Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DECKY Murib adalah saksi penting kasus penembakan bus karyawan di Timika, yang diduga melibatkan aparat militer. Warga Desa Harapan, Kwamki Lama, di Papua ini sehari-hari adalah petani suku Amungme. Ia tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Nasib lelaki 33 tahun ini berubah sepuluh tahun silam ketika ia dijaring oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan direkrut sebagai tenaga bantuan operasi alias informan di Timika. Ia tidak lagi pergi ke ladang. Ia cukup puas dengan gaji bulanan Rp 1,5 juta.
Ia memegang kartu pengenal yang diberikan oleh Komandan Jenderal Kopassus saat itu, Prabowo Subianto. Ia kerap memegang pistol dan berlatih menembak. Pada 1997, saat kasus penyanderaan di Mapenduma terjadi, Decky menjadi pemandu pasukan yang hendak menyerbu penyandera.
Untuk semua yang ia dapatkan itu, Decky harus membayar dengan informasi menyangkut kegiatan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ia pernah berjalan kaki selama tiga hari tiga malam ke Kabupaten Paniai hanya untuk menelisik OPM. Sepulang ia dari sana, cerita dan foto yang ia serahkan "ditukar" dengan setumpuk uang. Tapi ia menolak ketika diminta ke daerah Kali Kopi, markas OPM. "Saat itu sudah ada yang kenal saya sebagai mata-mata," katanya.
Statusnya sebagai mata-mata toh akhirnya menyiksa juga. "Keluarga dan teman-teman membenci saya. Mereka tidak suka saya. Tapi saya jalani saja," tuturnya.
Puncak perjalanan Decky sebagai informan adalah ketika ia menjadi saksi kasus penembakan bus karyawan Freeport di Timika. Peristiwa penembakan di mil ke-62 itu menjadi pembicaraan masyarakat Timika. Semua kerabat Decky sepakat, sebagai informan, Decky pasti tahu benar ihwal kasus ini. Semula Decky membantah. Tapi, setelah dibujuk-bujuk keluarga, ditenangkan oleh pastor, dan mendapat jaminan perlindungan dari Tom Beanal?tokoh Amungme?akhirnya Decky berani bersaksi.
Pada 17 September 2002, di ruang Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua, Brigadir Jenderal Raziman Tarigan, Decky pun mengungkapkan kesaksiannya yang menggegerkan tentang keterlibatan oknum TNI dalam peristiwa Timika.
Pengakuan itu ditebus Decky dengan mahal: hidupnya tak lagi tenang. TNI membantah pengakuannya. Sejak saat itu, keluarga Decky kerap didatangi orang tak dikenal. Ia juga dipanggil ke kantor Kepolisian Resor Mimika dan Markas Polisi Militer (Pom) Kodam di Timika.
Pada 29 Desember pagi, setiba di kantor Pom, ia kembali bertemu dengan Kapten Margus Arifin, yang saat itu tengah makan. "Mari, mari ke sini, Decky," kata Kapten Margus ramah. Tapi wajah Decky langsung memucat. Bayangan kematian Theys langsung melintas di benaknya. Decky langsung berbalik. Ia bergegas meloncati parit dan dengan ojek ia pulang ke Kwamki Lama. Setiba di rumah, ia segera memakai celana pendek dan, tanpa pamit kepada istri dan anaknya, berlari ke hutan. Empat jam lamanya ia berlari sampai tiba di bekas ladang di tengah hutan yang telah ia tinggalkan semenjak jadi informan.
Selama delapan hari, dengan hanya berbekal parang dan busur, ia hidup di hutan. "Saya makan buah pepaya, ubi kayu dan ubi jalar, dan buah pisang," kata Decky. Tahun Baru 2003 ia lewatkan dalam kegelapan hutan. Sendirian. Ia baru berani turun ke Kwamki Lama pada Senin, 6 Januari. Tapi ia masih gelisah.
Empat hari kemudian, setelah melalui proses yang berliku-liku, koresponden TEMPO di Jayapura, Cunding Levi, berhasil menemui Decky di kantor Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (Lemasa) di Timika. Saat itu Decky mengenakan baju kaus hitam dengan jins biru. Ia didampingi dua orang kakaknya. Seorang di antaranya berbaju loreng?menurut Decky, baju itu adalah pemberian Kopassus yang ia hadiahkan kepada kakaknya. Berikut ini penuturan Decky.
Mengapa Anda akhirnya mau bersaksi soal kasus ini?
Sehari setelah kejadian, dalam keadaan sedikit mabuk, saya bertemu dengan istri Pak Yoaken. Suami-istri ini bekerja di Sipil Kodim Timika. Ia berkata, "Decky, ko (kau) pasti tahu pelaku penembakan di mil ke-62 itu, kan? Kau kan biasa jalan dengan tentara." Karena sedikit mabuk, saya bilang saya tahu peristiwa penembakan itu. Kemungkinan Ibu Yoaken bilang kepada Ibu Tom Beanal. Kemudian hati saya terbuka atas bujukan keluarga. Akhirnya, saya bertemu dengan Tom Beanal, lalu ke Gereja Katolik bertemu dengan Pastor Jongga. Empat hari kemudian, saya dibawa ke kantor Lemasa. Di tempat itu, saya bertemu dengan Tom Beanal, Jhon Rumbiak (dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua), Paulina Makabori (tokoh lembaga studi hak asasi manusia di Timika), Demi Bebari (dari Lemasa), dan Pastor Jongga. Lalu, berdasarkan musyawarah, saya harus ke kantor Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia di Jayapura.
Bagaimana ceritanya Anda sampai ke Jayapura?
Saya dipertemukan dengan Kepala Satuan Intelijen Polda Papua. Dia mengawal saya ke Jayapura. Kami naik mobil sewaan ke bandar udara secara sembunyi-sembunyi di pagi hari. Saya sedikit takut. Tapi teman-teman bilang tak apa-apa. Setiba di Jayapura, saya dibawa ke kantor Polda. Di sana saya ketemu dengan Pak Wakil Kepala Polda Raziman Tarigan dan polisi-polisi lain. Hari itu saya ditanya-tanya tentang kasus Timika. Juga esok harinya, dari pukul tujuh pagi sampai sepuluh malam. Saya tinggal di Jayapura selama kurang-lebih sebulan.
Lalu mengapa Anda bersembunyi?
Saya datang ke Jayapura pada 17 September 2002 dan pulang ke Timika 2 Oktober 2002. Di rumah, saya mendengar bahwa keluarga saya sering didatangi orang tak dikenal. Selama di Timika, saya hanya dua kali turun ke Kota Timika. Setiap hari saya di rumah saja. Biasanya para ibu membantu menyembunyikan saya. Hari Sabtu, 28 Desember pagi, saya didatangi Pak Yusuf (Kepala Satuan Reserse Polres Mimika) dan Komandan Polisi Militer Mimika, Sain Mursalim. Saya diajak ke Polres Mimika. Saya pun pergi ditemani dua saudara saya dan Demi Bebari dari Lemasa. Hari itu saya bertemu dengan Pak Brigadir Jenderal Hendardji (Wakil Komandan Pusat Polisi Militer). Setelah ditanya-tanya, saya disuruh menandatangani kertas-kertas. Kalau tak salah, ada enam lembar yang sama dan tiap-tiap lembar rangkap enam juga.
Apa yang disampaikan oleh Hendardji?
Mereka bilang, "Murib, besok kita ke atas, lihat tempat kejadian. Kamu harus ikut. Besok kamu ke Markas Pom di Timika. Kita berangkat dari sana." Hari itu mereka juga berjanji akan memberi saya dua ekor babi, uang Rp 9 juta, dan beras lima karung. Setelah itu, saya pulang ke rumah. Tapi hati saya gelisah tak menentu. Malamnya, saya bermimpi buruk. Saya diberi tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tak beres. Apalagi saya ingat kejadian Bapak Theys, yang dibujuk-bujuk juga lalu dibunuh. Makanya, pagi-pagi sekali besoknya, hari Minggu tanggal 29 Desember, saya naik ojek sendiri menuju kantor Markas Pom di Timika. Saya lihat Kapten Margus di sana, tapi akhirnya saya tidak masuk.
Jadi, Anda tidak jadi ke Markas Pom?
Ya. Saya pulang. Sesampai di rumah, saya ganti celana pendek, lalu ambil parang dan panah, lalu masuk hutan untuk bersembunyi. Saya ke hutan tak diketahui oleh anak dan istri saya. Saya merayakan Tahun Baru di tengah hutan sendirian.
TNI menyatakan kesaksian Anda tidak benar. Mereka bahkan telah melakukan rekonstruksi di lapangan, yang tidak Anda hadiri.
Justru dia itu yang tak benar. Kenapa bilang begitu sebelum saya dipertemukan dengan Kapten Margus Arifin? Lalu kenapa saya tak dipanggil secara resmi, hanya lewat mulut orang? Kalau mau jujur, pertemukan saya dengan Margus dan keluarga korban di Amerika, barulah kita bicara baik-baik.
Menurut TNI, ketika Anda di mil ke-58, tidak mungkin Anda mendengar suara tembakan dari mil ke-62 itu.
Saya mendengar tembakan itu bukan di tempat yang telah diuji oleh pihak Puspom TNI yang datang baru-baru ini. Ketika saya mendengar suara tembakan itu, saya sedang minum di sebelah atas terowongan. Di sekitar itu ada lima buah kontainer yang digunakan sebagai tempat istirahat para karyawan yang waktu itu sedang memasang kabel. Saya jelas mendengar suara tembakan karena memang tempat saya itu sedikit dekat dibanding yang mereka katakan kemarin itu.
Kesaksian Anda sudah menjadi perhatian. Apakah perasaan Anda sudah tenang?
Saya masih merasa terancam dan takut. Saya sebenarnya ingin agar kasus ini cepat selesai. Saya jadi takut ke mana-mana. Saya pikir, lama-kelamaan nyawa saya bisa hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo