Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohamad Ikhsan*
Keraguan akan keampuhan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) atau sistem cash transfer tak hanya terjadi di Indonesia. Walaupun secara teoretis semua buku teks Principles of Economics menunjukkan pemberian bantuan tunai akan memberi dampak kesejahteraan lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk transfer lain, tetap saja banyak kalangan, termasuk akademikus, meragukannya. Keraguan ini juga muncul dalam program BLT/BLSM 2005 dan 2008.
Sebagian tantangan tersebut bersumber dari aneka mitos yang berkembang di masyarakat: BLSM tidak efektif; BLSM akan menyebabkan orang menjadi malas; BLSM akan menghancurkan modal sosial di masyarakat, seperti gotong-royong; BLSM akan dipakai oleh kepala keluarga untuk keperluan yang tidak penting, seperti rokok; dan sebagainya. Padahal BLSM bukan satu-satunya program kompensasi yang diberikan. Hasil evaluasi program alternatif sebetulnya menunjukkan tingkat efektivitas yang lebih rendah dibanding BLSM.
Dalam menilai suatu program kompensasi, ada beberapa kriteria yang dapat digunakan: pertama, ketepatan sasaran program. Dalam kasus kompensasi bahan bakar minyak, BLT/BLSM akan lebih tepat dibandingkan dengan program yang lain karena sifatnya fleksibel dalam mempertahankan daya beli keluarga miskin. Kriteria ini bisa kita gunakan untuk menilai mitos yang berkembang di masyarakat bahwa BLSM tidak efektif.
Transfer BLSM yang rata-rata 15 persen dari pengeluaran per kapita sudah cukup untuk mencegah keluarga yang berada di sekitar garis kemiskinan (rumah tangga sasaran/RTS) untuk tidak jatuh kembali dalam perangkap kemiskinan. Terjadi pula spill-over effect dari BLT pada keluarga bukan penerima. Pengeluaran BLT—oleh penerima BLT—mendorong kenaikan penerimaan masyarakat secara keseluruhan. Tak mengherankan bila tingkat kemiskinan berhasil turun dari 15,4 persen pada Maret 2008 menjadi 14,8 persen pada Maret 2009, dan laju pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan. Tahun ini pun diharapkan angka kemiskinan tetap akan mengalami penurunan walaupun harga BBM dan tingkat inflasi meningkat.
Kriteria kedua ketercukupan atau memadai (adequate). Program harus mencakup semua kelompok sasaran—kelompok keluarga miskin kronis, kelompok keluarga miskin transien, dan kelompok rumah tangga yang terpengaruh oleh program reformasi (losers). Memadai juga dilihat dari jumlah dan waktunya. Sekali lagi dalam hal ini BLSM lebih unggul dibandingkan dengan program lain karena diberikan dalam jumlah yang pas, baik dari sisi benefit per kapita maupun durasinya.
Kriteria ketiga pemenuhan prinsip equitable dan fair. Program jaring pengaman sosial yang baik adalah program yang memperlakukan penerima manfaat secara fair dan merata (equitable), baik secara horizontal maupun vertikal. Beberapa program, seperti BLSM dan beras untuk rakyat miskin (raskin), memenuhi kriteria ini, tapi untuk program padat karya sangat bergantung pada desain program karena celah moral hazard dari kelompok bukan RTS lebih terbuka lebar.
Kriteria keempat, program harus cost effective. Program jaring pengaman sosial dapat dikatakan cost effective jika menyalurkan sebagian besar dana ke RTS dengan biaya yang minimal. BLT/BLSM juga lebih unggul dibandingkan dengan program raskin atau program padat karya karena kedua yang terakhir tergolong tinggi biaya administrasinya.
Kriteria kelima, setiap intervensi pemerintah mempunyai potensi untuk mengubah tingkah laku pelaku ekonomi, baik dari aspek positif maupun negatif. Dari sisi positif, program padat karya akan menghasilkan tambahan aset fisik publik yang akan memberi dampak yang positif terhadap investasi. BLSM bersyarat dapat meningkatkan investasi sumber daya manusia yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Tapi, dari sisi negatif, program di atas dapat menyebabkan kemalasan sehingga mengurangi jam kerja yang seharusnya. Begitu pula desain program padat karya yang tidak tepat dapat menimbulkan crowding-out effect karena mendorong orang yang bekerja untuk berpartisipasi dalam program dan sekaligus mengurangi kesempatan bagi penganggur. Karena itu, program harus didesain sedemikian rupa hingga tidak berlebihan.
Yang relevan dengan kriteria kelima ini adalah mitos yang berkembang bahwa BLSM akan menyebabkan orang menjadi lebih malas. Sekali lagi bukti dari Susenas tidak mendukung hal ini. Kepala rumah tangga yang menerima tidak mempunyai kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaannya. Penjelasannya, jumlah bantuan cenderung kecil dan bersifat sementara, sehingga tidak cukup memberi insentif untuk meninggalkan pekerjaan. Analisis menggunakan data Susenas ini justru menunjukkan penerima BLSM mempunyai kecenderungan untuk melaporkan bahwa mereka menemukan pekerjaan baru—mungkin menggunakan uang BLSM untuk transportasi dengan penghasilan yang lebih baik. Banyak program alternatif justru menimbulkan ketergantungan yang tinggi, seperti subsidi BBM sendiri atau subsidi pupuk yang berdasarkan banyak riset telah melenceng dari tujuannya.
Ada kekhawatiran pula BLSM akan menghancurkan modal sosial di masyarakat seperti gotong-royong. Tidak ada riset yang membenarkan atau membatalkan klaim tersebut. Namun secara logika, karena pemberian BLSM bersifat sementara dan jumlahnya terbatas, erosi modal sosial ini kecil kemungkinan terjadi.
Insentif dalam bentuk uang tunai ini tidak dimungkiri mengundang sejumlah pungutan yang diambil oleh oknum kelurahan. Survei menunjukkan pungutan 5 persen pada 2005 dan 40-an persen pada 2008 saat aparat pemda dilibatkan untuk menentukan penerima. Kejadian ini berdasarkan indikasi dari sistem Lapor yang dikembangkan oleh UKP4 masih terjadi dalam pelaksanaan tahun ini, tapi dengan sosialisasi diharapkan dapat diturunkan pada tingkat yang minimum.
Kriteria keenam adalah program harus berkelanjutan dan tidak menciptakan ketergantungan dan bersifat dinamis. Program juga harus dijaga berkelanjutan secara finansial sesuai dengan kebutuhan. Program yang baik tidak menciptakan ketergantungan individual atau keluarga terhadap transfer dari pemerintah. Program yang baik harus mampu meningkatkan kapasitas peserta untuk keluar dan tidak tergantung pada transfer dari program. Pengalaman pada 2005 dan 2008, program ini dapat diterminasi dengan mudah tanpa implikasi masalah sosial dan politik. BLSM secara teknis ekonomis juga dapat dimobilisasi segera dan menunya bergerak sesuai dengan kebutuhan.
Mitos lain bahwa BLSM akan dipakai oleh kepala keluarga untuk keperluan lain, seperti rokok, tampaknya tidak terbukti. Data dari Susenas 2006 dan 2009 yang digunakan untuk mengevaluasi dampak BLT 2005 dan 2008 menegaskan bahwa BLT digunakan oleh kepala rumah tangga untuk membeli barang kebutuhan pokok (terutama beras), keperluan sekolah dan Lebaran, atau melunasi utang. Tidak ada bukti bahwa pengeluaran untuk rokok atau alkohol meningkat relatif dibandingkan dengan keluarga bukan penerima BLT.
Aspek penting untuk menentukan ketepatan data adalah tersedianya database. Pemerintah telah melakukan pemutakhiran data PPLS setiap tiga tahun dan memperbaiki metodologi untuk menentukan rumah tangga sasaran. Dengan perbaikan tersebut, mengapa masih terjadi kesalahan dan penentuan rumah tangga sasaran? Penyebabnya, pertama, ada sekitar 12 ribu kartu penerima (atau 0,09 persen) yang kembali umumnya karena meninggal atau pindah alamat. Kedua, perbaikan database menyebabkan banyak inclusion error yang terjadi pada 2005 dan 2008 tereliminasi. Sebagian yang memprotes adalah rumah tangga yang kebagian di masa lalu tapi sekarang tidak kebagian. Ketiga, proxy mean test sebagai metodologi seleksi adalah kumpulan beberapa indikator. Kalau membandingkan dua rumah tangga dengan dua indikator kita sering terkecoh, tapi dengan menggabungkan beberapa indikator kita akan paham mengapa suatu rumah tangga terpilih walaupun kondisi rumahnya lebih baik daripada yang tidak terpilih karena dalam indikator lain skornya lebih buruk.
Keempat, walaupun dilakukan perbaikan dalam metodologi untuk menangkap rumah tangga miskin atau nyaris miskin, ketepatan hingga 85 persen pun dalam best practice-nya sangat jarang ditemui di seluruh dunia. Kemungkinan kesalahan dalam pencacahan tetap sangat mungkin terjadi. Apalagi di Indonesia, di mana dinamika perubahan pendapatan rumah tangga sangat tinggi dan perbedaan pengeluaran per kapita di antara penduduk sangat kecil dan jumlahnya sangat besar. Alhasil, munculnya kasus di sana-sini menjadi sesuatu yang dapat dimaklumi.
*) Profesor Ekonomi Universitas Indonesia dan Peneliti Senior LPEM-UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo