Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pada Gitar <font color=#990000>Mereka Setia</font>

Empat gitaris menekuni musik instrumental gitar. Mereka merevitalisasi daya tarik alat musik berdawai yang tergolong populer itu.

5 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di usia hampir setengah abad, Donny Suhendra seperti membuktikan perumpamaan anggur bagi gitaris: dia justru kian memikat. Setiap kali tampil di panggung, kepada penonton dia memperlihatkan bukan saja jemarinya yang gesit tak pernah meleset meniti not demi not di papan fret, tapi juga bagaimana nada yang dihasilkan sungguh merupakan rangkaian bebunyian dan harmoni yang mempesona dan mengejutkan.

Di Teater Salihara pada awal September lalu, misalnya. Di hadapan penonton yang memadati ruang pertunjukan, dia menampilkan repertoar sembilan lagu atau komposisi dengan rentang elemen musik yang sangat le­bar. Dengan Godin nya, dia bisa menghadirkan suasana Sunda nan damai, jazz yang kaya tekstur dan terasa hangat, rock yang ener­getik, juga fusion yang lincah. De­ngarlah petik­an legato nya pada Water: betapa mengalir bening dan berpadu harmonis dengan bagian bagian ­solonya yang dinamis. Atau bagaimana napas rock terasa begitu berat pada Kano, yang mengingatkan orang pada Allan Holdsworth, gitaris fusion asal Inggris.

Dengan kelompoknya, Donny Su­hendra Project, yang diperkuat oleh Kristian Dharma (bas) dan Demas Narawangsa (drum), Donny sudah seperti hilir mudik di berbagai pertunjukan. Setelah di Salihara, dia tampil pula di Jazz for West Java, acara penggalangan dana untuk korban gempa bumi di Jawa Barat, yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 12 September lalu. Sebelumnya dia tampil antara lain di Goethe Institut dan Bentara Budaya, juga di beberapa kota lainnya. Tiap pertunjukan selalu padat penonton.

Donny tak sendiri dalam hal itu. I Dewa Gede Budjana punya pengalaman tampil, bersama Tohpati Ario Hutomo dan I Wayan Balawan, keduanya juga gitaris ”papan atas”, dalam skala yang lebih besar di enam kota dengan antusiasme penonton yang meluap di tiap kota. ”Di Bandung bahkan ada (penonton) yang mau membayar Rp 1 juta untuk satu tiket, padahal harga resmi­nya Rp 100 ribu,” kata gitaris dan pendiri Gigi ini di sebuah studio di Bintaro, Jakarta, dua pekan lalu.

Bersama Tohpati dan Balawan, Bu­djana bermain dengan bendera Trisum. Inilah format konser instrumental gitar yang belum ada duanya di Indonesia. Penggemar musik dan gitar barangkali sudah akrab dengan format serupa bertaraf internasional yang menghimpun Joe Satriani, Steve Vai, dan gitaris ketiga yang berganti ganti, mulai pertengahan 1990 an. Atau masa sebelumnya, pada 1980 an, dengan trio Al Di Meola, John McLaughlin, dan Paco De Lucia.

Trisum, yang mulai diperkenalkan ke khalayak pada 2005 dengan konser di Graha Bhakti Budaya, memang terhitung sukses. Tapi bagi Budjana, juga Tohpati dan Balawan, konsep pertunjukan itu hanya satu fase dari ikhtiar mereka dalam berkarya sebagai gitaris. Mereka sudah lebih dulu memulai­nya dengan merekam album berisi komposisi yang menonjolkan gagasan tentang gitar dan permainan mereka pada instrumen musik berdawai yang populer itu.

Budjana boleh dibilang pelopornya. ”Waktu itu saya nekat saja,” kata gitaris kelahiran 30 Agustus 1963 yang mengaku terpengaruh antara lain oleh John McLaughlin dan Pat Metheny ini mengenang. Kebetulan dia punya sejumlah komposisi yang dia kumpulkan sejak masa bermain bersama Squirrel, band pertamanya yang dibentuk di Surabaya pada 1980. Dan dia beruntung pula karena sukses Gigi, band yang didirikan pada 1994, memungkinkannya memperoleh modal finansial untuk proyek yang lebih personal itu.

Album itu direkam live. Dia menggandeng antara lain Arie Ayunir (drum, perkusi), Bintang Indrianto (bas), Indra Lesmana (piano), dan Riza Arshad (akordeon). Terdiri atas sepuluh komposisi, termasuk satu medley, album itu diberi judul Nusa Damai dan diri­lis pada 1997.

Tohpati menyusul setahun kemudian, juga Donny dan Balawan tak lama se­sudah itu. Tohpati merilis album Tohpati (1998), sedangkan Donny dan Balawan masing masing keluar dengan Di Sini Ada Kehidupan (1999) dan Globa­lism (1999, bersama Batuan Ethnic Fusion). Kecuali Donny, yang baru akan melanjutkan solonya dengan album terbaru, Budjana, Tohpati, juga Balawan sudah menambah panjang daftar dis­kografi masing masing. Budjana berturut turut merilis Gitarku (2000), Samsara (2003), dan Home (2005). Tohpati dengan Serampang Samba (2007) dan It’s Time (2008). Sedangkan Balawan dengan Magic Finger (2005) dan See You Soon (2009).

Mengapa instrumental gitar, format yang terbatas audiensnya? Mereka menganggap apa yang mereka lakukan merupakan hal yang wajar untuk gita­ris. Misalnya bagi Donny, yang sudah keluar masuk aneka band dengan beragam jenis musik dan pada 1985 terpilih sebagai gitaris terbaik dalam Yamaha Light Music Contest, gitar merupakan ”media untuk bernyanyi”.

Ada tantangannya, tentu saja. Berbeda dengan lagu berlirik, komposisi instrumental mesti mampu berbicara, menyampaikan pesan atau cerita atau maksud, melalui keseluruhan komposisi. ”Seperti menonton DVD tanpa teks,” Donny mengumpamakan. Kata Tohpati, ”Dengan judul begini lalu komposisinya begini, sehingga orang bisa mengarah ke satu tema dan bisa memvisualisasikan sendiri.”

Yang pasti, unsur personal sangat kental di situ. Dan karenanya pula, apa yang mereka sajikan pun berbeda satu dengan yang lain—ini sisi yang menguntungkan buat penggemar musik instrumental gitar.

Budjana malah sudah ­menunjukkan betapa di antara album albumnya sendiri pun ada keragaman, sesuai dengan yang dia inginkan terhadap musik yang dia buat. Misalnya, jika dengan album pertamanya dia lebih ingin mewujudkan wadah bagi sejumlah komposisi­nya, dengan album kedua dia lebih spesifik ingin menjadikannya sebagai sarana untuk relaksasi dan meditasi. Ini lompatan. Tapi bukan tanpa hasil. ”Beberapa orang mengaku bisa tenang mendengarkan Gitarku,” katanya.

Album yang dirilis oleh Sony Music Entertainment Indonesia itu memang memuat komposisi yang dibuat sederhana. Improvisasinya tak rumit. Tata suaranya cenderung natural, kesukaan Budjana. Dan tema yang diekspresikan—refleksi perjalanan hidupnya, kariernya, juga hubungan baik antara musisi Indonesia dan negara negara lain—sangat selaras dengan pola musiknya.

Perjalanan hidup pribadi juga menjadi tema album Donny. Album ini, baru saja dirilis ulang dalam format compact disc dengan tambahan satu lagu baru (”Ada teman yang menyarankan begitu,” katanya), boleh dibilang meringkaskan dengan pas karier Donny sebagai gitaris yang multifaset. Ia juga mengandung pengaruh daerah asal Donny, Jawa Barat—seperti Budjana yang sulit melepaskan diri dari suasana Bali. Memang tak sampai dominan. Pada nomor Mata Hati, yang merupakan refleksi Donny terhadap asal usul keluarganya, dia membubuhkan idiom Sunda yang terasa menyatu dalam komposisi secara keseluruhan.

Elemen tradisi atau etnis justru menjadi perhatian serius Tohpati dan Ba­lawan. ”Saya sadar bahwa saya adalah musisi Indonesia, yang tidak boleh lepas dari tradisi,” kata Tohpati, 38 tahun, yang mengaku sebagai gitaris cenderung berada di antara penyuka variasi akor dan solo. Begitu pula Balawan, 35 tahun, yang sengaja menjadikan musik tradisional sebagai salah satu referensi: ”Saya gitaris Indonesia, seharusnya bisa membawa ciri khas Indonesia.”

Dan sikap itu muncul dengan penuh percaya diri dalam album album mereka. Balawan malah menjadikan elemen itu sebagai bagian dari gaya permainannya, misalnya karakter bebu­nyian Bali yang agresif dan cepat karena banyak not yang berdiri sendiri dan membutuhkan kecepatan tinggi. ”Saya cenderung soloing,” kata Balawan, yang untuk permainannya mengembangkan eight fingers tapping style, teknik sentuh dawai yang mengingatkan pada Stanley Jordan, gitaris jazz dari Amerika Serikat.

Karakter permainan, juga arah dan warna karya, boleh berbeda. Toh, ada saja kesamaan di antara mereka: bahwa mereka terus mencari, mengeksplorasi, dan selalu ingin lebih maju. Mengaku paling cocok dengan Fender Stratocaster, Tohpati merasa belum menemukan suara khas untuk gitarnya—padahal, asal tahu saja, penampilannya di album mutakhir simakDialog, kelompok jazz etnis yang didirikan keyboardist Riza Arshad, memperoleh pujian majalah Guitar Player. Balawan pun terus berusaha agar orang mengenali ciri khasnya, bukan semata keterampilan teknisnya. ”Gaya yang saya banget, itu yang saya kejar,” ujarnya.

Mereka tahu, untuk semua itu tak ada batas yang menghalangi. Gitar, terutama gitar elektrik, memang sudah berperan lebih dari setengah abad dalam aneka spektrum musik pop (dalam pengertian luas). Sudah banyak, terlalu banyak malah, yang dilakukan dengannya. Tapi mereka masih melihat ada kemungkinan yang belum ditemukan. Tohpati, misalnya, penasaran ingin ada gitar yang bisa menghasilkan suara kecapi. Pembuat gitar bilang mustahil. Tapi, ”Saya tidak percaya. Sitar saja bisa,” ujarnya. Jika meminjam kata kata Budjana, ”Gitar itu misteri, seperti wanita. Sampai mati mungkin baru ketemu 100 persen misterinya.”

Purwanto Setiadi, Ismi Wahid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus