sebagai pembunuh. Ia dijatuhi hukuman seumur hidup. Suaminya diganjar 18 bulan. Pada 1987, bukti baru muncul, yang menyatakan bahwa mereka tak bersalah. Lindy menuntut ganti rugi 3 juta dolar Australia. Pemerintah belum memenuhi tuntutan itu. MALAM menggigil. Angin kering berpacu di padang rumput, menerpa Ayers Rock di Australia. Bukit batu merah yang terasa sakral sore tadi itu, kini telah menjadi gundukan sepi, hitam diam dan menggiris. Kata orang Aborigin, Ayers Rock -- yang menampilkan permainan warna setiap pagi dan sore -- adalah "tempat suci yang penuh misteri". Tapi semua itu tak mampu mengusir kehadiran para pelancong. Tenda demi tenda bertumbuhan di atas padang rumput berpasir. Mereka menunggu datangnya pagi, saat bukit batu itu memperlihatkan pesonanya. Entah berapa ribu tahun sudah Ayers Rock menjadi panggung tontonan yang memukau manusia. Entah berapa ribu tahun permainan warnanya -- jika tersorot oleh matahari -- memancarkan keajaiban. Puluhan generasi Aborigin, orang-orang kulit putih yang merasa menemukan Ayers Rock, dan jutaan turis -- lokal maupun asing -- telah sempat "mati berdiri" karena kagum. Tiba-tiba sebuah drama baru dipentaskan di Ayers Rock, komplet dengan misterinya. Sebuah kisah yang melahirkan prasangka, kebencian, histeria -- atau justru simpati -- kepada seorang wanita bernama Lindy Chamberlain. Seorang bayi lenyap. Sang ibu lalu menjadi bulan-bulanan pers dan masyarakat. Kisah yang guncangannya melebihi batas kawasan wisata itu melompati benua Australia ke berbagai penjuru dunia kemudian memuncak dalam film A Cry in the Dark. 17 Agustus 1980. Dingin menusuk-nusuk. Keluarga Chamberlain berkemah pada dataran di depan Ayers Rock. Michael dan Lindy Chamberlain, serta ketiga anaknya: Aidan Leigh, Reagan Michael, dan Azaria yang baru berusia sembilan pekan. Tiga hari sebelumnya, keluarga itu berangkat dari rumahnya di Mt. Isa. Mereka hendak menempuh perjalanan safari melintasi Australia Tengah. Ayers Rock hanya salah satu persinggahan. Malam belum larut betul. Jam baru menunjukkan angka delapan. Anak-anak sudah tidur di tendanya. Reagan, yang berusia empat tahun, berbaring lelap di depan pintu tenda. Adiknya, Azaria, terbungkus selimut tebal dan lembut di tempat yang lebih dalam. Michael dan Lindy sedang menyiapkan makan malam di tempat pemanggangan, sekitar 20 meter dari tenda anaknya. Mereka sama sekali tak menyangka, sebuah peristiwa buruk bakal menyergap. Berdasarkan pengakuan Chamberlain, ia dan istrinya sekonyong-konyong mendengar "jeritan keras sekejap" dari tenda. Itu jelas suara Azaria. "Berikut kami lihat seekor dingo keluar dari tenda tempat anakku tidur. Di mulutnya terlihat sesuatu. Tapi malam terlalu gelap." "Istriku menghambur ke tenda dan terkejut melihat bayi kami hilang. Kami melihat dingo. Namun, cuaca begitu buruk, dan tak ada cahaya bulan sama sekali. Suhu udara pun di bawah nol," kata Chamberlain. Hilangnya bayi itu lalu menjadi kasus yang paling menggemparkan dalam masyarakat Australia -- bahkan melebihi kisah punahnya bangsa Tasmania awal abad ini lantaran kedatangan orang-orang kulit putih. Teriakan seorang ibu, "Ya, Tuhan, bayiku digondol dingo!" segera menjadi headlines di seluruh dunia. Azaria tak pernah ditemukan lagi. Orok itu lenyap. Tak ada yang dapat memastikan siapa yang mengambilnya. Tapi Chamberlain yakin bahwa dingo yang telah mencurinya. Anjing liar Australia -- bentuknya mirip anjing kampung berekor tebal -- itulah yang paling mungkin menjadi terdakwa. Dingo banyak berkeliaran di daerah seputar Ayers Rock. Daripada berjuang di padang gersang, anjing-anjing itu lebih suka mencari makan dari para wisatawan -- yang biasa mendermakan sisa makannya. Polisi senior Frank Morris sependapat. Ia bilang, telah menemukan tetesan darah bayi dalam tenda. "Juga ada bekas air mata pada selimut yang dipakai untuk membungkus keranjang bayi." Petunjuk lain adalah ditemukannya jejak kaki dingo di dekat tenda mereka, yang nampaknya sedang menyeret sesuatu yang berat. Selebihnya hanya ada tanda tanya. Apa pun yang terjadi, kata Morris, "tak ada peluang bagi bayi itu untuk bertahan hidup pada malam yang sedemikian beku." Pelacakan terus dilakukan. Lebih dari 100 orang -- termasuk para Aborigin pencari jejak, dan sejumlah wisatawan -- telah menelusuri setiap jengkal kawasan Ayers Rock. Tapi sia-sia. Praktis tak ada sesuatu yang berarti ditemukan. Kecuali sesobek pakaian yang dijumpai beberapa hari setelah hilangnya Azaria di ujung barat daya batu yang dikeramatkan orang Aborigin itu. Hanya beberapa ratus meter dari kemah Chamberlain. Selebihnya kabut tebal. Ketenaran Ayers Rock, misteri hilangnya Azaria, mengundang gunjingan. Di saat masyarakat sepi isu, hilangnya Azaria menjadi bahan perbincangan tersendiri. Banyak orang ingin melihat keluarga Chamberlain yang malang itu. Pers pun habis-habisan mengunyah dan menjajakan berita itu sembari memuat berbagai analisa. Wajah Lindy, sang ibu, dan Michael menjadi sedemikian terkenal. Inilah pangkal malapetaka lebih lanjut. Melihat wajah Lindy yang "tampak kurang sedih," gunjingan demi gunjingan kian lama kian panas. Pertanyaan "benarkah Azaria digondol dingo?" menjadi lebih sering terdengar daripada "bagaimana bayi itu bisa hilang?" Betapapun simpang-siur anggapan masyarakat, petugas tetap menangani persoalan itu dengan dingin. Tanggal 15 Desember 1980, petugas Alice Spring mulai mengusut "kematian" Azaria. Pengusutan ini dilanjutkan oleh Denis Barritt. Barritt sama sekali tidak terpengaruh pada kasak-kusuk publik. Ia sepenuhnya mengusut perkara berdasar temuan yang ada. Baginya, jumlah temuan itu cukup untuk menjadikan sebuah kesimpulan, walaupun -- agaknya -- kurang cukup banyak untuk membungkam isu. Akhir Februari tahun berikutnya Barritt memastikan: "bayi Azaria diambil dari tendanya oleh dingo dan tubuhnya dibuang oleh seseorang yang tak dikenal." Lebih lanjut Barritt mengecam cara polisi Northern Territory menangani perkara itu. Ia juga memperlihatkan ketidaksukaannya kepada isu-isu yang berkembang. Ia bicara pada Chamberlain, "Engkau bukan saja harus menderita karena kehilangan anak yang kau cintai dengan cara yang begitu tragis, tapi kau juga menjadi bulan-bulanan innuendo dan dakwaan." "Kurasa aku adalah korban 'pemberantasan tukang sihir di Abad Pertengahan'," komentar Lindy pendek. Mestinya perkara berhenti sampai di situ, untuk kemudian dilupakan. Ternyata tidak. Sekali lagi para wartawan bertindak berlebihan. Mereka mementingkan sensasi ketimbang menghargai kebenaran dan perasaan keluarga Chamberlain. Mereka terus menulis dugaan yang meragukan bahwa bayi itu diseret dingo. Wajah Lindy yang nampak kurang sedih di mata masyarakat mengebulkan prasangka. Kehidupan pribadi keluarga Chamberlain pun diacak-acak. Ironisnya, pemerintah setempat tak cukup kuat menahan gedoran publik. Pemerintah Northern Territory tidak konsisten pada hasil penyelidikan Barritt. Mereka kembali melacak perkara. Tindakan yang berarti mengaburkan kesimpulan semula. Mereka antara lain menemukan Bibel di rumah Chamberlain. Pada kitab suci itu, ayat tentang "pengorbanan" nampak ditandai. Penemuan lain adalah bercak kemerahan di bawah dashboard mobil Torana yang dikendarai keluarga Chamberlain. Ini makin menjadikan keluarga Chamberlain -- terutama Lindy -- sebagai sasaran kecurigaan. Publik mulai yakin bahwa Azaria bukannya hilang diseret dingo, melainkan dibunuh dalam mobil, "dikurbankan" oleh ibunya. Memang ada pihak yang mencoba membela. Mereka yang mengenal betul keluarga itu mengatakan bahwa ketabahan Lindy berpangkal dari keyakinannya sebagai pemeluk ajaran Advent Hari Ketujuh. Apalagi Michael sendiri adalah pendeta. Bagi mereka, kematian bukan sesuatu yang harus diratapi. Melainkan harus diterima dengan ketabahan. Karenanya, mereka berpikir untuk membuat monumen bagi bayinya. "Kami tak berharap bakal melihat bayi kami di bumi ini," kata Chamberlain esoknya setelah kehilangan. "Tapi kami tahu bahwa kami bakal melihatnya kelak di surga." Semestinya, ketabahan keluarga itu dipuji. Namun, celakanya, ajaran yang mereka anut -- Advent Hari Ketujuh -- adalah ajaran minoritas. Semakin tersudutlah mereka. Persoalan merembet ke mana-mana, sampai pada dingo. Banyak orang tak percaya bahwa dingo dapat menyeret bayi. Sebab, selama ini, anjing liar itu selalu takut pada manusia. Ukurannya pun tak lebih besar dari tubuh Azaria. Kalaupun benar dingo telah menyusup ke dalam tenda dan menyeret tubuh Azaria, tentu darah akan berceceran dan memudahkan melacak ke mana dingo itu membawa bayi. Kenyataannya, kecuali terdapat beberapa bekas tapak dingo, memang tak ditemukan jejak yang berarti yang dapat memastikan bahwa Azaria memang tewas di mulut dingo. Analisa itu memang masuk akal. Tapi Chamberlain juga mengemukakan kemungkinan lain yang sama masuk akalnya. Betapapun lunak tubuh bayi dan tajam taring dingo, belum tentu bakal menjadikan darah berceceran. Sebab, bisa saja dingo "menggigit pada selubung bayi yang tebal." Kontroversi masih terus berjalan. Banyak pihak masih tak percaya bahwa dingo telah bersalah. Tapi aparat keamanan di seputar Ayers Rock tetap bersiaga. Sejumlah papan peringatan dipasang. "Dingo binatang liar." "Memberi makan dan mengusap-usap dingo berarti memutuskan jarak alami yang memisahkan binatang itu dengan manusia. Dingo dapat dan memang menggigit. Buat keselamatan Anda sendiri dan untuk menjaga integritas dingo sebagai binatang liar, harap jangan menyentuh dan memberi makan mereka." Dingo diserang. Seperti biasa, muncullah pembelanya yang menganggap dingo telah diperlakukan tidak fair. Di Alice Spring, emblem yang bertuliskan "Dingo Tak Bersalah" dijual secara luas. Dan Lindy dituding sebagai penyulut sentimen kepada dingo. Sementara itu, para ahli -- yang seharusnya menjernihkan masalah -- malah memojokkan Lindy dan suaminya. Bercak pada mobil dan gunting milik keluarga Chamberlain diidentifikasi oleh ahli forensik sebagai bercak darah. "Aku mendapatkan bercak darah di tempat yang luas, dan sedikit pada pegangan dan mata gunting," kata Nyonya Joy Kuhl, ahli biologi forensik dari Departemen Kesehatan. "Percobaan yang kulakukan," kata Nyonya Kuhl lebih lanjut, "menunjukkan bahwa bercak itu darah manusia." Lebih tepatnya adalah darah seseorang yang berumur kurang dari enam tahun. Untuk penelitian ini, ia mengaku menggunakan tiga metode. Yakni dengan menggunakan apa yang ia sebut sebagai antiserum, dan membandingkannya dengan darah orang dewasa, darah binatang dan darah tanpa hemoglobin. Tes serupa juga dilakukan terhadap mobil Chamberlain. Tiga kali Torana hatchbak itu diteliti. Apa yang terdapat pada karpet, pada dashboard, bahkan pada radio dinyatakannya sebagai "positif darah manusia". Dan yang lebih meyakinkan, darah itu sekurangnya telah berumur lebih dari 12 bulan. Kurang lebih sama dengan waktu menghilangnya Azaria. Para ahli Australia nampaknya masih belum cukup yakin. Pemastian perkara kemudian diserahkan pada Profesor James Cameron. Profesor yang menjadi salah seorang ahli forensik paling top di dunia ini diserahi sobekan pakaian Azaria. Hasilnya: Profesor Cameron memastikan bahwa Azaria dibunuh. Bayi itu, menurut Cameron, dipenggal tepat pada tenggorokannya. Selebihnya, pada pakaian Azaria terdapat bekas tapak tangan. Bekasnya memperlihatkan bahwa ada tangan yang masih basah oleh darah yang memegang pakaian itu. Dan tapak tangan itu "jelas tapak tangan wanita." Kesimpulan ahli forensik ini segera menenggelamkan seluruh pembelaan keluarga Chamberlain yang sudah setahun lebih bersusah payah mempertahankan diri melawan opini publik. Tanggal 2 Februari 1982 -- satu setengah tahun setelah Azaria hilang, dan setahun setelah penyidik Denis Barritt memastikan bahwa Azaria digondol dingo -- Lindy dan Michael Chamberlain diadili kembali. Lindy didakwa membunuh bayinya. Michael membantu pembunuhan itu. Opini publik secara sadistis memvonis mereka. Pers setempat seakan mencapai kepuasan tertinggi karena berhasil menyajikan "berita yang benar-benar berita". Tapi pada akhirnya semua itu tak lebih dari sensasi yang telah menjadikan Lindy sebagai korban. Zuc
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini