Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemuda itu menyandarkan tubuhnya ke pagar setinggi satu meter, pembatas antara dirinya dan meja pelayanan di Kantor Sekretariat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit Dr M. Djamil, Padang. Matanya terus menatap foto-foto yang terhampar di meja, mencari-cari barangkali ada seraut wajah yang dikenalnya.
Fitra, pemuda itu, tak sendiri. Jumat malam pekan lalu, pos komando evakuasi korban gempa itu terus dikerumuni warga Kota Padang dan sekitarnya. Ada yang melaporkan anggota keluarga yang tak kunjung pulang. Ada pula yang mengambil jenazah keluarga atau kerabat mereka.
Lindu berkekuatan 7,6 skala Richter menggoyang ranah Minang pada Rabu sore, pukul 17.16, membuat ribuan rumah dan gedung luluh-lantak dan ratusan orang dilaporkan hilang. Keluarga korban terpaksa mendatangi rumah sakit dan posko untuk mencocokkan identitas korban yang ditemukan.
Malam itu Fitra mencari keponakannya, Intan Permatasari, yang diduga ikut terkubur dalam runtuhan gedung pusat bimbingan belajar Gama di Jalan Proklamasi 6 A-B. Pada Rabu sore yang nahas itu, siswi kelas lima SD Alai itu mengenakan kaus oblong putih bermotif bunga dengan hiasan manik warna-warni.
Upaya pencarian Fitra tak sia-sia. Ia akhirnya menemukan foto jasad keponakannya itu di antara foto korban lain. Begitu melihat jenazahnya, jemari Fitra bergetar. Matanya basah. ”Ibu dan bapaknya menunggu dia di rumah,” katanya.
HINGGA hari keempat setelah gempa, evakuasi masih menjadi fokus aparat Pemerintah Daerah Sumatera Barat dan ratusan sukarelawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Sedikitnya sudah 147 jenazah dikembalikan ke keluarganya. Yuliana, 17 tahun, adalah korban terakhir yang diantar pulang ketika Tempo berkunjung ke sana pada Jumat malam itu. Dia meninggal akibat tertimbun reruntuhan gedung Sentral Pasar Raya.
Menurut data Pusat Koordinasi Terpadu Tanggap Darurat Sumatera Barat, hingga Sabtu malam pekan lalu, total korban meninggal sudah mencapai 550 orang, terbanyak di Kota Padang 239 dan Kabupaten Padang Pariaman 215.
Jumlah korban meninggal diperkirakan akan terus bertambah. Di Kota Padang saja, puluhan bahkan ratusan korban diduga masih terjebak di bawah reruntuhan gedung Gama, Hotel Ambacang, Lembaga Indonesia Amerika (LIA), Sentral Pasar Raya, dan lainnya. Di Padang Pariaman, lebih dari 200 warga dikhawatirkan tertimbun tanah longsor. Dan di Kabupaten Agam, 54 orang dilaporkan hilang.
”Saat itu ada 60 kamar yang terisi, tapi saya tidak tahu berapa yang terjebak di dalam,” cerita Ridwan, staf Hotel Ambacang. Ketika lindu mulai menggoyang, dia sedang di lantai dua. Ridwan hendak turun lewat tangga tapi bongkahan besar tembok runtuh menghalangi jalan. Karena panik, dia menerjang kaca jendela dan melompat turun, pas saat lantai tiga runtuh.
Hotel di Jalan Bundo Kandung, Padang, itu adalah salah satu bangunan yang paling parah kondisinya. Meski upaya evakuasi dilakukan sejak Kamis, hingga akhir pekan lalu diperkirakan masih banyak korban yang belum bisa dikeluarkan. Yang juga dilaporkan hilang adalah peserta seminar kelautan dari sejumlah daerah di Sumatera Barat. Baru satu orang yang selamat. Seorang anggota staf Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat dan seorang anggota staf dari Direktorat Jenderal Kelautan yang menjadi narasumber dinyatakan hilang.
Reruntuhan Sentral Pasar Raya juga belum dibongkar. Padahal pusat grosir tekstil, baju, sepatu, dan tas Kota Padang ini merupakan tempat yang selalu ramai. Saat tanah bergoyang dan tembok-tembok bangunan itu mulai roboh, hanya sedikit yang terlihat berhasil menerobos keluar.
”Saya lihat dari pintu depan hanya sekitar 20 orang yang keluar. Beberapa lari ke parkiran motor di belakang,” kata Dasril, 47 tahun, sopir angkot yang biasa mangkal di depan pasar itu. Kebetulan sore itu, sambil menunggu penumpang, dia berdiri tepat di depan pintu masuk. ”Saya lihat lantai empat ramai, kebanyakan anak muda,” katanya.
Menjelang salat Jumat, Dasril bercerita, dia dan beberapa orang lain mendengar teriakan lirih minta tolong dari dalam reruntuhan. Namun tak ada yang berani masuk. ”Kami kira hantu,” katanya. Karena suara itu terdengar terus, akhirnya sekitar pukul lima sore dia dan beberapa warga berhasil menerobos masuk. Ternyata itu suara anak perempuan berusia sekitar enam tahun, anak salah seorang pemilik toko. Kepalanya berdarah, tapi dia sadar. ”Kata anak itu, ada banyak mayat di dalam.”
Sejumlah kantor dan ruko juga belum dievakuasi. Antara lain BNI cabang Imam Bonjol Padang di depan Lapangan Imam Bonjol. Deretan toko di depan Masjid Nurul Imam, dan sejumlah ruko di beberapa jalan, dilaporkan menimbun korban.
Reruntuhan gedung kursus Quantum di Jalan Olo dan LIA di Jalan Khatib Sulaiman baru dibongkar pada Jumat siang. Belum ada kabar pasti jumlah korban yang dievakuasi. Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi mengatakan, tim evakuasi harus berhati-hati menangani bangunan bertingkat yang roboh dan mengubur korban.
Sabtu pagi pekan lalu, di bawah komando United Nations Disaster Assessment Coordination (UNDAC), sebelas tim dari berbagai negara mulai membongkar satu per satu bangunan, baik di Padang maupun daerah lain. Tim dari Australia, Uni Emirat Arab, Prancis, Jerman, Jepang, Hungaria, Korea, Malaysia, dan Inggris akan menyisir Padang. Kelompok penyelamat dari Singapura yang membawa perlengkapan penuh dan tim Swiss bertugas di Kabupaten Padang Pariaman.
”Kami percaya, masih ada banyak korban yang terjebak,” kata Koordinator UNDAC dari Singapura, Winston Chang. Tapi ia yakin masih ada korban yang mampu bertahan. ”Manusia bisa hidup tanpa air sampai tujuh hari,” ujar Chang.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman mereka di Filipina dan Taiwan, ada korban yang bisa bertahan hidup hingga 20 hari di dalam reruntuhan. Celah-celah di sela reruntuhan memungkinkan air hujan menetes masuk, dan ini menyelamatkan. Itu sebabnya, evakuasi di Padang masih bersifat penyelamatan. ”Sekarang kan baru hari keempat,” katanya.
Sehari sebelumnya, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke sana, Bupati Muslim Kasim melaporkan ada korban yang belum dievakuasi di Kecamatan Patamean, Nagari Tandike. Kabarnya, masih ada sekitar 280 penduduk di empat korong (desa) yang tertimbun tanah longsor akibat hujan lebat yang mengguyur daerah tinggi itu setelah gempa.
”UNTUNG, gampo-nya, sore. Kalau malam, tak tahu lagi,” kata Marsudin, 68 tahun, di depan warung anaknya di Jalan Syah Burhanudin, Korong Bunga Pasang, Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman. Di depan rumah-warung itu tiga rumah bersisian roboh. Itu rumah Marsudin dan saudaranya. Untungnya, tak ada yang terjebak atau luka-luka, meski hanya sedikit yang bisa mereka selamatkan dari bangunan yang rata tanah itu.
Karena letaknya lebih dekat dengan episentrum, hanya 56 kilometer, Pariaman memang menderita kerusakan lebih parah dibanding tempat lain di Sumatera Barat. Jika datang dari Padang, begitu masuk Padang Pariaman, terutama Kecamatan Ulakan Tapakis, pemandangan miris itu tampak seragam: rumah yang roboh atau rusak berat—sekitar tujuh dari sepuluh; tenda darurat yang betul-betul darurat, hanya ditopang kayu bekas bangunan dan tali bersambung, dengan atap plastik seadanya.
Data terakhir pusat koordinasi yang berkantor di rumah Gubernur Sumatera Barat, di Jalan Sudirman Padang, menunjukkan lebih dari 10 ribu bangunan di Padang Pariaman—rumah, kantor, masjid, bahkan bangunan yang sedang dikerjakan—rusak berat. Sebagian bahkan hanya menyisahkan atap utuh yang mencuat di tanah bak piramid mini. Di kawasan Bunga Pasang, dari 150-an rumah, tak lebih dari lima puluh yang masih berdiri tegak.
Marsudin tinggal tak jauh dari Masjid Taqwa di Ulakan, Pariaman. Dia punya dua rumah—bangunan lama warisan orang tua dan yang baru dia bangun beberapa tahun lalu. Kini dua-duanya hancur. Bersama istri dan empat anaknya mereka berkemah di tepi jalan, depan rumah. ”Sudah tiga hari tidak ada listrik,” katanya.
Lantaran kebanyakan warga di sana mengambil air minum dari sumur bor dengan pompa listrik, putusnya suplai listrik memotong pula akses mereka ke air bersih. ”Belum lagi minyak susah dan mulai mahal, seliter sampai Rp 15 ribu,” katanya.
Karena itu, Marsudin tak mengerti kenapa pemerintah sepertinya acuh tak acuh. ”Sampai sekarang belum ada bantuan. Yang datang sekadar bertanya pun tak ada,” katanya. Dia bahkan tertawa setelah mendengar kabar bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menemui bupati dan para elite lokal di kota kabupaten. ”Orang susah ada di sini, bukan di sana. Sudahlah.”
Di Olo Padang, Metparninda, 36 tahun, dan keluarga besarnya juga kehilangan 11 rumah. Kini mereka—sekitar 50 orang—tinggal di tenda darurat. Penutupnya dari plastik bekas reklame di pasar malam yang baru lewat. Ketika Tempo berkunjung, ibunya, Tingga, 72 tahun, menawarkan segelas air putih dari jeriken lima liter yang lusuh.
Metparninda dan para sepupunya sibuk mengumpulkan kayu, papan, seng, paku, dari bekas rumah mereka, untuk membuat tenda yang sedikit lebih baik. Dia enggan bicara tentang bantuan, dan melarang adiknya yang bekerja di Jakarta pulang, karena adiknya itu sudah berkeluarga. ”Kan semua kena musibah,” katanya tersenyum.
Selain Ulakan Tapakis, Kecamatan Sungai Limau, Sintuk, Nan Sabaris, dan Kecamatan Sintuk Toboh, rusak parah. ”Kami tidak bisa apa-apa sekarang,” kata Darjis Mansyur, Kepala Desa Cubadak, Sungai Limau. Hampir semua warganya—357 keluarga atau sekitar 2.000 orang—kini mondok di tenda depan rumah masing-masing.
Padang dan sejumlah daerah korban gempa di Sumatera Barat hingga akhir pekan lalu masih gelap tak ada listrik, bensin, dan minyak tanah, bahkan air bersih sulit diperoleh, banyak aktivitas terhambat. Di desa-desa, banyak pengantin yang berencana menikah setelah Lebaran batal berpesta. Mereka hanya bersaksi di depan penghulu, di bawah tenda yang berubah jadi pos penampungan korban gempa.
Di Kota Padang, jalan sering macet gara-gara antrean kendaraan bermotor dan warga berjeriken untuk membeli minyak di pompa bensin, yang sering memanjang hingga ratusan meter. Jumat sore pekan lalu, seusai kunjungan Presiden Yudhoyono, misalnya, sebagian jalur Padang-Pariaman, sepanjang sekitar 10 kilometer macet total sekitar tiga jam.
Tapi masih saja ada yang mengail di air keruh. Misalnya Imam, sebut saja namanya begitu, pengojek yang biasa mangkal di depan RS M. Djamil. Sudah dua hari dia absen mencari penumpang, dan menjadi penjual bensin eceran. Kalau mujur, dalam sehari dia bisa antre beberapa kali. Maklum, pembelian bensin dibatasi maksimal Rp 50 ribu dan maksimal Rp 100 ribu untuk yang bermobil. Bensin itu lalu dia jual kembali seharga Rp 15-25 ribu per liter. ”Rezeki sekali seumur hidup, Pak,” katanya.
Namun tidak sedikit pula yang seperti Hengky, bertekad menolong semampu dan sekuat tenaga. Operator Breaker Wheel Track itu mengaku sudah dua hari tak tidur. Bersama 36 rekan satu tim dari PT Semeng Padang, mereka membongkar reruntuhan bekas gedung bimbingan belajar Gama sejak Kamis. Hingga Jumat pagi lalu, sudah 17 jenazah yang dapat mereka keluarkan.
Berapa anak yang masih terjebak di reruntuhan gedung Gama tak ada yang tahu pasti. Dan itu tak penting bagi Hengky dan teman-teman. Mereka cuma ingin menuntaskan pekerjaannya, mencari semua korban. ”Tidak ada rasa capek,” kata Hengky ketika diajak bicara. ”Ini soal manusia, kami enggak mau nanti menyesal.”
Philipus Parera, Febrianti, Jupernalis Samosir, Ninin Damayanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo