Sosok wanita bertubuh montok dan berpantat mencolok dalam balutan busana ketat. Dan guratan-guratan lukisan itu seakan memperlihatkan wanita itu bergerak, bergoyang, melakoni "gerakan ngebor" yang populer. Di sekitar dia, 15 sosok laki-laki bersarung, sebagian kepalanya dibelit jubah, sebagian bersongkok putih atau hitam. Mereka duduk bersila melingkari si penari, menatapnya. Salah satu sosok laki-laki yang bersila lalu diberi tanda panah dan tulisan: "Aku." Di bagian bawah kiri dekat tanda tangan pelukis, tertera judul Berdzikir Bersama Inul.
Lukisan karya K.H. Ahmad Mustofa Bisri, 58 tahun, itu tentu merupakan salah satu lukisan yang sering diamati banyak pengunjung pameran seni rupa di Masjid Al-Akbar, Surabaya, yang baru dibuka Selasa pekan lalu. Pameran bertema Memperindah Kehidupan, yang akan berlangsung hingga 8 Maret itu, melibatkan karya pelukis lain: Amang Rahman Jubair (almarhum), Danarto, Djoko Pekik, Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, dan tujuh perupa muda lain. Masing-masing menyertakan 3 hingga 12 karyanya.
Lukisan Inul, sebut saja begitu, berukuran 40 x 60 cm, diciptakan pada 2003 untuk merespons heboh di kalangan ulama Indonesia menyangkut goyangan Inul, penari dangdut asal Jawa Timur yang dinilai erotis, mengundang berahi. "Itu simbol bahwa ternyata manusia Indonesia menyukai daging," kata Gus Mus, panggilan akrab Mustofa Bisri. Namun kiai yang dikenal sebagai penyair dan sufi ini menghindari polemik moral menyangkut goyangan erotis. Melalui lukisan Inul, Gus Mus bermaksud mengolok kecenderungan manusia Indonesia pada penikmatan ragawi dan mengajak manusia untuk mengingat Tuhan. "Silakan menyukai daging, tapi ingat roh juga," kata Gus Mus.
Lukisan yang sangat kontekstual itu meletikkan respons yang beragam dari pengunjung pameran. Tak jarang mereka mengerutkan jidat untuk mengerti maksud pelukisnya. Tak jarang juga sebagian mereka meninggalkan lukisan sembari tersenyum geli. Ada unsur kejenakaan dalam lukisan Inul, karena Gus Mus pun mengolok-olok dirinya sendiri di antara para kiai yang "menatap" goyangan. "Inul bisa salah. Semua orang bisa saja salah, termasuk saya," kata Gus Mus.
Kecenderungan jenaka dalam tradisi seni rupa kalangan muslim sangatlah jarang. Gus Mus termasuk pelukis yang jarang itu, selain Danarto, pelukis asal Sragen, Jawa Tengah, yang juga dikenal sebagai penulis fiksi, termasuk yang bertema metafisika dan sufisme. Lihat karya Danarto berjudul Gitu Aja Kok Repot dalam pameran ini. Sesosok makhluk bersayap enam, berambut gondrong, mengenakan sarung dan kaus sedang membisiki telinga Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Presiden RI keempat yang mengenakan setelan jas hitam, berdasi, dan berpeci itu tertawa lepas mendengar bisikan makhluk yang mengingatkan orang pada Malaikat Jibril.
Gus Dur dan ucapan gitu aja kok repot adalah bahan yang lucu. Di tangan Danarto yang suka humor, kelucuan itu semakin kental: sesosok malaikat membisiki telinga Gus Dur dengan tangan kiri menutupi wajah. Lukisan berukuran besar 260 x 210 cm dengan media cat minyak itu diklaim Danarto sebagai lukisan terlucu di Indonesia sepanjang sejarah. "Bahkan mungkin di dunia," kata Danarto tergelak.
Danarto mungkin berlebihan, tapi mengusung tema agama yang sensitif, terutama Islam, dengan pendekatan jenaka, terbilang berani. Maklum, selain kalangan muslim senirupawan belum mampu merumuskan definsi seni rupa Islam—sebut saja begitu—resistensi di kalangan ulama literalis terhadap seni rupa masih kuat. Masih banyak orang yang melarang untuk melukis sosok manusia, kata Henry Nurcahyo, penulis budaya, dalam kata pengantar katalog pameran itu.
Sejarah seni rupa Indonesia yang maunya dibungkus label Islam masihlah muda. Henry menulis bahwa tahun 1991, ketika Festival Istiqlal I di Jakarta diselenggarakan, perdebatan menyangkut seni lukis Islam berkutat pada pertanyaan apakah lukisan di luar kaligrafi Arab bukan termasuk seni lukis Islam. Untuk kepentingan kuratorial, definisi kemudian muncul bahwa batasan paling mendasar untuk mengkategorikan sebuah karya sebagai lukisan Islam, bahwa pelukisnya haruslah seorang muslim.
Sosok seni rupa Islam lebih gamblang pada Festival Istiqlal II di Jakarta pada 1995. Kungkungan sempit bahwa seni rupa Islam hanya seputar kaligrafi sudah betul-betul mencair. Lukisan tak hanya mengangkat tema transendental, juga sosial. Festival Istiqlal II dianggap memelopori Gerakan Seni Rupa Islam Kontemporer di Indonesia dan berdampak ke beberapa negara jiran.
Waktu berlalu, dan tahun ini, ketika gerakan reformasi menginjak usia empat tahun, dan ketika tema Islam liberal sedang berkibar-kibar, paradigma seni rupa Islam yang kaku tampaknya tak lagi relevan. Lihat pameran seni rupa untuk merayakan tahun baru Islam di Masjid Al-Akbar tersebut. Tema lukisan dan aliran yang disuguhkan begitu beragam. Selain kaligrafi seperti karya almarhum Amang Rahman, ada Zawawi Imron, yang menggoreskan kuas lembut memakai teknik lukisan Cina dengan obyek-obyek binatang dan pemandangan alam. Ada Acep Zamzam Noor, yang menampilkan lukisan-lukisan berupa wajah manusia yang murung.
Bahkan Djoko Pekik, pelukis asal Jogja, yang dikenal beraliran sosialis-realis, ikut memamerkan karyanya, Pengkhianat Revolusi dan Ulat-ulat Sutra. Kesertaan Djoko Pekik bukan tak disadari Gus Mus, sebagai pihak yang mewakili konsep pameran yang diselenggarakan Duta Masyarakat, koran yang berafiliasi ke Partai Kebangkitan Bangsa dari sayap Islam tradisional. Tapi itu semua mengajak kita menyaksikan jerawat yang bersembulan di wajah ini, lalu mempersilakan menertawakan diri.
Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini