Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDADAK kantor pos di seluruh Indonesia menjadi pusat keramaian, Sabtu pekan lalu. Ribuan orang berduyun antre menebus Rp 300 ribu dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) yang dijanjikan pemerintah. Dana itu diberikan kepada rakyat miskin sebagai subsidi ganti rugi karena pengeluaran mereka meningkat dengan naiknya harga BBM.
Pemerintah telah mencairkan dana subsidi tunai langsung itu sebesar Rp 1,7 triliun. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Sri Mulyani, mengatakan dana itu dicairkan Departemen Keuangan atas permintaan Departemen Sosial, kemudian disalurkan ke kantor cabang Bank Rakyat Indonesia dan PT Pos Indonesia.
Hingga akhir tahun, total dana subsidi langsung yang akan dicairkan mencapai Rp 4,65 triliun. Dana ini akan dibagikan kepada 15,5 juta keluarga melarat. Kantor pos menjadi ujung tombak penyaluran di seluruh Indonesia, sampai ke desa paling terpencil.
Di Jakarta, Sekretaris Wilayah Kantor Pos Wilayah VI, Suharto, mengatakan siap mencairkan dana itu. Di seluruh Ibu Kota, katanya, ada sekitar 101 ribu pemegang kartu kompensasi. Mereka bisa datang langsung ke kantor pos terdekat, mengencerkan kartu dengan tujuh pengaman itu menjadi duit.
Dia yakin tak akan ada masalah dalam pencairan, karena seluruh kartu sudah didistribusikan. Kartu dibagi tak hanya oleh kantor pos. Badan Pusat Statistik juga meminta bantuan perangkat kabupaten dan kota madya untuk mendistribusikannya. Penerima kartu terbanyak berada di Jakarta Timur dan Jakarta Utara.
Di kota besar seperti Jakarta, masyarakat bisa mengambil langsung ke kantor pos. Tapi, bagaimana dengan penduduk miskin di daerah terpencil yang jauh dari kota kecamatan, tempat kantor pos terdekat biasanya berada? Di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, misalnya, ada sebuah desa yang berjarak 20 km dari kota kecamatan.
Desa itu bernama Sumberbendo di Kecamatan Saradan. Desa yang tersuruk di dalam hutan jati ini punya jalan, tapi tak beraspal. Penduduknya rata-rata sangat miskin sehingga kalau hendak ke kota kecamatan mereka harus jalan kaki mendaki gunung dan menyusuri hutan.
Kepala Desa Sumberbendo, Arif Efendi, memastikan, kalau harus mengambil di kantor pos, penduduknya pasti akan berjalan kaki. Mereka tak mampu membayar ojek atau ongkos angkutan lainnya. Dengan berjalan kaki, kota kecamatan baru bisa dicapai paling tidak dalam lima jam.
Pemerintah Kabupaten Madiun, camat, kepala desa, Kepala BPS, dan PT Pos Induk Madiun akhirnya mengambil jalan tengah. Pencairan akan dilakukan di desa masing-masing dengan bantuan lurah dan perangkat desa lainnya. BRI akan menyalurkan uang ke PT Pos. Tim PT Pos akan mendatangi warga di balai desa bersama perangkat desa tersebut.
Humas PT Pos Induk Madiun, Winarko, mengatakan hanya bisa menyediakan 30 tenaga yang dibagi menjadi 15 tim untuk mencairkan di setiap desa. Di kota yang terkenal dengan makanan brem itu, ada sekitar 55 ribu rumah tangga miskin.
Kepala Badan Pusat Statistik Madiun, Sugiharto, mengatakan dari jumlah itu tak semua mendapat bantuan. Pemerintah pusat masih akan membagi mereka dalam kelompok hampir miskin, miskin, dan sangat miskin. Orang di Jakarta juga yang akan memutuskan siapa di antara para orang tak punya itu yang berhak mendapat uang ”kemahalan”.
Sehari menjelang pencairan, Sugiharto belum mendapatkan nama warga yang berhak menerima ganti rugi. Ketika dikonfirmasi ke Jakarta, jawaban yang diterimanya adalah: daftar penerima baru akan dikirim pada 6-8 Oktober. ”Menurut instruksi pusat, pencairan baru tanggal 11 Oktober,” katanya. Di Jawa Timur, katanya, hanya di Surabaya yang pencairannya pada 1 Oktober.
Sementara di Madiun perangkat desa bersedia menyalurkan dana kompensasi, di Kota Solo lurah menolaknya. Bukan takut capek, tapi mereka khawatir digugat warga yang tak mendapat bantuan. Soalnya, sejak awal mereka tidak dilibatkan dalam mendata warganya. Heriyanto, Kepala Kelurahan Sriwedari, Solo, mengatakan 51 kelurahan di Kota Solo punya data keluarga miskin. Sedangkan data yang digunakan saat ini berasal dari BPS. ”Bagaimana kami menjawab kalau masyarakat menggugat tidak mendapat kartu kompensasi padahal tergolong miskin?” katanya.
Kepala BPS Solo, Karyanto, mengatakan sebenarnya sudah melibatkan kelurahan. ”Petugas pendataan yang dibentuk BPS dari warga kelurahan setempat.” Jika ada yang terdaftar, katanya, hanya kesalahan cetak.
Di Palembang, Kepala Kantor Pos Besar Palembang, Triono Tjahya, juga mengatakan siap mencairkan dana tebusan itu. Hanya, dia meminta penerimanya tidak antre dan berdesakan. ”Waktunya panjang kok, dari 1 0ktober sampai 31 Desember 2005,” katanya kepada Arif Ardiansyah dari Tempo.
Dia mengatakan akan kewalahan kalau semuanya datang serempak. Dengan 12-14 kantor perwakilan, tak seimbang dengan jumlah penerima yang jumlahnya mencapai 84 ribu kepala keluarga. Dia berharap masyarakat tak mewakilkan untuk mengurangi antrean.
Di Tangerang, ada 181 ribu keluarga miskin yang berhak atas bantuan itu. Kepala Pos Tangerang, Erinaldi, kepada Joniansyah dari Tempo mengatakan kartu sudah dibagikan oleh Badan Pusat Statistik. Pemegang kartu bisa datang ke kantor pos terdekat pada 5-10 Oktober mencairkan dananya. Kantor pos di daerah ini menyiapkan 39 lokasi pencairan.
Mekanisme penyaluran kelihatannya terang-benderang. Namun, rakyat miskin di Wonogiri, Jawa Tengah, masih belum memahami mekanisme pencairan dana kompensasi itu. Sehari menjelang pencairan, mereka tak yakin akan menerima dana subsidi meski sudah pernah didata. Mereka juga belum memegang kartu tebusan.
”Kami tak diberi kabar apakah akan menerima uang itu,” kata Katino, 50 tahun, warga Desa Dawe, Kecamatan Wuryantoro, Wonogiri. Dia pun tak tahu cara menebusnya. Ayah dua anak, penggali batu padas, ini mengatakan banyak tetangganya yang sudah didata juga bertanya-tanya.
Suradi, tetangga Katino, mengatakan, kalau memang mendapat bantuan, mereka harusnya diberi tahu cara mencairkannya. Mereka geleng kepala ketika ditanya apakah mengetahui bahwa pencairan dilakukan di kantor pos yang jaraknya 13 km dari tempat mereka tinggal. ”Saya pikir di balai desa,” kata Suradi.
Pengurus RT dan RW Desa Dawe, Wonogiri, juga tidak memahami. ”Kami ndak paham,” kata Sutrisno, Ketua RW Sendangrejo, Baturetno, Wonogiri. Padahal, dari 46 kepala keluarga di desanya, 40 termasuk miskin. Sutrisno khawatir situasi ini bisa memicu konflik. Apalagi, sampai Jumat pekan lalu, belum ada warga yang memegang kartu kompensasi.
Kepala Kantor Pos Wonogiri, Irfandi, juga belum tahu pasti jumlah dana yang akan dibagikan. Hingga kini dia belum menerima uang tunai dan kartu miskin. ”Berapa jumlah penerimanya, saya belum tahu, apalagi uangnya,” katanya. Dia belum pernah melakukan sosialisasi karena tak ada petunjuk jelas.
Menurut informasi yang diterimanya, di tahap awal, pencairan akan dilakukan di kota besar seperti Solo dan Semarang. Dana di desa di pinggiran kabarnya baru akan dicairkan pada 11 Oktober. ”Tapi saya tak tahu persis,” katanya.
Belum turunnya uang ganti rugi itu diakui pimpinan cabang BRI Wonogiri, Biyantoro. ”Saya tidak tahu kapan cairnya, dan kenapa sampai sekarang belum dikirim ke sini,” tuturnya.
BPS Wonogiri mencatat sekitar 77 ribu keluarga di daerah itu. Kepala BPS Wonogiri, Sri Aryanto, mengatakan sudah mengusulkan seluruhnya mendapat bantuan. Tapi sampai Jumat pekan lalu, sehari menjelang pengucuran, dia belum tahu berapa yang akan menerima.
Leanika Tanjung, Maria Ulfah (Jakarta), Rohman Taufiq (Madiun), Anas Syahirul (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo