Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANGAN itu amat sempit. Ukurannya cuma 3 x 2 meter. Bukan main pengapnya. Kebetulan siang itu udara di sepanjang Jalan Casablanca, Jakarta, sedang galak. Ruangan tersebut kian terasa sempit karena dijejali segala macam barang, kasur dan bantal yang lusuh, pesawat televisi berukuran 14 inci, pemutar video compact disc, serta sebuah pesawat telepon. Tapi, yang menonjol, bahkan tampak dari pinggir jalan, adalah sebuah etalase kaca yang menjarah separuh ruang.
Seketika dari balik etalase setinggi pinggang itu muncul tampang lusuh pemuda berusia 20-an tahun. Rupanya, dia sedang tidak enak badan. Sebuah kipas angin yang semestinya membuat udara segar malah menyebarkan aroma balsem ke mana-mana. Tapi Dayat (bukan nama sebenarnya), pemuda itu, seolah tak peduli. Dia tetap yakin bahwa rezeki akan terus mengalir lewat barang-barang di etalase kaca yang dijaganya setiap hari.
Barang yang dipajang Dayat memang istimewa. Di bagian atas etalase berderet berbagai bentuk botol kecil dan pil-pil yang dikemas dengan kertas dan plastik bergambar seronok. "Ini obat perangsang," katanya, sambil membersihkan debu yang menempel di kemasannya yang sudah pudar warnanya. Cairan dalam botol kecil itu bermerek Spanish Fly dan Drop Sex New Formula, obat perangsang yangkatanyabisa membuat kaum hawa tiba-tiba mabuk seks. Gambarnya pun menantang mata. Ada sejoli dengan pose seolah tengah berhubungan badan.
Masih di rak yang sama, berderet benda-benda lonjong dengan bentuk dan warna mencolok. Ada juga yang berwarna bening dengan bintil di sekujur tubuhnya. "Itu namanya kondom lele," kata Dayat sambil tersenyum. Tanpa diminta TEMPO, yang menemuinya pekan lalu, dia juga menjelaskan khasiat benda bermerek Temptation of Sex, sebuah karet berbentuk ring dengan bintil-bintil perangsang yang biasanya dipakai di pangkal atau ujung penis.
Cuma itu? Tentu tidak. Dayat masih punya barang bagus yang disimpan di bagian bawah etalasenya. Masih dibungkus rapi, beberapa bentuk penis buatan bertumpuk di situ. Satu yang sangar penampilannya, sebatang penis buatan alias "dildo" kira-kira sepanjang 30 sentimeter dari bahan silikon yang memiliki dua buah kepala penis. Dari kotak pembungkus itu ketahuan benda itu bernama double enjoy. "Mainan begitu bisa dipakai untuk dua orang wanita sekaligus," kata Dayat, kali ini sambil mengunyah tawa.
Di belantara Jakarta, kios seks yang dijaga Dayat bukanlah satu-satunya. Di sepanjang Jalan Casablanca itu, dari arah Pondok Bambu di Jakarta Timur hingga jalan itu berakhir di Jalan Sudirman di Jakarta Selatan, kios serupa berderet kayak pagar. Lokasinya sering kali di permukiman, dekat kampus, atau bersebelahan dengan rumah ibadat. Bentuknya hampir seragam, kumuh dan pengap. Dan yang khas, di depan pintu mereka terpajang kata-kata seragam: obat kuat, pil biru, plus nama-nama berbau Cina. Apa saja, seperti A Wha, Huan Zhu, ataupun A Chiang dengan huruf besar. Intinya, mereka menjajakan barang-barang yang menjanjikan kepuasan seksual.
Mesti diakui, toko semacam itu sebagian sudah lama ada. Tapi sebagian besar jenis barang yang dipajang, termasuk dildo dan juga peranti buat pemuas laki-laki, terbilang baru. Pun penyebarannya yang meluas pada hampir tiap jengkal Ibu Kota baru dalam beberapa tahun terakhir saja terjadi, seiring munculnya era reformasi, era keterbukaan dalam segala sisi kehidupan, termasuk urusan seks. Jangan lupa, bisnis jenis ini masuk dalam deretan usaha yang tak runtuh dihantam paceklik ekonomi.
Tidak sebatas di sepanjang Jalan Casablanca, di ruas berbagai jalan lain di Jakarta juga berjejal kios-kios seks. Lihatlah di sepanjang Jalan Raya Bogor di Jakarta Timur, Jalan Ciputat Raya di Jakarta Selatan, ataupun kawasan Senen di Jakarta Pusat. Tengok pula lapak-lapak penjual alat bantu seks yang muncul malam hari di bilangan Jatinegara, Tanah Abang, dan kawasan Kota.
Walau warung-warung seks tersebut tampak kumuh, bukan berarti pelanggannya utamanya kalangan bawah. Yang sering mampir ke kios semacam itu justru orang-orang bermobil keren. Paling banyak orang membeli Viagra, kendati kadang-kadang ada juga yang membeli alat bantu seks. "Saya baru dua kali membeli Viagra setelah diberi tahu khasiatnya oleh seorang teman," ujar Agus, 39 tahun (nama samaran), seorang wiraswastawan di Jakarta Selatan.
Di kota-kota besar lainnya seperti Medan dan Surabaya, kios seks semacam itu juga merebak belakangan ini. Di Medan, misalnya, bisa dijumpai di sepanjang Jalan Sisingamangaraja Medan, Jalan Binjai, dan Jalan Jenderal Jamin Ginting. Seperti juga di Jakarta, biarpun namanya sex shop, setidaknya nama ini sering dipasang di papan nama atau kartu nama, jangan bandingkan dengan keadaan kios seks di kota-kota besar di Eropa dan Amerika Serikat. Selain terkesan kumuh, tampilan barang-barang yang dipajang lebih kasar dibanding produk sejenis yang ditawarkan di berbagai situs seks di internet.
Mengapa kehadiran kios seks baru belakangan terasa? Menurut Ferryal Loetan, seorang ahli terapi seks, fenomena itu tak bisa dilepaskan dari perubahan yang terjadi di masyarakat selama era reformasi. Bukan cuma urusan politik, perilaku seksual orang kini lebih blak-blakan. Apalagi, mereka mendapatkan fantasi baru setelah membaca majalah erotis atau menonton film-film lewat VCD yang asli ataupun bajakan. "Sesudah menonton film atau melihat gambar di majalah, mereka cenderung untuk mewujudkan fantasinya," tutur Ferryal.
Biar fantasi terwujud, mereka sering kali tak mempedulikan harga. Barang-barang nyentrik yang dijual itu memang tidak murah. Harga vaginator yang terbuat dari silikon plus vibrator yang membuatnya bisa berdenyut-denyut adalah Rp 200 ribu hingga Rp 900 ribu. Sedangkan boneka seks, boneka yang menyerupai wanita, dilepas dengan harga di atas Rp 1 juta.
Salah satu orang yang gandrung adalah Freddy, pengusaha aksesori mobil di Medan. Awalnya, lelaki beranak dua ini cuma iseng kepingin tahu barang-barang yang dijual. Ternyata, hatinya kepincut pada sebuah boneka buatan berwajah Eropa yang harganya Rp 1,7 juta. Eh, cocok. "Ternyata setelah dipraktekkan tak kalah enaknya dengan yang asli," katanya sambil cengar-cengir. Ketahuan sang bini, dia sempat mengaku tak enak hati. Tapi setelah dijelaskan dan punya dalih sedapdaripada jajanistrinya pun maklum. Toh, Freddy ketagihan. Saat ini koleksi benda-benda anehnya telah mencapai delapan buah.
Berlebihankah? Dede Oetomo, seorang sosiolog, memandang hal ini sebagai gejala biasa. Kios seks tak perlu ditakuti. Dalam bahasa yang sederhana, maraknya sex shop itu tak berbeda dengan banyaknya penjual jamu, pedagang kaki lima, atau salon kecantikan. (Lihat kolom Kios Seks.)
Namun, Ferryal Loetan melihat lebih jauh lagi. Fenomena maraknya warung seks ini tak lepas dari masalah seks kebanyakan orang Indonesia sendiri. Keluhan yang paling banyak diderita adalah ejakulasi dini atau impotensi ringan. "Karena malu, toko-toko itulah yang menjadi tempat pelarian mereka," katanya.
Pendapat yang tidak keliru. Faktor utama orang lari ke sex shop memang karena munculnya masalah seks dalam perkawinan mereka. Salah satu pelakunya adalah nyonya cantik berkulit putih bersih yang mengaku bernama Yeni. Dengan mengendarai mobil Kijang, dia tak sungkan masuk ke salah satu kios seks di kawasan Tunjungan, Surabaya. Semula, dia mengaku mencarikan kondom untuk suaminya. Tapi lama-lama Yeni juga tertarik membeli dildo, yang dioperasikan bersama suaminya. "Kami memakainya berdua untuk menambah keharmonisan," ujarnya terus terang. Dengan kata lain, memang ada masalah dengan organ penting suaminya.
Lain lagi dengan David, orang Surabaya juga. Pria ini, yang acap kali memesan barang-barang unik tersebut lewat telepon, mengaku membutuhkan alat bantu seks untuk melakukan pemanasan sebelum bertempur sesungguhnya. Untuk warming-up itu, dia membutuhkan seperti alat perangsang berupa kondom bergerigi atau penis bergetar.
"Tapi, saat 'main', tetap normal tanpa alat-alat itu," tuturnya.
Kebutuhan orang-orang seperti itulah yang langsung disergap kalangan yang memiliki urat bisnis peka. Tak cukup dengan memampangkan huruf-huruf besar di depan tokonya, mereka juga memesan tempat di kolom-kolom dan halaman surat kabar dan majalah dengan menaruh nomor telepon mereka yang bisa dihubungi. Layanan antar pun mereka sediakan. Langkah ini dilakukan untuk menjaring pelanggan yang malu-malu kucing. "Setiap bulan saya mengeluarkan dana Rp 2 juta untuk iklan," tutur Charles, pengelola kios seks di kawasan Gentengkali, Surabaya.
Dengan cara itu, halangan malu bisa tabrak. Kalangan wanita biasanya melakukan transaksi dengan cara menelepon. Kebanyakan dari mereka bukan mencari alat-alat ekstrem, melainkan benda-benda yang bisa mempercantik dirinya. "Biasanya yang dibeli adalah pembesar payudara, pemutih, atau pengharum vagina," seorang penjual memaparkan.
Berjualan alat-alat dan obat seks memang cepat mendatangkan untung. Apalagi, dalam pendiriannya tidak diperlukan banyak syarat. Yang penting asal punya duit. "Karena label kita menjual obat kuat dan kesehatan, kita ndak memerlukan izin," kata Yudi, 36 tahun, pria asal Kudus yang membuka toko dengan nama Futseng sejak setahun lalu di Medan. Soal tempat, gampang saja. Cukup dengan duit Rp 3 juta, mereka sudah bisa mendapat tempat strategis di tepi jalan raya.
Kalaupun harus keluar fulus lebih, paling juga biaya-biaya siluman yang lumrah dalam bisnis. Menurut seorang pelaku bisnis, biaya itu biasanya disetor ke para oknum dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, yang biasanya suka melihat-lihat dagangannya. Tapi, kalau dianggap tidak macam-macam, ya, sudah beres.
Pihak lain yang perlu disumpal duit adalah oknum dari kepolisian, yang biasanya suka memeriksa apakah barang-barang seperti narkotik atau psikotropika ikut dijual di sana. Tapi, kalau tidak ada, aman-aman saja. Terkadang sewaktu-waktu orang dari kedua instansi ini memeriksa ke toko seksnya ini. "Apa sih yang tidak bayar sekarang ini," katanya. Setoran ini penting. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk menghindari penggerebekan.
Dari mana mereka mendapatkan barang dagangan? Umumnya dari sejumlah distributor yang berlokasi di kawasan Kota, Jakarta. "Kalau sudah kenal, biasanya si importir hanya mencatat nomor telepon toko kita dan di mana alamatnya," kata Jono (bukan nama sebenarnya), seorang penunggu warung seks di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat. Jono merupakan orang yang beroleh sukses dari bisnis seperti ini. Pria lulusan sebuah madrasah aliyah di Surabaya, Jawa Timur, ini akhirnya mendirikan kios sendiri setelah empat tahun sebelumnya bekerja di tempat karibnya, yang memiliki toko seks di bilangan Pasarminggu, Jakarta Selatan.
Menurut Jono, tak sulit masuk ke bisnis ini. Modalnya cuma kesabaran dan kepintarannya melipat-lipat lidah untuk menarik pembeli, kendati dia belum tahu pasti khasiat barang yang dijualnya. Simak saja nasihat tentang khasiat Viagra. "Syaratnya, sesudah minum Viagra jangan minum air putih, bisa-bisa tak ada efeknya," katanya.
Benarkah? Itulah yang susah dibuktikan. Repotnya lagi, keberadaan warung seks ini seperti sampan di tengah laut, dibiarkan mengambang tanpa ada satu pun pihak yang mengawasinya secara serius. Menilik dari barang-barang yang dijualnya, yakni obat-obatan, menurut Ferryal Loetan, semestinya Badan Pengawas Obat dan Makanan yang harus rajin mengawasi warung-warung ini. Namun, Sampurno, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan, mengaku tak ada kewenangan menindak mereka selain menganjurkan masyarakat agar jangan mudah tergoda oleh iklan yang menggiurkan.
Dari hasil investigasi Badan POM, hampir semua barang yang dijajakan di kios itu tidak punya khasiat seperti yang dijanjikan. Semisal Oil of China, yang dipercaya bisa memperbesar ukuran penis. Setelah diteliti, ternyata minyak oles itu tak ada bedanya dengan minyak jarak
Meskipun lembaga itu tidak memiliki data korban akibat berbagai obat dan alat seks yang dijual di kios seks semacam ini, bukan berarti fenomena ini tak punya buntut. Di kamar prakteknya, Ferryal Loetan menerima pasien yang mengaku perabotnya tak lagi berfungsi meskipun sudah menenggak Viagra. Setelah diusut, ternyata keluhan itu muncul karena kelebihan takaran.
Sebelum semakin banyak orang menjadi korban fantasinya sendiri, ada baiknya Departemen Kesehatan, lewat Badan POM, turun tangan. Perubahan perilaku seks masyarakat memang susah dibendung, tapi obatan-obatan ataupun peralatan yang biasa dipajang di kios seks bisa diawasi, dan disingkirkan jika memang terbukti berbahaya.
Irfan Budiman, Agus S. Riyanto, Ardi Bramantyo, Adi Sutarwijono (Surabaya), Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo