Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada gegap-gempita dalam seleksi menteri kabinet Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tak ada drama calon menteri dipanggil ke rumah presiden terpilih, seperti saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukannya lima tahun silam. Jokowi memilih "jalan senyap": mencari dan bertemu calon melalui beragam cara dengan diam-diam. "Ada yang ngobrol-nya di warung…," kata Jokowi. Mengenai tidak adanya proses seleksi terbuka, Jusuf Kalla punya alasan. "Coba bayangkan kalau orang yang kami seleksi terbuka ternyata tidak lulus, malunya kayak apa ini orang."
Jokowi memilih menteri dengan lebih banyak mempertimbangkan rekam jejaknya. Dengan membaca rekam jejak, dia bisa melihat kemampuan manajemen dan kepemimpinannya. Dia harus begadang untuk menelisik rekam jejak para calon pembantunya itu-setidaknya sejak tiga pekan lalu. Tidak sendirian memang, juga dengan Jusuf Kalla. "Saya dan Pak JK hampir tiap hari berduaan terus sampai tengah malam," kata Jokowi.
Hingga sepekan sebelum pelantikan, Jokowi-Kalla menetapkan kabinet pemerintahannya diisi 33 menteri. Sebelumnya, mereka mengumumkan menteri akan berjumlah 34 orang. Dari 33 orang yang akan mengisi kabinet, 18 berlatar belakang profesional yang tidak punya ikatan dengan partai. Sisanya, 15 kementerian, diisi mereka yang diajukan partai anggota koalisi pendukung.
Ihwal berkurangnya jatah menteri dari partai ini, Jokowi tidak memberi alasan pasti. "Kami terus mengevaluasi," kata Jokowi. Jokowi-Jusuf Kalla didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Hanura, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Menurut Jokowi, ia menginginkan kabinetnya adalah kabinet kerja, yang berisi orang-orang profesional. Menteri yang berlatar belakang partai pun harus demikian. "Dia punya leadership dan integritas, kami panggil dia," kata Kalla.
Seorang sumber di lingkaran Jokowi mengatakan, dari 33 kursi menteri itu, ada 16 kementerian tetap, 7 kementerian dengan nomenklatur baru, 5 kementerian hasil penggabungan kementerian di periode kabinet sebelumnya, dan 4 menteri koordinator. Lalu, ditambah Jaksa Agung.
Adapun yang tetap antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Jokowi membentuk tujuh kementerian nomenklatur baru. Kementerian itu adalah Kementerian Komunikasi dan Informasi Publik, Kementerian Kedaulatan Pangan, Kementerian Kemaritiman, Kementerian Transportasi, Kementerian Pariwisata, Kementerian Perburuhan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Tata Ruang.
Adapun lima kementerian yang merupakan hasil penggabungan adalah, pertama, Kementerian Infrastruktur dan Perumahan Rakyat. Kedua, Kementerian Industri dan Perdagangan. Ketiga, Kementerian Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Keempat, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Pemuda, dan Olahraga; serta kelima Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Kementerian koordinator ada empat: Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Koordinator Ekonomi dan Sumber Daya Alam; Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Budaya; serta Kementerian Koordinator Ekonomi Maritim dan Lingkungan Hidup.
Menurut Jokowi, sebelum menetapkan satu orang terpilih untuk tiap pos, ada sejumlah nama yang masuk. Jumlahnya tak sama. Ada satu pos menteri yang punya lima calon, ada pula yang empat, tiga, atau dua. Selanjutnya nama-nama itu diperas menjadi satu. Awalnya Jokowi memilih daftar 200 orang calon menteri. Dari jumlah itu disaring lagi menjadi 100 orang, dan mengerucut lagi menjadi 50 orang. Selanjutnya, dipilih 33.
Jokowi menegaskan, kendati kabinet kerjanya berisi orang bersih dan profesional, itu saja belum cukup. Di tengah pemerintahan yang tidak didukung oleh suara mayoritas di parlemen, ia menyatakan membutuhkan menteri yang tangguh menghadapi serangan parlemen. "Saya kan petarung," kata Jokowi.
Di bidang ekonomi, misalnya, Jokowi mencari orang yang bersih dan profesional di bidang ini. Adapun untuk posisi Jaksa Agung, orang yang paling dicari adalah yang tegas dan jujur. Calon dari kalangan internal Kejaksan Agung bukan menjadi syarat utama. Dalam sejarahnya, Jaksa Agung memang pernah diisi orang luar, misalnya politikus Golkar, Marzuki Darusman; Andi Ghalib, yang berlatar belakang tentara; dan Abdul Rahman Saleh, yang berlatar belakang aktivis lembaga bantuan hukum.
Menurut Kalla, merombak Kejaksaan tidak sekadar butuh orang "gila" yang berani. Seorang Jaksa Agung, kata dia, juga harus mampu memimpin organisasi dengan 28 ribu pegawai. Karena itu, Kejaksaan juga butuh orang yang mengerti manajemen. Jaksa Agung, menurut Kalla, tidak langsung menangkap orang karena kewenangan itu ada pada kepala kejaksaan negeri. Jaksa Agung lebih untuk memperbaiki sistem. "Jaksa Agung bukan harus orang hebat, melainkan pemimpin yang bisa membuat organisasi berjalan baik," ujar Kalla.
Untuk kabinetnya itu, Jokowi juga mempertimbangkan faktor gender. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu periode kedua pemerintahan Yudhoyono-Boediono, ada empat perempuan. Jokowi-JK ingin mempertahankan jumlah itu, bahkan ingin menambah. "Banyak perempuan yang ahli di bidangnya," kata Kalla.
Untuk menyaring calon menterinya, Jokowi melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK memberikan penilaian atas orang atau keterlibatannya dalam suatu kasus. Menurut Wakil Ketua PPATK Agus Santoso, diserahkannya daftar nama calon menteri ke PPATK merupakan cermin niat serius Jokowi-JK mencegah masuknya mafia korupsi ke kabinet. Menurut Agus, Jokowi sendiri yang menyerahkan daftar calon menterinya. "Data rekam jejak itu sangat rahasia, dan di luar Jokowi tidak boleh melihatnya," kata Agus.
Menurut Jokowi, ia juga memakai informasi intelijen untuk menapis berbagai hal yang berkaitan dengan kinerja, sikap, dan integritas sang calon. "Kami punya intelijen sendiri untuk melihat rekam jejak mereka," kata Jokowi. Menurut Kalla, kabinet pemerintah Yudhoyono-Kalla 2004-2009 juga memanfaatkan Badan Intelijen Negara untuk merekam jejak calon menteri.
Supaya mendapat komposisi berikut orang yang pas, Jokowi dan timnya menyusun matriks yang menggambarkan orang dengan latar belakang daerah, agama, suku, dan lainnya. Menurut Kalla, itu penting untuk menjaga keseimbangan. "Jangan tiba-tiba semua menteri orang Jawa atau orang Bugis, nanti orang Kalimantan akan marah," kata Kalla sembari tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo