Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berdagang Lewat Bisik-bisik

Mereka mendapatkan barang dagangannya dari para pemasok, mengimpor langsung, atau memesan lewat internet.

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERJUALAN dildo dan alat bantu seks lainnya ternyata mirip berdagang narkoba. Mereka sering menawarkannya dengan bisik-bisik. Penjaja pun rata-rata memberikan jawaban samar-samar bila ditanya dari mana mereka memperoleh barang dagangannya.

Ambil contoh Charles, seorang pemilik toko di Jalan Gentengkali, Surabaya. Pedagang yang sudah menggeluti bisnis peranti seks sejak 1995 ini hanya menyebutkan bahwa barang didapatnya dari pusat grosir atau diimpor dari negara seperti Cina, Jepang, dan Amerika. Dia menolak mengungkapkan siapa pemasoknya dan di mana pusat grosir yang dimaksud berada.

Charles kemudian menjualnya lewat dua cara: memajangnya di toko atau menunggu pesanan lewat telepon. Para pemesan itu sangat tertutup. Begitu barang diantar ke alamat, yang menerima cuma pembantu di muka pintu gerbang rumah. "Uang pembelian pun diberikan lewat pembantu itu. Jadi, saya tidak tahu wajah pembeli," ujarnya.

Informasi yang gamblang juga susah didapat dari Heri, 45 tahun, bukan nama sebenarnya. Pemilik sebuah toko alat-alat seks di Daan Mogot, Jakarta Barat, ini mengaku, ada beberapa cara mendapatkan dan menjual dagangannya. Kebetulan, dia punya kerabat yang kerap mondar-mandir untuk urusan bisnis ke Hong Kong, Taiwan, dan Cina. Kepada si kerabat inilah Heri suka berbisik-bisik minta dibelikan obat-obat Cina dan aneka macam kondom, penis plastik, boneka, dan sebangsanya. "Sekali bawa bisa satu koper penuh," kata Heri. Sayang, Heri enggan mengungkapkan bagaimana cara si kerabat mampu lolos dari pemeriksaan bea cukai di bandar udara.

Selain itu, barang dagangan Heri diperoleh dari seorang pemasok langganan yang datang dengan jadwal tak menentu, terkadang rutin dua kali dalam sebulan, tapi pernah juga berbulan-bulan kemudian baru nongol. Sekali datang si pemasok biasanya membawa beberapa jenis aksesori sekaligus, dari kondom strawberry sampai tiruan vagina. Heri tidak selalu membelinya. Selain karena stoknya jarang habis, modalnya pun tak selalu berlimpah. "Baru saya ambil kalau barang memang sudah kosong atau memang sudah ada yang memesan sebelumnya," kata Heri, yang baru dua tahun membuka kios seks.

Dia mengaku tak tahu dari mana si pedagang mendapatkan barangnya karena ia sendiri tak merasa perlu menanyakannya. "Buat apa?" katanya. Bila suatu ketika membutuhkan satu jenis alat, sementara si pemasok tak kunjung datang, Heri punya cara lain. Ia mengontak rekannya sesama pemilik toko. Bila ternyata si rekan punya barang yang dimaksud, Heri pun tinggal minta dikirimi.

Pedagang yang ditemui rata-rata mengaku mendapatkan barang lewat bisik-bisik seperti Heri. Sebagian lagi membelinya langsung dari salah satu pedagang grosir di pusat perdagangan obat di kawasan Pancoran, Kota, Jakarta Barat.

Jalur lainnya lewat internet. Anto, bukan nama sebenarnya, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung yang beberapa kali memasok alat pemuas syahwat ke toko-toko, mengaku mendapatkannya lewat internet. Caranya? "Dengan carding," kata Anto. Carding adalah aktivitas membeli atau memesan barang di sebuah situs internet dengan menggunakan kartu kredit orang lain.

Di internet memang bertebaran situs yang menyediakan aneka keperluan menyalurkan hasrat biologis. Kebanyakan berjualan secara terang-terangan, tapi tak sedikit yang malu-malu. Yang model begini biasanya memakai kedok berjualan mainan atau cendera mata khusus. Yang dijajakan bukan hanya dildo alias penis tiruan, melainkan juga gambar dan film porno. Pengunjung yang berminat bisa memesan langsung memakai kartu kredit. Selanjutnya, barang akan dikirimkan ke alamat pemesan. Hebatnya, ada beberapa penjual yang berani memberikan iming-iming jaminan uang kembali bila pembeli tak puas.

Anto, juga para pembobol kartu kredit lainnya, menjual murah barang-barang jarahan dari internet itu ke toko-toko. Sebuah vagina buatan, misalnya, pernah dilepas Rp 500 ribu, padahal harga aslinya Rp 1,7 juta. Anto punya alasan tersendiri mengapa memilih cara semacam itu. "Kalau saya jual sendiri, kan, malu," katanya. Selain itu, konsumen toko sudah jelas.

Menurut Roy Suryo, pengamat multimedia yang rajin mengikuti kasus pembobolan kartu kredit lewat internet, modus yang dilakukan carder seperti Anto itu memang sudah biasa terjadi. Bahkan, tak cuma membeli aksesori, ada pula yang memesan obat-obatan "penyedap" aktivitas seksual seperti Viagra. Cuma, jumlahnya tidak banyak.

Roy menambahkan, favorit para carder sebetulnya bukan aksesori seksual, melainkan barang elektronik semacam komputer genggam (PDA), perhiasan seperti permata, atau aksesori sepeda motor semisal helm, kacamata, dan jaket, yang lebih gampang dijual dan peminatnya lebih banyak. Sebaliknya, aksesori seksual lebih sulit dijual dan pemasarannya pun harus di tempat khusus seperti sex shop.

Semua barang jarahan itu, termasuk aksesori seksual, kemudian dikirimkan ke alamat si pemesan melalui jasa pengiriman swasta (kurir) seperti Federal Express (FedEx) atau lewat kantor pos. Setelah itu, baru barang tersebut dipasarkan dari mulut ke mulut atau disalurkan ke toko yang bersedia membelinya.

Wicaksono, Adi Sutarwijono (Surabaya), Bobby Gunawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus