Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Serangkaian serangan kelompok bersenjata Arakan Army terhadap pasukan keamanan Myanmar sudah berlangsung dalam beberapa minggu terakhir. Dan terbesar terjadi pada Jumat subuh, 4 Januari 2018 ketika sekitar 350 milisi Arakan Army menyerang 4 pos polisi di negara bagian Rakhine dan menewaskan 13 polisi dan melukai 9 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan terbaru Arakan Army terjadi bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Myanmar dari penjajahan Inggri tahun 1948.
Baca: Tuntut Merdeka, Pemberontak Arakan Army Bunuh 13 Polisi Myanmar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Arakan Army, serangan itu dilakukan karena 4 pos polisi itu telah digunakan sebagai markas pasukan artileri Myanmar yang dilengkapi dengan senjata berat.
"Angkatan bersenjata melibatkan polisi dalam perang dua pekan lalu," kata juru bicara Arakan Army, Khien Thukha melalui telepon kepada AFP.
Serangan ini membuat sekitar 4.500 orang meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat aman. Mereka menyelamatkan diri ke biara-biara Budha dan mendirikan kamp-kamp sementara. Mereka membawa bayi dan anak mereka saat melarikan diri.
Dua pekan lalu, militer Myanmar secara sepihak mengumumkan gencatan senjata sementara dan bersumpah tidak akan bertempur selama 4 bulan untuk melawan pasukan bersenjata kelompok pemberontak di negara bagian Kachin dan Shan.
Gencatan senjata tidak diberlakukan untuk Rakhine.
Kalim Ullah, bersama istrinya Taiyeba Begum dan anak-anaknya berpose dekat kamap pengungsian di Cox's Bazar, Bangladesh, 14 November 2018. Rencana repatriasi atau pemulangan para pengungsi etnis minoritas Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh, pada November ini, ditentang sejumlah pihak. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Baca: Myanmar Tuding Arakan Army Berlindung di Perbatasan Bangladesh
Arakan Army menuding militer Myanmar memanfaatkan gencatan senjata untuk fokus menggalang kekuatan di Rakhine.
Rakhine menjadi negara bagian Myanmar yang paling bergolak di Myanmar. Hampir sejuta etnis minoritas Muslim Rohingya terusir dari Rakhine setelah terjadi serangan militer Myanmar pada Agustus 2017. Akibatnya, ratusan ribu Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Bangladesh membuka perbatasannya dan mendirikan kamp-kamp untuk tempat tinggal sementara bagi ratusan ribu Rohingya.
Para pengungsi Rohingya ini hidup dalam penderitaan panjang. Hingga saat ini Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai warganya, sehingga etnis Rohingya menolak pemulangan kembali atau repratriasi. Mereka ketakutan akan kehilangan nyawa karena tidak ada jaminan perlindungan dari pemerintah Myanmar dengan status tidak memiliki kewarganegaraan.
Baca: Pemerintahan Aung San Suu Kyi Minta Militer Serang Arakan Army
Masalah pelik Rohingya belum terpecahkan, Rakhine menjadi lahan pertempuran antara pemberontakan Arakan Army dan militer Myanmar.
"Tindakan tegas akan diambil pasukan keamanan untuk menghadapi pemberontak Arakan Army karena mereka membuat situati tidak stabil dan rumit," ujar pernyataan militer Myanmar atau Tatmadaw.
Juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, menyerukan agar penduduk Rakhine tidak mendukung para pemberontak.
"Pertimbangkan secara dalami masa depan Rakhine. Berpikir hati-hati mengenai masa depan yang anda ingin lhat sebelum memberikan mereka dukungan," kata Zaw Htay.
Pemimpin gerakan demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi menyatakan akan memprioritaskan proses perdamaian di negara-negara bagian termasuk Rakhine yang bergolak sejak memenangkan pemilu tahun 2015.