Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OPTIMISME Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Benny Jozua Mamoto terhadap kariernya ditentukan oleh selembar surat. Tak sembarang orang diizinkannya melihat kertas itu. Ia tak mau layang tersebut dipotret, apalagi difotokopi. Kamis siang pekan lalu, di ruang kerjanya di lantai enam Gedung BNN di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Timur, ia tunjukkan surat itu kepada Tempo. Berkop Sekretariat Negara, surat itu berisi keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Benny menjadi deputi pada 24 Mei 2012. "Surat ini harus dihormati," ujarnya.
Benny menunjukkan surat itu karena sejak akhir bulan lalu gosip soal berakhirnya masa jabatannya beredar di gedung BNN dan Markas Besar Kepolisian. Alumnus Akademi Kepolisian 1977 ini pensiun pada 1 Juli lalu dengan pangkat inspektur jenderal. Mayoritas pegawai dan pejabat di BNN berasal dari Kepolisian. Mereka semua berstatus polisi aktif, kecuali Benny. Adanya pandangan bahwa polisi di BNN harus masih aktif memang membuat Benny merasa tengah didongkel.
Mereka yang ingin mendongkel, kata Benny, adalah teman-temannya sendiri. Entah dari mana asalnya, ujar dia, akhir bulan lalu Mabes Polri mengirimkan surat kawat pergantian Deputi Pemberantasan. Surat itu menyebutkan Benny harus diganti karena sudah memasuki masa pensiun. Ia mengaku kaget. Si pengirim surat, menurut dia, tak paham peraturan. BNN, kata Benny, bukan badan di bawah Kepala Polri, melainkan lembaga sipil yang bertanggung jawab kepada Presiden. "Kapolri tak berwenang mengganti deputi di BNN meski saya sudah pensiun," ujarnya.
Seorang perwira menengah di BNN yang tak mau namanya disebut mengatakan Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo memang sudah mengeluarkan telegram rahasia pergantian kursi Deputi Pemberantasan kepada Jenderal Arman Depari, yang kini menjabat Direktur Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri. Wakil Arman, Komisaris Besar Anjan Pramuka Putra, akan naik menduduki kursi Arman. Benny, ujar sumber itu, tak happy dengan pergantian tersebut karena sudah menyiapkan calon lain, Brigadir Jenderal Petrus Golose, untuk menduduki posisinya. Petrus kini adalah Deputi Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. "Benny tak mau jaringannya selama ini diambil alih kelompok polisi lain," kata sumber itu.
PENYELIDIKAN Badan Reserse Kriminal terhadap Komisaris Polisi Albert Dedi berakhir antiklimaks. Albert diperiksa karena pada Kamis malam, 4 Juli lalu, nyelonong ke lantai enam gedung BNN. Ia mencuri dua map berisi 125 file dari ruang tata usaha yang berada persis di depan ruang kerja Benny. Setelah tiga pekan memeriksa Albert dan sejumlah saksi serta mengumpulkan barang bukti, termasuk CCTV yang merekam aksi Albert, Mabes Polri menyimpulkan Albert tak melakukan pencurian. "Unsur pencurian tidak mencukupi," ujar juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Ronny F. Sompie, Jumat pekan lalu.
Alasannya, kata Ronny, tindakan Albert diketahui staf dan satpam BNN. Dokumen yang dia ambil diakui berisi slip gaji dan surat yang berhubungan dengan pekerjaan Albert selama di BNN. Pria yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai disc Âjockey ini baru enam bulan menjabat Kepala Sub-Unit Cyber Crime Bareskrim. Dua tahun sebelumnya, alumnus Akademi Kepolisian angkatan 1998 ini pernah bertugas di BNN. Meski menggondol dokumen, Albert tak ditahan. Ia hanya dijatuhi hukuman disiplin walau saat pencurian, dari hasil tes, urinenya terbukti mengandung narkoba.
Pagi hari sebelum Albert datang ke BNN, seorang pengusaha money changer, Helena, melaporkan Benny ke Bareskrim. Benny dituding menyalahgunakan wewenang dengan memblokir rekening perusahaannya, PT Sky Money Changer, di Bank Internasional Indonesia. Rekening itu bukan atas nama Helena, melainkan atas nama Aris dan berisi duit sekitar Rp 5,3 miliar. "Uang itu memang masih utuh, tapi akibatnya perusahaan tak bisa beroperasi," ujar pengacara Helena, Gloria Tamba, kepada Tempo.
Rekening itu sudah diblokir sejak Januari tahun lalu. Helena, kata sumber Tempo, awalnya kaget karena salah satu dari tiga rekening perusahaannya tak bisa digunakan. Saat hal ini ditanyakan ke BII, manajemen bank mengaku memblokir karena sering terjadi transaksi ganjil. Biasanya di rekening itu hanya ada transfer Rp 50-100 juta. Sebulan sebelum pemblokiran, rekening membengkak menjadi Rp 5,3 miliar. Belakangan, Helena baru tahu pemblokiran itu atas permintaan Benny setelah mendapat laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Banyak pihak kemudian menghubungkan dua peristiwa ini: kasus Albert dan Helena. Menurut sumber Tempo, terlalu sepele jika Albert hanya mengambil slip gaji yang belum dibayarkan. "Dokumen yang dicuri itu kasus-kasus narkoba," ujar sumber itu. Salah satunya kasus yang menjerat Helena. Perempuan asal Medan itu berurusan dengan BNN karena rekeningnya diduga menampung aliran uang bandar narkoba bernama Jafar, warga negara Iran, yang kini menghuni penjara Tangerang. "Albert dulu salah satu penyidik kasus tersebut," kata sumber Tempo ini.
Diterjang dua kasus dalam sehari membuat Benny berang. Ia menganggap kedua peristiwa ini rangkaian konspirasi dari pihak lawan. Dari pengecekan internal BNN, ujar Benny, berkas yang digondol Albert merupakan dokumen kasus dan sisanya surat-surat biasa. Albert dikeluarkan dari BNN, kata Benny, karena bersahabat dengan bandar narkoba dan terbukti mengkonsumsi sabu-sabu saat bertugas. "Pasti ada yang memerintahkan dia datang ke BNN."
Benny menduga ada sponsor di balik laporan Helena. Ia tak mau merinci kasus yang melibatkan Helena karena prosesnya masih berjalan. Tapi sumber Tempo bercerita, sebelum melapor ke Bareskrim, Helena selama ini menjadi "sapi perah" penyidik BNN. Perempuan ini kerap ditodong untuk mengongkosi penyidik yang bertugas ke luar daerah. Ia juga sudah menyerahkan uang sekitar US$ 40 ribu plus Rp 100 juta kepada seseorang bernama Leti yang mengaku dekat dengan Benny. Leti menjanjikan bisa membuka blokir rekening itu. Saat dimintai konfirmasi, Benny mengaku cerita ini memang santer beredar. Tapi, katanya, "Saya tak mengenal Helena."
Sumber Tempo di BNN menyebutkan Benny "menggoreng" dua kasus itu untuk menaikkan pamornya. Salah satu tujuannya: mempertahankan kursi deputi yang didudukinya. "Apa yang disampaikan Benny itu lebay," ujar sumber ini. Faktanya, kata dia, penyidik BNN sering memblokir rekening tanpa alasan yang jelas, lalu ujung-ujungnya pemilik rekening diperas. Benny, menurut dia, menceritakan kedatangan Albert secara berlebihan. Benny mengatakan Albert datang dengan membentak dan mengancam anggota satpam, sambil membawa pistol. Padahal esok harinya Albert kembali ke BNN dan berseloroh dengan karyawan lain. "Benny membesar-besarkan kedua cerita itu agar seolah-olah tengah diserang," katanya.
"PERANG saudara" BNN dan Direktorat Narkoba Bareskrim sebetulnya bukan barang baru. Sumber Tempo mengatakan, di lapangan, keduanya beradu: merazia lapak narkoba yang bernaung di pihak lawan. Setelah judi binasa, polisi nakal mencari uang tambahan operasional timnya dari para bandar narkoba. Itulah sebabnya kursi Deputi Pemberantasan sangat strategis. Secara martabat dan karier, kursi Benny lebih tinggi ketimbang Arman. "Jumlah uang masuknya bisa tak berseri," ujarnya.
Benny mensyaratkan penggantinya harus jauh dari jaringan narkoba. Ia hanya menjawab dengan senyuman saat ditanya apakah ada kandidat penggantinya yang terlibat jaringan narkoba. Ia menyatakan ada jaringan besar di belakang orang-orang yang menghantamnya. Tapi seorang perwira menengah di BNN mengatakan Benny, yang disebut-sebut akan ikut pemilihan Gubernur Sulawesi Utara, sebenarnya juga tak bersih-bersih amat. "Ada kasus yang dimainkannya," katanya.
Sumber itu menyebut salah satunya seorang tersangka pembuat narkoba kelas home industry di Tangerang yang dia bebaskan setelah menyetor upeti. Benny, ujar sang sumber, juga pernah menggelapkan barang bukti senilai Rp 7 miliar dalam kasus lain. "Dia butuh modal untuk pemilihan gubernur," kata sumber tadi. Salah satu anak buah Benny yang ikut bermain, ujar sumber ini, Komisaris Anton, ditangkap tim Arman Depari. Benny membantah semua tuduhan tersebut. Ia menyatakan tak ingat memiliki penyidik bernama Anton. "Saya tidak pernah main-main dengan bandar narkoba," katanya keras.
Serangan itu mendapat balasan. Sumber Tempo mengatakan Arman Depari balik dilaporkan karena main mata dengan jaringan narkoba. Alumnus Akademi Kepolisian angkatan 1985 ini bahkan sudah diperiksa Divisi Profesi dan Direktorat Tindak Pidana Umum. Dicegat Tempo di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Arman menampik pernah diperiksa. "Enggak ada itu," ujarnya. Sumber lain menyebutkan Arman sebenarnya juga kenal Helena. "Sekarang dia menyuruh Helena tiarap."
Perang kedua jenderal ini merembet menjadi perang antara BNN dan Bareskrim. Timur Pradopo membantah ada perang para bintang di kedua lembaga itu. Ada spekulasi, perang ini sebenarnya perang antarkandidat Kepala Polri dan akan meledak ke depan publik bila tak diteÂngahi. Timur akan pensiun pada Januari 2014. Kepala BNN Komisaris Jenderal Anang Iskandar dan Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Sutarman merupakan calon kuat pengganti Timur. "Ini jadi rebutan pengaruh," katanya.
Perseteruan BNN dan Bareskrim sudah sampai ke Istana Negara. Sekretaris Kabinet Dipo Alam memastikan pergantian kursi Deputi Pemberantasan akan melalui sidang tim penilai akhir. Tim ini dikepalai Wakil Presiden Boediono. "Para calon akan diusulkan Kepala BNN dan Kapolri," ujar Dipo. Timur pun mulai melunak. Ditemui pada Rabu pekan lalu, ia tak menjawab saat ditanya apakah telah menunjuk Arman sebagai pengganti Benny. "Kami yang menyiapkan orangnya, BNN yang menentukan," katanya.
BNN pun tak lagi ngotot mempertahankan Benny. Sejak muncul kasus Albert dan Helena, Benny jarang tampil di depan publik. Saat konferensi pers di BNN pada Rabu pekan lalu, Benny, yang biasa menjadi pembicara, tak keluar dari ruangannya. Ia dikabarkan sengaja dikurung dan tak boleh berbicara atas nama BNN sampai ada penggantinya. "Ia sudah pensiun," kata Anang Iskandar.
Mustafa Silalahi, Febriyan, Aryani Kristanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo