Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
SMK Bakti Karya Parigi memberikan beasiswa penuh kepada siswanya yang berasal dari beragam suku dan agama.
Siswa akan latihan bertoleransi dan menghargai keberagaman di sekolah serta asrama.
Pendiri SMK Bakti Karya Parigi dan komunitas Inspiration House Cirebon sempat dituduh melakukan kristenisasi.
PERTANYAAN tentang makanan biasanya menjadi pintu pengenalan toleransi bagi siswa baru Sekolah Menengah Kejuruan Bakti Karya Parigi. Pendiri sekolah multikultural tersebut, Ai Nurhidayat, kerap bertanya perihal ini kepada murid baru maktab itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian siswa akan mengernyitkan dahi saat mengetahui murid dari daerah lain terbiasa dengan makanan tertentu, seperti tikus. “Padahal makanan ini menjadi tradisi bagi masyarakat di daerah lain,” tutur Ai kepada Tempo, Selasa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ai mendirikan SMK Bakti Karya Parigi pada 2011. Namun kelas multikultural di sekolah tersebut baru ada sejak 2016. Siswa yang bersekolah di SMK itu akan tinggal di asrama dan mendapatkan beasiswa penuh. Murid-murid tersebut berasal dari beragam provinsi dengan agama yang berbeda-beda.
Kini terdapat 72 siswa yang berasal dari 24 provinsi bersekolah di SMK Bakti Karya Parigi. Maktab yang terletak di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, itu hanya memiliki satu jurusan, yaitu multimedia. Beasiswa bagi murid di SMK tersebut berasal dari para donatur.
Kegiatan SMK Bakti Karya. Dok. Pribadi
Ai menerangkan, siswa akan latihan bertoleransi dan menghargai keberagaman tidak hanya di sekolah, tapi juga saat tinggal di asrama. Misalnya, ada murid dari daerah tertentu yang memiliki aroma kulit sangat menyengat dan ada juga siswa yang nada bicaranya tinggi meski tidak marah. Tentu siswa lain harus bisa menerima perbedaan tersebut.
Toleransi juga terjadi saat melaksanakan ibadah. Siswa beragama Islam bisa menghargai saat siswa beragama Kristen melantunkan kidung. Begitu pun sebaliknya, saat murid beragama Islam tengah salat. “Prinsip toleransi itu dipraktikkan di asrama.”
Ai juga berupaya mengenalkan toleransi kepada warga setempat dengan kehadiran siswa dari beragam suku dan agama tersebut. Penduduk mulai terbiasa dengan kehadiran murid-murid itu. Bahkan sebagian warga mengizinkan dinding rumahnya digambar mural rumah adat.
Setiap siswa akan menampilkan tarian, puisi, hingga menggunakan pakaian adat setiap malam Ahad. Program tersebut bernama Malam Minggu Seru. “Warga di sana menjadi peduli dengan kehadiran mereka (murid),” tutur pria berusia 32 tahun itu.
Kegiatan SMK Bakti Karya. Dok. Pribadi
Tak mudah bagi Ai memberikan pemahaman kepada masyarakat setempat tentang program multikultural itu. Warga Desa Cintakarya tersebut sempat kewalahan lantaran efek pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017. Dia bahkan disidangkan di depan forum musyawarah pimpinan daerah setempat pada 2017 karena dianggap melakukan kristenisasi. Padahal alumnus Universitas Paramadina itu tak melanggar aturan apa pun.
Menurut Ai, melalui kelas multikultural di SMK Bakti Karya, siswa dan masyarakat setempat jadi belajar toleransi dan menghargai perbedaan. “Keberagaman ini bukan masalah,” tuturnya.
Efek pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 juga dirasakan oleh Cici Situmorang. Pendiri komunitas Inspiration House Cirebon ini dijauhi oleh teman-teman kuliahnya dan dituduh melakukan kristenisasi lantaran kegiatannya mengajarkan toleransi kepada anak tak mampu serta bocah jalanan.
Selain dari teman-temannya, tudingan kristenisasi datang dari orang tua salah satu anak yang belajar di Inspiration House. Perempuan kelahiran 23 Maret 1988 itu kemudian menjelaskan kepada anak tersebut bahwa tak ada pemaksaan untuk memeluk suatu agama. “Belakangan, anak itu dan ibunya kini bisa memahami perbedaan.”
Cici mendirikan komunitas Inspiration House Cirebon pada Agustus 2015. Komunitas tersebut bergerak di bidang pendidikan untuk anak jalanan dan bocah tidak mampu. Relawan komunitas itu mengajarkan berbagai pelajaran, seperti matematika, bahasa Inggris, hingga bahasa Jepang. Mereka belajar di balai pertemuan kampung Kelurahan Larangan dan di dekat Terminal Harjamukti, Kota Cirebon, sepekan sekali.
Anak-anak berkunjung ke gereja saat mengikuti program Harmony Kids yang digelar oleh Inspiration House. Dok. Pribadi
Program lain dari Inspiration House Cirebon ialah Harmony Kids Trip. Lima sampai tujuh anak akan diajak berkunjung ke masjid, gereja, wihara, pura, hingga kelenteng untuk menghormati perbedaan agama. Program tersebut biasanya digelar setiap tiga bulan sekali. Namun, sejak pandemi Covid-19 merebak pada 2020, kegiatan itu dihentikan sementara. “Rencananya pada Maret atau April mendatang kegiatan ini dilanjutkan kembali,” kata Cici.
Selain itu, Inspiration House Cirebon memiliki kegiatan lain, yaitu Cilik-cilik Juru Bicara Pancasila. Program tersebut digelar setiap dua bulan sekali dan diikuti oleh lima hingga tujuh anak. Bocah-bocah tersebut belajar toleransi dan menghargai keragaman agama serta suku seperti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Program teranyar Inspiration House Cirebon ialah Cilik-cilik Kenal Gus Dur. Kegiatan itu mulai diluncurkan mulai tahun lalu dan digelar setiap tiga sampai empat bulan sekali. Melalui aktivitas tersebut, anak-anak belajar pemikiran Gus Dur tentang toleransi dan menghargai keberagaman.
Menurut Cici, kini anak-anak yang belajar di komunitas Inspiration House Cirebon mulai bisa menjaga toleransi dan menghargai perbedaan agama serta suku. “Mereka kini mulai mengenal toleransi dan keberagaman,” ujarnya. “Kalau ada perbedaan, bukan berarti tidak bisa berteman.”
GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo