Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CINDERELLA MAN Sutradara: Ron Howard Skenario: Akiva Goldman Pemain: Russell Crowe, Renee Zelwegger
Dia seorang ayah yang mencintai ketiga anaknya, seorang suami yang setia, seorang kepala keluarga yang tidak bersedia menitipkan anaknya dalam keadaan semiskin apa pun, dan bagi dunia, dia adalah James Braddock, seorang petinju dahsyat.
Film ini dimulai di New York pada tahun 1928, ketika James Braddock (Russell Crowe) dikenal se-bagai se-orang petinju yang menguasai ring tinju dengan layangan tangan kanannya. Jab! Hidup Braddock saat itu sungguh makmur, dengan gelas kristal, rumah yang asri, dan Mae (Renee Zelwegger) istri cantik yang mengurus anak-anaknya. Kamera kemudian bergerak, berpindah beberapa tahun kemudian ke sebuah rumah yang lebih suram. Pemiliknya sama: keluarga Braddock yang ikut muram ketika Amerika dan dunia dirundung depresi tahun 1930-an-. Saat Amerika diterjang depresi ekonomi, masa jaya James Braddock juga ikut redup. Tangannya patah, dia ber-tinju sebisanya, demi sesuap nasi. Lisensinya bahkan dicabut karena dia dianggap tak mampu lagi meniupkan gelora kemeriahan penonton yang haus darah itu.
Kemudian sutradara Ron Howard menggerus segala emosi. Cinderella Man bukan sekadar judul yang ingin mengeruk air mata, tetapi memang itulah sebutan bagi James Braddock, sang petinju yang dianggap sebagai underdog Irlandia yang kemudian hi-dup sebagai buruh kasar dan bahkan rela mengemis dari teman-temannya ketika anak-anaknya dihajar demam tinggi. Emosi penonton kemudian semakin dirobek-robek ketika penulis skenario Akiva Goldman memperlihatkan betapa Braddock mempertahan-kan kejujurannya dan menasihati anak-nya agar ”jangan pernah kamu mencuri” meski perut mereka sudah kosong berhari-hari.
Kehidupan melata itu digambarkan tanpa air mata, dan tanpa seseng-gukan ala telenovela. Tetapi hidup nyata Braddock sendiri memang sudah cukup fenomenal untuk mencipta-kan banjir air mata. Ron Howard menyadari itu.
Apalagi, dengan aktor Russell Crowe sebagai Braddock yang tampil amat simpatik, maka sulit bagi penonton untuk tidak membelanya habis-habisan saat dia ditawari melawan Max Baer, seorang petinju yang dikenal sudah pernah menewaskan dua orang lawan-nya di atas ring. Untuk Braddock, menari di atas ring hanyalah dilakukan agar ”saya bisa meletakkan susu di atas meja” (karena istrinya ke-rap harus menambahkan air ke dalam botol susu, agar ketiga anaknya tetap mendapatkan jatah yang sama). Sedangkan bagi Max Baer, tariannya di atas ring adalah untuk kemegahan dan kebesaran ego.
Adegan klimaks pertandingan tinju Braddock melawan Baer tentu sudah diketahui hasilnya oleh para peng-amat dan pencinta tinju. Namun, bagi pen-cinta film, yang penting adalah bagai-mana proses 15 ronde itu dilalui, bagaimana jab itu dilayangkan, bagaimana Baer memprovokasi Braddock yang sangat mencintai istrinya (”apakah istrimu menyebut namaku dalam tidurnya?” kata Baer menye-ringai), dan bagaimana pukulan yang mematikan itu dilayangkan ke kepala Baer.
Ron Howard memang tidak menampilkan sebuah pertandingan artis-tik slow-motion gaya Raging Bull karya Martin Scorsese. Shot klimaks itu hampir seperti sebuah dokumentasi, bukan sebuah glorifikasi ”kebesar-an” pesta tinju dan pesta darah.
Tetapi emosi penonton sudah dapat disusun sedemikian rupa sejak awal sehingga Braddock memang berhasil- menjadi seorang ”Cinderella Man” yang dicintai oleh rakyat Amerika, rakyat Irlandia, dan juga penonton Hollywood yang sungguh mati sudah tertancap hatinya pada bapak dan suami yang baik hati ini. Sebutan- Cinderella Man yang diberikan oleh wartawan New York kepadanya—karena dia sempat hidup sebagai buruh kasar—menjadi sebuah sebutan yang semakin berarti. Hidupnya yang terpuruk di dasar lumpur itu kemudian berubah seketika; tapi bukan karena seorang peri atau tangan emas dari langit, melainkan karena upaya gila-gilaan dari manajernya yang setia dan keinginan Braddock untuk tetap bertahan. Itulah sebabnya sebutan dia adalah ”Cinderella Man”, bukan ”Cinderella”.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo