Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berebut Duit Tambang Emas

PT Freeport mengucurkan dana resmi dan tak resmi untuk mengamankan diri dan karyawannya. TNI dan Polri kebagian.

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJALANAN berakhir pekan dan perayaan ulang tahun Edwin Leon Burgen yang disertai istrinya, Nancy Carol, tak disangka berujung petaka. Sebab, di mil 62,5 jalur Timika-Tembagapura, Papua, kendaraan mereka dihadang dan ditembaki sekelompok orang tak dikenal. Direktur International School di Tembagapura yang warga negara Amerika Serikat itu tewas tercoblos peluru.

Ikut tewas rekan seasal, Edwin, Spier Rickey Lynn, serta rekan lokalnya, F.X. Bambang Riwanto. Sedangkan 11 lainnya cedera. Ini bukan yang pertama. Pada 1994, dua karyawan perusahaan tambang itu juga tewas tertembak di dekat mil 62,5 itu juga.

Beroperasi di Papua sejak 1967, keberadaan perusahaan tambang emas dan tembaga itu sudah berulang terancam. Kerusuhan Maret 1996 bahkan membuat kegiatannya terhenti tiga hari. Juga kasus Mapenduma, penculikan sejumlah peneliti asing dan Indonesia oleh kelompok TPN/OPM dari suku Amungme pimpinan Kelly Kwalik.

Perusahaan tambang yang bermarkas di New Orleans, AS, ini pun terpaksa mengumbar dana ekstra. Sejak April 1996 sampai 2006, mereka menyumbangkan satu persen dari omzetnya lewat "Dana Freeport bagi Pembangunan Irian Jaya" bagi 71 desa di Kabupaten Mimika. Sampai akhir 2001, telah tersalur US$ 92 juta.

Namun, bagi suku Amungme dan Kamoro, ahli waris hak ulayat atas tanah itu, ada uang "sewa" tersendiri. Freeport memberi dana perwalian 1996-2001 sebesar US$ 2,5 juta?65 persen bagi Dana Perwalian Amungme, sisanya untuk Kamoro. Berikutnya, dikucurkan US$ 500 ribu tiap tahunnya.

Namun, untuk mengamankan aset miliaran dolar Freeport itu, pemerintah Indonesia menugasi satu batalion (800-1.000 orang) yang terdiri dari Yon 515 Kostrad, Marinir, dan satu kompi Brimob. Biaya transportasi dan makan mereka ditanggung Freeport, ditambah insentif bulanan Rp 125 ribu-Rp 700 ribu bagi yang bertugas. Tamtama mendapat Rp 125 ribu, bintara Rp 175 ribu, komandan regu Rp 200 ribu, dan perwira Rp 250 ribu. Untuk komandan pos dan komandan batalion, lebih besar: Rp 400 ribu sampai Rp 700 ribu.

Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua menengarai, sejak 1996 pengeluaran biaya operasional Freeport telah mencapai US$ 34,8 juta (Rp 278 miliar). Selain TNI dan Polri, kebagian pula satpam, Hubungan Pemerintah dan Kantor Penghubung Komunitas, yang masing-masingnya punya biaya operasional tersendiri. Sumber TEMPO di Freeport menyebutkan, untuk logistik pasukan TNI, Freeport mengeluarkan US$ 4 juta-6 juta setahun. "Tapi 80 persen di antaranya berbentuk barang," kata dia. Sisanya, 20 persen, buat uang saku.

Ketika mengakui adanya uang saku bulanan itu, Kapuspen TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin menambahkan, "Bantuan itu resmi, untuk tentara dan polisi di sana." Namun, ia membantah bahwa Freeport juga menyetor satu persen dari omzet tahunannya ke Mabes TNI.

Tapi ada "tambahan tak resmi". Menurut Decky Murib, bekas tenaga bantuan operasi Kopassus, Dandim dan Kapolres setempat, misalnya, mendapat Rp 5 juta. Lalu ada uang cuti atau sakit dari Manajer Emergency Planning and Operation (EPO) PT Freeport, Tom Green. Mantan anggota CIA ini dikenal dekat dengan aparat setempat. "Biasanya, saya dan teman-teman dari Kopassus selalu datang ke kantornya," kata Decky.

Sejak tewasnya tiga karyawannya pada 31 Agustus 2002 itu, Freeport mendongkrak pengamanan di sekitar Pegunungan Grasberg, lokasi penambangan, dari hanya Rp 300 miliar menjadi Rp 900 miliar setahun. Namun, Santi, Petugas Humas PT Freeport, mengaku tidak tahu soal ini. Inilah yang dipakai membiayai penambahan pos keamanan di sepanjang jalur rawan Timika-Tembagapura. Mulai dari mil 34 sampai mil 66 sedikitnya ada 35 pos intai berjarak sekitar 100 meter. Ini di luar pos penjagaan resmi. Sedangkan di bekas tempat kejadian di mil 62,5 dibangun pos cukup besar.

Sementara itu, Kenneth Balk, korban yang selamat, masih gerah. Lewat Kongres, ia dan istrinya, Saundra Joy Hopkins, mendesak pemerintah AS agar menunda perbaikan hubungan militer dengan pemerintah Indonesia, sampai kejadian itu terungkap.

Tjandra Dewi, Cunding Levi, dan Wenseslaus Manggut (Timika)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus