Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAYA tahan industri nasional kini benar-benar sedang diuji. Pemerintah tak lagi menyediakan bahan bakar minyak bersubsidi buat sektor ini. Akibatnya, biaya pembelian BBM yang harus dikeluarkan kalangan industri melonjak drastis.
Sepanjang tahun ini, sudah dua kali PT Pertamina menaikkan harga BBM untuk industri, yaitu pada Maret dan Agustus lalu. Kenaikan paling mencolok terjadi pada 1 Agustus lalu. Saat itu, solar, misalnya, naik drastis sekitar 150 persen dari Rp 2.200 menjadi Rp 5.480 per liter.
Kebijakan ini harus ditempuh sebagai upaya mengurangi beban subsidi BBM yang terus membengkak akibat terus membubungnya harga minyak dunia. Tak ada jalan lain. Pertamina memang harus menjual BBM kepada industri sesuai dengan harga minyak di pasar internasional.
Pukulan beruntun ini tentu bukan perkara enteng. Sejumlah industri bahkan dibuat sempoyongan. Sebab, kenaikan harga BBM secara bertubi-tubi telah mendongkrak ongkos produksi sedikitnya rata-rata 10 persen.
Menurut ekonom Citigroup, Anton Gunawan, industri semen terbilang yang terkena dampak paling parah. Soalnya, biaya energi yang harus dikeluarkan di sektor ini mencapai 46 persen dari seluruh biaya produksi. Sektor industri lainnya yang juga kena imbas terbesar adalah industri batu bara (25 persen), mebel (22 persen), dan tekstil (12 persen).
Manajer Komunikasi PT Semen Cibinong, Monika Irayati, mengakui beban pengeluaran yang harus ditanggung perusahaannya kian berat. ”Biaya bahan bakar (solar, batu bara, dan listrik) mencapai 40-45 persen dari total biaya produksi,” katanya tanpa menyebutkan berapa beban produksi untuk BBM saja. Karena itu, ”Tentu harus ada kenaikan harga jual (semen).”
Jika dikalkulasi secara keseluruhan, Anton mengatakan, porsi komponen BBM dari total biaya produksi pada industri sekitar 6,6 persen.
Bagi industri tekstil, kenaikan harga BBM kian memperparah kondisinya yang memang sedang loyo. Sepanjang tahun ini saja, kenaikan biaya produksinya mencapai 33 persen. Ini membuat tingkat produksi menurun 50 persen hingga 100 persen.
”Mayoritas industri tekstil dan produk tekstil sekarang sudah kehabisan stamina karena ‘dipukul’ dari mana-mana,” kata Lili Asdjudiredja, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat.
Kondisi ini tentu amat mengkhawatirkan. Sebab, menurut data API, sepanjang tahun ini saja hingga September lalu pabrik skala menengah dan besar yang bangkrut mencapai 95 pabrik. Akibatnya, 99.350 buruh kehilangan pekerjaan.
Khusus di Jawa Barat, hingga September lalu sudah 37 pabrik skala besar dan menengah, serta 111 industri kecil, yang bangkrut. Buntutnya, sekitar 50 ribu karyawan kehilangan pekerjaan.
Ade Sudrajat, Wakil Ketua API Jawa Barat, menyatakan hingga akhir tahun nanti perusahaan tekstil skala besar dan menengah yang bangkrut bisa mencapai 65 pabrik. Sebanyak 28 pabrik kini bahkan tengah melakukan pemutusan hubungan kerja secara bertahap, sebelum akhirnya menutup pabriknya.
Kondisi serupa terjadi di Jawa Tengah. Menurut Ketua API Jawa Tengah, Djoko Santosa, di provinsi ini sudah puluhan pabrik yang bangkrut. ”Kenaikan harga BBM memperparah kondisi industri tekstil,” katanya. Dan jika keadaan makin buruk, pabrik tekstil di Jawa Tengah, yang jumlahnya mencapai 700 pabrik, bisa setengahnya gulung tikar.
Untuk meringankan beban itulah, pemerintah Jumat lalu mengumumkan berbagai paket insentif yang akan diberikan buat industri. Insentif yang disodorkan mencakup bidang perpajakan, perdagangan, dan perhubungan.
Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, M.S. Hidayat, paket insentif memang harus diberikan pemerintah. Jika tidak, banyak perusahaan akan sulit bertahan. ”Dalam tiga bulan bisa kolaps,” katanya.
Rinny Srihartini, Budi Riza, Ahmad Fikri (Bandung), Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo