Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nun di kaki Gunung Merapi di Yogyakarta, Sutiyoso berkata kepada Mas Ngabehi Surakso Hargo alias Mbah Maridjan. ”Saya kalah populer dibanding Mbah,” katanya dengan rendah hati. ”Karena itu, saya datang untuk berguru.”
Kita tak tahu apakah kunjungan yang diselenggarakan mantan Gubernur DKI itu sekadar sowan atau memang Sutiyoso merasa perlu ikut kursus popularitas kepada si Mbah Maridjan. Yang jelas, hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia memang menunjukkan Bang Yos, demikian ia akrab dipanggil, hanya mendapat empat persen suara dari 60 responden yang tersebar di lima wilayah kota di Jakarta.
Puluhan responden mungkin terlalu minim untuk mewakili opini warga Jakarta yang berjumlah sembilan juta orang. Maka mari kita tengok survei yang dilakukan Mei lalu. Ketika itu, 1.090 warga di hampir separuh kelurahan di Jakarta menjadi responden. Hasilnya ternyata belum terlalu menggembirakan. Satu dekade memimpin Jakarta, bekas panglima kodam itu belum memiliki tabungan politik yang cukup untuk berkantor di Istana Merdeka. Jajak pendapat menunjukkan hanya 2,7 persen responden yang mendukung Sutiyoso menjadi presiden.
Hasil ini, mau dipercaya atau tidak, tentu saja memprihatinkan bagi siapa saja yang kepingin memimpin negara sebesar Indonesia. Jakarta memang mengenal Sutiyoso. Semasa dia menjadi gubernur, ucapannya hampir setiap hari menghiasi halaman media massa. Poster bergambar dirinya juga tersebar di berbagai sudut kota. Tapi semua itu ternyata bukan jaminan ia figur populer di negara ini. Jakarta bukan Indonesia.
Minimnya dukungan bagi Sutiyoso saat ini bukan hal yang mengejutkan bagi sosiolog Universitas Indonesia, Imam Budi Prasodjo. ”Sutiyoso tipe pemimpin top-down,” katanya. Imam menunjuk rekam jejak Sutiyoso sebagai pejabat lazimnya atas dukungan penguasa yang lebih tinggi. Artinya, selama ini, jenderal bintang tiga itu bukan pemimpin yang lahir dari dukungan publik. Pembina klub sepak bola Persija Jakarta ini menjadi gubernur pada 1997 atas titah Presiden Soeharto. Lima tahun berikutnya, ia terpilih berkat dukungan Presiden Megawati.
Dalam dua pemilihan gubernur, Sutiyoso dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bukan lewat pemilihan langsung. Tapi sayang, dua masa pemerintahan itu, kata Imam, tidak dimanfaatkan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang bisa merebut simpati sebagian besar warga. ”Justru banyak kebijakannya yang penuh kontroversi,” katanya. Contohnya adalah penggusuran yang tiada habis-habisnya. ”Sutiyoso tidak peduli rakyat miskin,” kata Matari, korban penggusuran di Tambora, Jakarta Barat.
Di bidang tata kota, dalam dua masa pemerintahannya, tiga kali banjir besar melanda Jakarta: 1997, 2002, dan Februari tahun ini. Pembangunan kanal banjir timur tersendat-sendat, sementara lahan hijau terus berkurang. Selain itu, Sutiyoso di masa kepemimpinannya sebagai gubernur ngotot membangun busway di antara protes sebagian masyarakat. Lalu lintas Jakarta justru makin ruwet. Kemacetan terjadi di mana-mana, tak terbatas pada jam sibuk pagi dan sore.
Seraya mengkritik, Imam masih melihat sisi positif Sutiyoso yang menarik bagi massa pemilih. ”Sutiyoso tegas dan cepat dalam mengambil keputusan, terlepas apakah keputusan itu tepat atau tidak,” ujar Imam. Gayanya bertolak belakang dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang selama ini dianggap sering ragu dalam mengambil keputusan. Jika popularitas SBY terus menurun, Sutiyoso bisa menjadi alternatif di tengah dominasi nama-nama lama kandidat presiden.
Kelebihan berupa sikap yang tegas itu, menurut Ryaas Rasyid, bekas Menteri Otonomi Daerah, dapat digali untuk menebar popularitas. ”Tinggal bagaimana tim Sutiyoso bekerja,” katanya. Ryaas tak mempermasalahkan hasil survei yang minim, karena jajak pendapat digelar sebelum Sutiyoso mendeklarasikan kesiapannya menjadi presiden bulan Ramadan tahun ini.
Setelah deklarasi ini, dan setelah kampanye Sutiyoso, juga hasil bergurunya dengan Mbah Maridjan ke kaki Gunung Merapi, bisa jadi persentase survei Sutiyoso akan naik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo