Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTARAN kedua permainan "sambung naga" baru dimulai. Di beranda rumah kos Milenium, Kompleks Griya Kemayoran, Jakarta Pusat, Indra Amapta masih menahan kartu "tujuh sekop", Kamis malam lalu. Tiba-tiba dua polisi dari Polda Metro Jaya menyergap. "Kami mencari bandar narkoba, Rudi Jangkung, mirip Anda. Ayo ikut kami," ujar polisi sambil menggiring Indra ke pos satpam.
Di pos itu, Ketua Tim Pemburu Ajun Komisaris Besar Polisi Tito Karnavian meminta lelaki tinggi atletis—yang tetap tenang dan menunjukkan KTP dengan nama Indra Amapta—duduk di kursi. Penasaran karena buruannya sudah bersalin muka, polisi meminta Indra membuka celananya. Tampaklah tanda "tompel" (tahi lalat sebesar jempol kaki) di paha kiri. "Nah, ngaku saja, kamu Gunawan, kami memang tak mencari Rudi," kata polisi.
Gunawan Santosa, 40 tahun, langsung loyo. "Ia duduk gemetar dengan wajah pucat seperti kertas," tutur seorang saksi mata. Delapan bulan "sukses" menghindari kejaran polisi, kini ia merenungi nasib di sel dingin Polda Metro Jaya. Gunawan orang yang paling dicari polisi setelah penembakan yang menewaskan bos PT Asaba, Boedyharto Angsono, dan Sersan Dua Edi Siyep, di depan Gelanggang Olahraga Pluit, 19 Juli lalu.
Acin—demikian nama kecil Gunawan—menjadi buron sejak 15 Januari 2003, setelah melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Kuningan, Jawa Barat. Ketika itu ia sedang menjalani hukuman dua tahun enam bulan atas kasus penggelapan, buntut persengketaan dengan mantan mertuanya, Boedyharto Angsono. Menurut Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Matius Salempang, setelah melarikan diri dari Kuningan, mantan bos PT Zebra Asaba Industri itu berangkat dengan bus ke Jakarta.
Di Jakarta ia menginap di rumah kawannya, Suud Rusli, anggota marinir. Suud inilah yang belakangan dikenal sebagai anggota "Kelompok Delapan" yang menembak Boedyharto dan nyaris membunuh Paulus Tedjakusuma, Direktur Keuangan PT Asaba. Suud kini berada dalam tahanan POM TNI-AL. Selama di Jakarta, Gunawan berpindah-pindah hotel kelas melati di kawasan Mangga Besar, Jakarta Pusat. Ia juga diketahui berkeliaran di seputar Tangerang, Banten, serta Sukabumi dan Bandung, Jawa Barat.
Manuvernya makin lincah setelah polisi menempatkannya sebagai orang yang berada di balik percobaan pembunuhan Paulus Tedjakusuma dan pembunuhan Boedyharto serta Edy Siyep. Sejak awal Agustus lalu, polisi mengendus posisi lelaki yang gemar memelihara hewan buas ini di sekitar Gunung Sahari, Jakarta Pusat, dari hasil pelacakan mobil BMW silver seri tujuh yang masih ia pakai. Di kawasan ini, rupanya, ia indekos di Jalan Kartini II/11.
Sebagai bekas orang kaya, Gunawan punya selera tinggi. Ia memilih pondokan mahal, dengan fasilitas mirip hotel, bertarif Rp 1,8 juta sebulan. Di situ ia tinggal sejak April 2003. Di balik kamar ia kerap mengencangkan otot dengan mengangkat dua dambel seberat masing-masing enam kilogram. Ia juga merawat tubuh dengan body building. "Setiap pagi dia fitness," kata Amin, anggota satpam rumah kos, sambil menunjuk Hotel Sheraton Media di seberang jalan, tempat Gunawan berbugar diri.
Hasilnya? Tubuhnya yang dulu ceking kini lebih berisi. Ia juga memermak wajahnya, melebarkan mata, dan memelihara kumis. Sekilas, orang yang pernah mengenalnya pun akan pangling. Pada awal Agustus ia meninggalkan kos-kosan Jalan Kartini, pindah ke rumah kos mewah Milenium. Di tempatnya yang baru, ayah dua anak hasil perkawinannya dengan Alice Angsono ini lebih sering berjemur di terik matahari.
"Katanya, biar kulit mukanya cepat kering setelah dioperasi," kata Sumagi—pemilik rumah kos yang sering diajak ngobrol tentang harga sepeda motor. Sudah dua minggu Sumagi melihat perubahan pada hidung penghuni kamar 402 itu: kini tampak lebih mancung. Dan pada hari nahas itu, ia baru saja membaca buku Orang Bijak Berkata, dan tampak lebih cerah dari biasanya. Apa boleh buat, kecerahan itu berakhir di "sambung naga".
Edy Budiyarso, Juli Hantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo