Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Laksamana Sukardi:

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia bukan jenderal, walau namanya mirip penyandang bintang empat di Angkatan Laut. Dia "hanyalah" Laksamana Sukardi, orang sipil yang jadi bankir, masuk ke politik, dan kemudian jadi menteri di dua kabinet. Tapi, dalam satu hal, dia agaknya punya kemiripan dengan laksamana yang sesungguhnya saat bertarung melawan badai di tengah laut: ketenangan. Muncul dalam sebuah diskusi di televisi pada pertengahan pekan lalu, Laks?ini sebutan akrabnya?"dibantai" dengan berbagai pertanyaan keras oleh lawan debatnya. Ia menjawab setiap pertanyaan dengan tenang, rasional, tanpa kehilangan senyum.

Di tengah hawa demonstrasi yang mendidih di jalanan Ibu Kota yang memprotes kenaikan harga sepanjang pekan silam, ketenangan itu diperlukan?kendati, barangkali, tak banyak berarti. Minimal sikap yang tenang akan membantu siapa pun untuk berpikir secara dingin?itulah yang dikatakan Laks tatkala memberikan wawancara ini. Ketenangan itu tentu saja juga dibutuhkan untuk memahami bahwa jeritan orang-orang kecil yang melolong dari segala sudut negeri karena kesusahan hidup itu tidak pernah datang dari ruangan hampa.

Dan Laks mengatakan, keputusan pemerintah yang membuat harga-harga meroket, yang membuat nelayan tak lagi melaut atau sebuah keluarga di Muara Angke harus mengecilkan porsi nasi di atas meja makan, juga tidak dicomot begitu saja dari langit. "Ini memang pil pahit. Tapi ini harus kita telan setelah kita terus menunda-nundanya dari zaman Habibie." Laksamana mengaku tidak masuk dalam tim yang menggodok keputusan soal pencabutan subsidi. "Itu tidak di bawah portofolio saya. Jadi, saya akan memberikan pendapat pribadi." Dan toh Laksamana mengatakan paham mengapa langkah itu yang harus diambil. "Walau kami (pemerintah) ini akan menjadi komoditas politis yang enak," ujarnya kepada TEMPO.

Laksamana sendiri bukan berada pada posisi yang "favorit" walaupun ia tidak termasuk "tim perumus kenaikan harga". Ia datang dari PDIP, partai yang kini memerintah, partai yang melabelkan diri sebagai partai orang kecil. Laksamana bergabung dengan partai tersebut pada 1991 dan, bersama Megawati, ia melewati tahun-tahun yang berat di bawah Soeharto. Di tengah miskinnya para profesional di PDI pada masa itu, kehadiran Laks segera menjadi salah satu aset. Ia diminta menjadi bendahara dan kemudian duduk di MPR RI mewakili partai tersebut.

Ketika Abdurrahman Wahid naik panggung menjadi presiden, Laks terpilih menjadi salah satu anggota kabinet. Abdurrahman mendepaknya dengan tudingan korupsi-kolusi-nepotisme. Abdurrahman turun, Laks kembali masuk kabinet bersama Megawati. Toh, ia memutuskan meninggalkan dunia politik dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. "Saya capai. Dan saya sudah berusaha sebaik yang saya mampu," tuturnya.

Datang dari latar belakang perbankan, Laksamana mencatat sejumlah karier cemerlang. Ia menduduki beberapa jabatan puncak di dunia perbankan (lihat boks profil). Majalah Swa memberinya predikat "Banker of the Year" pada 1993. Dia lantas masuk dunia politik, bertahan selama beberapa tahun, dan kini tengah mempertimbangkan untuk meninggalkan arena tersebut.

Dalam posisinya sebagai Menteri Negara Pemberdayaan BUMN, Laks memutuskan untuk menjual Indosat ke Singapura belum lama ini. Keputusan tersebut kontan mengalirkan kritik pedas dari berbagai kalangan. Ketua MPR RI Amien Rais bahkan menjulukinya agen asing. Kata Laks, "Mungkin Mas Amien harus menyebutkan agen yang mana." Dia menjelaskan, seluruh soal Indosat sudah dijelaskannya di depan DPR. Dia mengaku bersedia digantung di depan umum kalau memang terbukti melakukan korupsi. Apa betul Laks melakukan korupsi dalam urusan Indosat? Mengapa dia mendukung keputusan pemerintah yang membuat harga-harga meroket?

Pekan silam, ia menjawab semua pertanyaan tersebut dalam sebuah wawancara khusus dengan mingguan ini. Di rumah dinasnya di Kompleks Widya Candra, Jakarta Selatan, Laksamana Sukardi menerima wartawan TEMPO Adi Prasetya, Bina Bektiati, dan M. Taufiqurohman. Berikut ini petikannya.

Bagaimana sudut pandang pemerintah dalam kebijakan pengurangan subsidi BBM dan kenaikan tarif dasar listrik dan telepon pada saat bersamaan di tengah situasi sulit seperti ini?

Saya tidak ikut mengambil kebijakan itu. Jadi, saya akan memberikan pandangan pribadi saja. Di satu sisi memang berkembang adanya ketidakadilan (bagi rakyat kecil). Sedangkan di sisi lain saya sadar betul, pemerintah dalam transisi setelah kehancuran ekonomi, tidak mungkin bisa mengeluarkan kebijakan populis dan konstruktif.

Kenapa demikian?

Karena biaya krisis yang bertumpuk sejak zaman Pak Harto belum dibayar. Pemerintah tidak berani untuk tidak populis pada masa itu. Sementara itu, jika kita ingin benar-benar memperbaiki keadaan, pemerintah harus berani mengambil kebijakan tidak populer, karena kita sekarang membangun ekonomi dari minus dan reruntuhan, bukan lagi dari nol.

Dari reruntuhan itu, mana yang paling penting didahulukan?

Pertama, stabilitas moneter, nilai tukar dan inflasi, dengan prioritas pada stabilitas moneter. Kalau nilai tukar tidak stabil seperti yoyo, nilai tukar dolar naik-turun sampai Rp 20 ribu, ambruklah semuanya. Pemerintah tidak bisa membuat rencana. Mau ekspor atau impor, mesti menunggu nilai tukar karena rupiah tidak dipercaya. Nomor satu yang dicapai itu dulu. Lalu, kendalikan inflasi dan moneter. Kita jaga supaya tidak terjadi hiperinflasi.

Hiperinflasi sampai pada tingkat apa?

Di Amerika Selatan mencapai 100-1.000 persen. Ya, kita jaga agar jangan sampai terjadi seperti itu. Langkah kedua setelah stabilitas moneter adalah keamanan fiskal. Kalau fiskal tidak aman, fondasi moneter jadi tidak berarti. Kita punya masalah fiskal, utang-utang warisan dari zaman Pak Harto. Itu harus dibereskan, walau harus melalui keputusan yang amat tidak populer. Misalnya tarif listrik. Dulu ada pembangunan ITT yang ngaco. Mau dibuang? Sudah telanjur ada. Kalau harga produksi listrik jauh lebih tinggi daripada tarif, akhirnya tidak ada yang membangun. Industrialisasi berhenti. Kita juga gelap dan banyak pengangguran. Itu pilihannya.

Pemerintah bisa memberi pilihan lain: menaikkan tarif secara perlahan-lahan.

Oke, masalah waktu bisa diperdebatkan. Pengurangan subsidi BBM kan sudah disepakati (kesepakatan pemerintah dengan DPR untuk mengurangi subsidi secara bertahap hingga 2004) dan harganya ditentukan mengikuti pasar. Tapi, kalau dipolitisasi, ya jadi tidak keruan.

Misalnya?

Ya, komentar bahwa "suruh saja yang punya utang besar bayar listrik". Gimana caranya? Memang lebih mudah yang retorik. Siapa pun yang jadi pemerintah sekarang ini tidak bisa main retorika begitu. Harus pragmatis, kasus demi kasus, tapi yang penting ada keberlanjutan fiskalnya dan defisit bisa dikendalikan. Dua hal itu merupakan pilar.

Bagaimana dengan problem utang?

Harus ada restrukturisasi utang?swasta, misalnya?sampai ke tahap yang sustainable. Jika tiga hal itu sudah dilakukan, baru kita bisa membangun kepercayaan untuk investasi. Kepercayaan itu sebetulnya sudah ada. Meskipun terjadi bom di Bali, tidak terjadi penarikan besar-besaran dari bank. Bola ini yang mesti ditangkap oleh pengusaha.

Apakah "paket" yang Anda kemukakan ini satu-satunya pilihan?

Mungkin ada mazhab lain: digorokin saja, enggak usah direstrukturisasi. Jadi, bunuh habis semuanya atau kita restrukturisasi. Terserah mau ambil yang mana. Kedua angle itu sama benarnya, tergantung dari mana kita melihat. Tapi, kembali pemerintah harus mengutamakan yang namanya pembangunan institusional. Kegiatan berbangsa dan bernegara itu kan ada prosesnya, dan itu sudah disepakati bersama.

Tentang waktu kenaikan. Mengapa di saat sulit seperti sekarang rakyat harus menelan semua keputusan pemerintah ini?

Memang soal waktu masih bisa diperdebatkan. Misalnya soal BBM. Sistem subsidi sebelum ini membuat pemilik bajaj dan BMW mendapat subsidi yang sama. Nah, sekarang, harga BBM naik bukan karena subsidinya hilang, tapi pola pemberian subsidi yang berubah. Hasil dari penghematan ini kan masuk ke APBN, disalurkan lagi kepada rakyat dalam bentuk dana kompensasi yang langsung kepada target-target penduduk miskin.

Pencabutan subsidi BBM itu membuat pemerintah bisa menghemat Rp 18 triliun, tapi dana kompensasi yang diberikan hanya Rp 4 triliun.

Soal dana kompensasi yang Rp 3 triliun-4 triliun itu mungkin banyak yang tidak mengerti. Sebab, sisa dari Rp 18 triliun itu dikembalikan semuanya ke APBN kita. Enggak ada yang hilang di situ. Tinggal alokasi-alokasinya ke mana, itu harus ketat mekanismenya. Dan penghematan itu kan belum terjadi, baru akan terasa pada masa-masa mendatang.

Begini. Ada atau tidak ada dana kompensasi, bukankah negara punya kewajiban mengurusi rakyat miskin? Ini sepertinya negara baru mengurusi rakyat miskin kalau ada pencabutan subsidi.

Ya, itu betul. Kewajiban negara itu memang betul. Tapi sarananya ada apa tidak? Kan saat ini tidak ada.

Apakah pemerintah sudah menghitung kesenjangan waktu antara pencabutan subsidi dan turunnya dana kompensasi?

Saya kira dari koordinasi antara Menteri Keuangan dan Bank Indonesia yang selama ini sudah diperhitungkan. Ini kan masalah waktu dan politik.

Pada tingkat praktis, kapan para nelayan di Muara Angke, misalnya, bisa menikmati dana kompensasi itu?

Saya tidak tahu persis. Mudah-mudahan segera. Saya yakin juga akan diambil tindakan segera. Soal jumlah Rp 4 triliun itu, kalau kurang tinggal ditambah saja. Susah amat. Itu kan menyangkut hak bujet yang harus dibicarakan dengan DPR. Pemerintah enggak bisa seenaknya sendiri.

Bagaimana mekanisme penyaluran dana kompensasi ini agar tidak terulang kasus dana Jaring Pengaman Sosial yang diselewengkan dulu?

Mekanisme penyalurannya harus kita perbaiki. Tinggal kita setuju dengan pola subsidi lama atau pola baru. Makanya, Pak Jusuf Kalla terus-menerus mengatakan bahwa ini adalah pola subsidi yang berubah?disesuaikan dengan harga pasar. Jadi, bukan kenaikan.

Apa pun istilahnya, pola baru ini amat memukul. Banyak pengusaha yang tak bisa membagikan bonus, kenaikan upah minimum di DKI Jaya cuma 6,8 persen. Padahal kenaikan BBM, listrik, dan telepon bersifat multi-efek.

Lagi-lagi ini soal waktu, bukan lagi masalah keadilan. Jadi, menurut saya, yang harus dijaga adalah agar dana masyarakat yang sudah masuk ke perbankan bisa balik lagi dan dunia usaha memiliki stimulus.

Apa bentuk stimulusnya?

Misalnya, berbagai kemudahan di bidang perpajakan. Kalau ini berjalan, usaha kecil-menengah bisa tertarik gerbongnya. Untuk menekan biaya telepon, jangan banyak-banyak bicara di telepon. Bisa gunakan e-mail. Listrik juga bisa dihemat, jangan malah mencuri. Soal timing (kenaikan) memang tidak tepat, apalagi habis ada ribut-ribut Indosat, release and discharge. Secara politis memang tidak tepat, tapi secara ekonomi memang lebih tepat.

Kenapa soal stimulus terhadap dunia usaha tidak diberikan dalam waktu yang bersamaan dengan naiknya harga dan tarif?

Harus diakui jujur bahwa kelemahannya adalah kurangnya koordinasi. Keputusan kenaikan harga ini lebih tepat secara ekonomi, tapi tidak secara politis.

Tidak tepat secara politis? Artinya, berdampak negatif buat PDIP, yang saat ini memegang kabinet?

Jika ada pemerintahan yang hanya berpikir bagaimana bisa terpilih lagi dalam situasi seperti sekarang, mending tidak usah saja. Saya jamin tidak mungkin ada pemerintahan dalam situasi seperti ini?PDIP, Golkar, atau siapa pun?yang selalu mengambil kebijakan populis. Keputusan itu sulit, tapi tidak diambil begitu saja dari langit.

Kalau tidak dari langit, artinya ada perdebatan panjang di kabinet?

Ya, lewat prosedur yang sudah ada. Awalnya, dibicarakan di rapat koordinasi polkam serta rapat kabinet terbatas. Pembicaraannya di situ. Karena itu bukan portofolio saya, saya tidak banyak terlibat. Saya hanya mengurusi soal BUMN dan harus kena getah BPPN yang serba susah itu. Jadi, kalau Anda tanya soal perdebatannya, itu wilayah menteri-menteri yang menjadi regulator di bidang tersebut. Yang saya tahu, ada pembicaraan terus-menerus serta koordinasi dengan Bank Indonesia. Soal timing, misalnya, pasti dipertimbangkan.

Dan sekarang dianggap saat yang tepat untuk kenaikan?

Sekarang, mumpung faktor moneternya sedang stabil, fiskalnya juga sudah dinomorsatukan, dan menjelang 2004 sehingga suhu politiknya masih stabil.

Ini memang serba sulit dari segi stabilitas keamanan secara keseluruhan. Waktunya tidak banyak lagi. Jadi, pada 2004 sudah ada tatanan yang lebih baik.

Lebih baik untuk PDIP?

Untuk siapa pun yang menang pada tahun 2004 nanti.

Bagaimana pandangan politikus dan konstituen PDIP?

Saya kira banyak pula yang kecewa karena mereka juga menghadapinya di lapangan. Jadi, mungkin seharusnya lebih berkoordinasi dengan partai. Tapi ini semua kan masukan bidang polkam. Di sana ada Pak Susilo Bambang Yudhoyono, yang memberi advis kepada Presiden. Anda harus mewawancarai beliau juga karena saya yakin ada argumen khusus soal itu.

Orang mengkritik, PDIP itu partainya wong cilik tapi malah membuat wong cilik menderita?.

Retorika seperti itu amat berbahaya. Kita harus menyikapinya dengan kepala dingin. Pil-pil pahit dari zaman Habibie saja belum kita telan, selalu ditunda-tunda. Jadi, sekarang, berapa pun mahalnya, ongkos itu harus mulai dicicil kalau kita ingin sembuh.

Demo-demo menentang kenaikan harga makin meningkat. Bagaimana menghitung risiko ini semua?

Itu harus diantisipasi oleh orang-orang di bagian politik dan keamanan. Saya enggak tahu bagaimana menghitungnya. Tapi saya yakin sudah ada matematikanya.

Bagaimana kalau pemerintahan partai Anda jatuh gara-gara urusan kenaikan harga?

Kalau sebuah pemerintahan jatuh karena proses politik, itu tidak masalah. Kalau pemerintahan jatuh karena korupsi, itu baru gawat. Tapi ini pandangan pribadi saya.

Sejauh mana hal ini diantisipasi dalam PDIP?

Saya sudah bukan pengurus di DPP lagi. Jadi, saya tidak tahu.

Apakah pemerintah sudah menduga reaksi publik akan sekeras ini setelah keputusan pencabutan subsidi diberlakukan?

Kami sadar bahwa kebijakan pemerintah itu amat mudah jadi komoditas politik. Mahasiswa yang berdaya inteligensi dan masa depan bagus semestinya lebih baik memikirkan segala persoalan dengan kepala dingin, dan tidak mudah terbawa retorika populis. Kalau saya mau dituntut gara-gara privatisasi Indosat, silakan. Tapi Indosat ini soalnya jelas dan sudah saya terangkan seluruhnya di depan anggota DPR.

Apa yang Anda terangkan?

Bahkan kita mesti punya skala prioritas. Satu, sektor-sektor yang sudah rugi dan meminta utang melulu, itu harus segera ditangani. Kedua, soal kompetitif. BUMN sebenarnya punya hotel banyak, tapi kenapa pegawai BUMN tidak mau menginap di situ? Maunya di Hyatt, Hilton. Wartawan juga begitu, maunya di bintang lima semua.

Anda menentang semua protes soal Indosat?

Yang saya katakan, bau provokasinya hebat dan memang enak kedengarannya: perusahaan hebat kenapa kok dijual. Tapi saya sadar memang lebih mudah memprovokasi ketimbang menjelaskan duduk persoalan sebenarnya.

Soal lain adalah kenaikan tarif telepon. Menurut Undang-Undang Propenas, maksimal kenaikan adalah 15 persen. Kok sekarang kenaikannya lebih dari 30 persen?

Soal telepon itu bagiannya Pak Agum Gumelar yang menjelaskan. Nanti saya salah lagi, ha-ha-ha?.

Menurut hemat Anda, sampai kapan kondisi seperti ini akan berlangsung?

Saya melihat yang paling penting adalah adanya stimulus dari perkembangan ekonomi. Kalau ekonominya mandek, mau diapain juga tambah pusing. Ekspor harus tumbuh, ada kompetisi yang sehat, dan mesti ada pemerintahan yang bersih.

Soal pemerintahan yang bersih ini, ada guyonan: dulu korupsinya official, sekarang unofficial?.

Ha-ha-ha?, dulu wholesale, sekarang retail. Makanya, saya mau areal dasar dari korupsi itu yang harus disentuh. Seperti membunuh nyamuk tanpa memberantas tempatnya berkembang-biak, ya sama saja.

Laksamana Sukardi

Tempat/tanggal lahir:

  • Jakarta, 1 Oktober 1956

Pendidikan:

  • Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (1979)
  • EDP Citibank di Athena, Yunani (1981)

Karier:

  • Asisten Manajer Bagian Audit Citibank (1981)
  • Wakil Presiden Bidang Operasional Citibank (1985-1987)
  • Direktur Bank Umum Asia (1987)
  • Wakil Direktur Pelaksana Lippobank (1988)
  • Direktur Pelaksana Lippobank (1988-1993)
  • Chief Executive Officer Lippobank (1994-1999)
  • Anggota MPR RI dari Fraksi PDI (1992-1997)
  • Menteri Negara Investasi dan Pemberdayaan BUMN Kabinet Persatuan & Kabinet Gotong Royong (1999-2001 & 2001-2004)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus