Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ekonomi-Politik Program BLSM

28 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Tony Prasetiantono*

Dalam beberapa pekan terakhir, setiap hari kita disuguhi berita distribusi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang salah sasaran. Orang yang berhak justru tidak menerima alokasi, sebaliknya orang yang dianggap "kaya" malah mendapatkannya. Akibatnya, timbul ketegangan fisik antara masyarakat dan aparat. Kejadian ini merupakan ulangan dari kebijakan pembagian bantuan langsung tunai (BLT) yang dilakukan pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama.

BLSM bisa diibaratkan sebilah pedang bermata dua. Di satu sisi, bisa menjadi instrumen pemerataan ekonomi (equality) serta memproteksi kelompok masyarakat berpendapatan terendah. Namun, di sisi lain, sering menjadi pemicu gejolak konflik fisik di tengah masyarakat miskin secara tidak perlu. Baik BLT maupun BLSM juga secara politis dianggap menguntungkan inkumben menghadapi pemilu.

Skema BLSM bukanlah hal yang khas Indonesia, karena kebijakan ini disarankan Bank Dunia melalui ekonomnya di Asia-Pasifik, Vikram Nehru, kepada negara-negara berkembang yang mengalami masalah kenaikan harga pangan (2012). Pemberian bantuan langsung tunai adalah salah satu solusi. Bukan cuma di negara berkembang, di negara maju pun terdapat berbagai skema untuk mewujudkan negara sejahtera (welfare state).

Ketika menjadi mahasiswa di Amerika Serikat, saya kerap berada dalam antrean panjang untuk berbelanja di sebuah supermarket. Ketika hendak membayar, kasir selalu bertanya, "Apakah mau membayar dengan kupon?" Pertanyaan standar ini rupanya ditujukan kepada pembeli, kalau-kalau dia adalah warga negara Amerika yang miskin, yang diberi kupon oleh pemerintah. Kupon tersebut bisa dipakai sebagai alat bayar pembelian makanan, seperti daging, susu, roti, dan sayuran. Nilainya sekitar US$ 200 per pekan atau US$ 800 per bulan.

Angka tersebut lebih besar daripada beasiswa yang saya terima sekitar US$ 740 per bulan—yang notabene separuhnya habis dipakai membayar kontrak apartemen di dekat kampus. Dengan kata lain, kualitas hidup saya lebih rendah daripada warga negara Amerika termiskin yang disubsidi pemerintah. Beasiswa untuk sekolah memang selalu berada di batas bawah, untuk menghindari praktek moral hazard, agar mahasiswa prihatin dan bekerja keras, sehingga lulus tepat waktu.

Pengalaman di Canberra, Australia, lain lagi. Pada 2002, seorang kawan saya, mahasiswa S-3 dari salah satu negara berkembang, terheran-heran karena di rekeningnya setiap dua pekan tertransfer dana AU$ 800, yang berarti AU$ 1.600 per bulan. Jumlah ini lebih besar daripada beasiswa yang dia terima AU$ 1.500 per bulan. Belakangan baru ketahuan telah terjadi kekeliruan transfer oleh pemerintah Australia. Istri kawan saya tersebut melahirkan, kemudian dia diminta mengisi formulir di Internet sebagai database demografi dan pemberian bantuan kepada keluarga miskin warga negara Australia. Ketika ditanya berapa penghasilannya sebulan, dia menyebut AU$ 1.500. Karena angka ini termasuk kategori miskin, pemerintah pun mengiriminya uang bantuan setiap dua pekan. Sistem di Internet ternyata salah memverifikasi, sehingga kawan saya yang bukan warga negara Australia menerima transfer, padahal dia tidak berhak. Kesalahan ini baru terdeteksi sesudah sembilan bulan!

Cerita tersebut membuktikan bahwa setiap skema pemberian bantuan kepada kelompok miskin selalu saja menyisakan celah kelemahan. Tak ada yang sempurna. Namun, yang penting, bagaimana kita berusaha meminimalkan kelemahan itu. Di Indonesia, kelemahan tersebut terjadi pada dua titik terpenting.

Pertama, praktek moral hazard. Ini adalah penyakit terbesar dalam perekonomian yang menyangkut etika dan karakter para pelaku ekonomi. Praktek moral hazard terjadi pada setiap lini kehidupan tanpa kecuali. Baik orang kaya maupun miskin sama-sama berpotensi melakukannya. Istilah moral hazard pertama kali diperkenalkan oleh Kenneth Arrow (1985). Sedangkan menurut ekonom Spanyol, Andreu Mas-Collel (1995), praktek moral hazard yang paling mendasar terjadi pada industri asuransi, ketika nasabah asuransi bisa mengelabui perusahaan asuransinya melalui klaim "bodong".

Dalam kasus BLSM, praktek moral hazard yang paling standar adalah alokasi pemberian bantuan yang salah. Dana BLSM terdistribusikan kepada orang-orang yang tidak berhak, baik secara sengaja maupun tidak. Tindakan ini me­representasikan lemahnya integritas aparat di satu sisi dan masyarakat penerima bantuan di sisi lain.

Kedua, kelemahan data. Dalam teori ekonomi, kelemahan data berpotensi menyebabkan informasi yang tidak simetris. Imbasnya, kebijakan yang diambil tidak optimal atau tidak efisien. Ketersediaan dan akurasi data merupakan masalah besar dalam perekonomian Indonesia.

Dalam kasus BLSM, data penduduk miskin bisa beragam. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin 7,5 juta rumah tangga. Namun, ketika program BLSM hendak diluncurkan, muncul angka 18,5 juta rumah tangga (Tempo.co, 22 Maret 2012). Perbedaan angka yang tajam ini tidak hanya menimbulkan perbedaan subsidi yang mesti ditanggung APBN, tapi juga dampak politiknya. Semakin besar jumlah masyarakat penerima BLSM, semakin besar peluang inkumben "mencuri hati" para pemilih dalam Pemilu 2014.

Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya BLSM diluncurkan. Pemerintah mengalokasikan Rp 9,3 triliun bagi 10,6 juta rumah tangga miskin. Selain itu, masih ada program raskin, yakni beras untuk rakyat miskin (Rp 4,3 triliun), bantuan siswa miskin (Rp 7,5 triliun), dan keluarga harapan (Rp 700 miliar).

Anggaran BLSM Rp 9,3 triliun sesungguhnya tidak besar. Ini masih jauh di bawah subsidi BBM Rp 200 triliun dan subsidi listrik Rp 100 triliun. Jika diasumsikan 60 persen subsidi BBM alokasinya salah, nilainya mencapai Rp 140 triliun. Kalau BLSM mengalami maksimal 10 persen alokasi yang salah, nilainya "hanya" Rp 930 miliar.

Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus misalokasi dana BLSM dan subsidi energi. Pertama, alokasi BLSM masih rawan kesalahan sasaran. Dari sisi besaran, sebenarnya tidak mengkhawatirkan. Namun, dari segi keadilan, kita tidak boleh mentoleransi kesalahan alokasi yang sudah terjadi secara berulang-ulang. Pemerintah harus mendorong tegaknya integritas aparat untuk meminimalkan alokasi yang salah sasaran.

Kedua, karut-marut data masih menjadi kendala. Sistem pencatatan data kependudukan tunggal secara nasional (single identity number) melalui program e-KTP bisa menjadi tumpuan asa solusi. Sayangnya, hingga hari ini, e-KTP belum juga dapat diselesaikan secara tuntas. Kelak, jika database nasional sudah dibangun, distribusi BLSM akan membaik.

Ketiga, kita tidak boleh hanya terlena oleh isu distribusi BLSM, karena persoalan terbesar APBN kita yang sesungguhnya masih terletak pada besarnya subsidi energi (BBM dan listrik). Salah sasaran pada program BLSM nilainya maksimal Rp 930 miliar, tapi salah sasaran subsidi BBM menyebabkan kerugian Rp 140 triliun—sungguh jumlah yang mencengangkan.

Secara sistematis, ke depan harga BBM harus didekatkan ke harga keekonomiannya. Masalah terbesarnya, secara psikologis masyarakat belum menyadari bahwa kita bukanlah negara minyak lagi, sebagaimana dulu pada 1980-1990-an. Kini BBM adalah komoditas langka yang harganya tidak mungkin murah.

Belajar dari Turki—negara yang mata uangnya pernah mencapai US$ 1 ekuivalen 1,6 juta lira pada 1990-an—kini harga BBM-nya sekitar Rp 24 ribu per liter, atau sama dengan di Swedia, negara yang terkenal dengan welfare state-nya. Kenapa masyarakat Turki bisa menerima realitas ini? Karena mereka tidak pernah punya pengalaman menjadi negara produsen minyak. Minyak harus diimpor dari tetangganya, Irak. Karena itu, mereka tidak pernah menikmati "kemewahan" harga minyak murah. Ketika pemerintah justru mengambil untung dengan memajaki penjualan BBM, masyarakat tidak terusik. Harga BBM mahal adalah hal yang lazim sejak dulu.

"Pekerjaan rumah" inilah yang akan menjadi agenda besar bagi presiden sesudah Susilo Bambang Yudhoyono. Kita membutuhkan presiden yang bisa meyakinkan dan memberi pemahaman kepada rakyat tentang berbagai realitas kehidupan yang sesungguhnya berbeda (lebih jelek) dibandingkan dengan ekspektasi dan asumsi.

*) Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus