Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puing-puing bekas runtuhan gedung empat lantai itu membukit setinggi sekitar delapan meter. Sebuah traktor pengeruk terus menjulurkan lengan tunggalnya menggaruk sisa-sisa reruntuhan dan memindahkannya ke tepi. Para petugas penyelamat keluar-masuk di tiga lubang yang digali di sekitar bukit puing kampus Sekolah Tinggi Bahasa Asing Prayoga di Jalan Veteran, Kota Padang, itu.
Sudah tiga hari ini sekitar 60 petugas penyelamat dan tentara dari Batalion Infanteri 133 Yudha Sakti, Padang, mengaduk-aduk gedung yang runtuh akibat gempa. Mereka tengah berjuang menyelamatkan Suci Revika Wulan Sari, salah satu korban yang masih tertimbun.
Penyelamatan itu dimulai Kamis setelah petugas menemukan dosen bahasa Inggris itu masih hidup di salah satu lubang. Namun Suci belum bisa dikeluarkan karena terimpit dua mayat korban lain dan kakinya tertimpa balok besar. Petugas kemudian memberinya bantuan pernapasan dengan tabung oksigen dan infus sambil memotong balok.
Akhirnya, Jumat sore lalu Suci berhasil diselamatkan. Kemeja cokelat berkembang-kembang dan rok cokelat susunya berdebu, tapi dosen berambut pendek itu keluar dengan tubuh utuh. Wajahnya pucat, tapi mata dan kepalanya bergerak-gerak menunjukkan tanda-tanda kehidupan ketika ditandu ke ambulans yang langsung melarikannya ke Rumah Sakit M. Jamil.
Suci adalah korban kedua yang dapat diselamatkan pada hari itu setelah petugas mengeluarkan Ratna Sari, mahasiswa semester III sastra Inggris yang sedang mengikuti kuliah sang dosen bersama 15 mahasiswa lain.
Selain Suci dan Ratna, ada sekelompok mahasiswa yang berlatih karate di lantai empat yang masih tertimbun. ”Sulit memotong bagian beton yang runtuh,” kata Prajurit Dua Nani, anggota tim penyelamat dari Batalion Infanteri 133 Yudha Sakti.
Nani mengaku melihat empat kepala yang berjajar utuh, tapi anggota badan lainnya tak terlihat karena tertimbun. ”Saya pastikan mereka tewas, tapi sulit mengevakuasinya. Tidak mungkin kepalanya saya ambil,” katanya.
Selama proses evakuasi, sekitar seratus orang menanti penuh harap di sekitar kawasan. Mereka adalah para orang tua korban dan mahasiswa yang menanti nasib rekan-rekan mereka, seperti Rebekka, mahasiswa yang selamat dari tragedi itu.
Rebekka menuturkan bahwa tragedi itu terjadi ketika kompleks kampusnya masih ramai. ”Sekitar pukul 16.30, sudah banyak kelas yang keluar. Hanya ada satu-dua kelas yang masih belajar hingga kejadian. Saya sudah duluan turun,” tuturnya.
Saat gempa terjadi, kata Rebekka, mahasiswa langsung berhamburan ke luar gedung. ”Semua menjerit dan saya langsung lari ke tengah jalan raya. Ribut sekali dan ada suara seperti ledakan-ledakan. Saya tidak tahu bagaimana ambruknya kampus kami,” kata gadis asal Lubuk Dalam, Nias, itu.
Beberapa saat setelah kejadian, langit jadi gelap. ”Semua gelap-gulita. Saya sendiri duduk di samping trotoar. Sangat mengerikan. Banyak yang pingsan, meraung, dan entah suara-suara apa lagi. Saya seperti mau pingsan,” katanya.
Tak jauh dari Rebekka, sepasang suami-istri duduk bersandar rapat di dinding pos penjagaan. Tangan mereka berpegang erat. Sesekali keduanya menyeka lelehan air mata. Pandangan keduanya menerawang memandangi reruntuhan kampus itu. ”Boru Hasianku sudah pasti mati, tapi bangkainya tak dapat kulihat,” kata Op Maxwell Sipayung, ayah Sri Paulita Sipayung, mahasiswa yang masih tertimbun reruntuhan gedung itu.
Maxwell dan istrinya berada di sana sejak Rabu lalu. ”Tidak tega meninggalkannya. Sudah dua hari dua malam. Dia pasti sudah mati,” kata Opu Well Sijabat, sang istri.
Dua jam sebelum gempa terjadi, mereka masih menerima pesan pendek Sri yang berbunyi, ”Aku di kampus, Pak. Kami mulai kuliah. Sehatnya aku. Jangan lupa belikan sepatu dan baju ulang tahunku.”
Sri memang akan berulang tahun yang ke-21 pada 10 Oktober. ”Saya janji membelikannya sepatu dan baju. Tapi, belum kubelikan, dia sudah duluan ke surga,” kata Maxwell.
Sri memang meninggalkan orang tuanya dan semua sahabatnya. Bersama 12 korban lain yang tertimbun, jenazahnya dapat diambil dari reruntuhan, Sabtu pekan lalu. Tak ada lagi kehidupan di Sekolah Tinggi Bahasa Asing itu.
Jupernalis Samosir (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo