Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum genap sebulan setelah gempa menggoyang Tasikmalaya, Jawa Barat, kulit bumi kembali mengentak Padang dan Pariaman di Sumatera Barat. Ratusan orang tewas-sebagian masih tertimbun bongkahan beton yang lantak. Dari celah-celah reruntuhan bangunan, bau busuk menyeruak menusuk hidung. Sarana komunikasi terputus. Antrean mengular di stasiun pengisian bahan bakar. Harga bensin di pedagang eceran sempat menyentuh Rp 30 ribu per liter. Harga bahan pokok melangit, sementara uang sulit diperoleh karena bank dan anjungan tunai mandiri tidak berfungsi.
- Pukul 17.16 WIB Kekuatan: 7,6 SR Pusat : 57 km barat laut Pariaman, kedalaman 71 km.
- Pukul 17.38 WIB Kekuatan: 6,2 SR Pusat: 22 km barat daya Pariaman, kedalaman 110 km.
Bukittinggi
Korban tewas : 7
Korban luka : 4
Rumah rusak: 230
Kota Pariaman
Korban tewas : 49
Padang
Korban tewas: 239
Korban luka: 1.715
Hilang: 8
Rumah rusak: 1.850
Pengungsi: 306
Padangpanjang
Rumah rusak: 220
Solok
Korban tewas: 4
Korban luka: 2
Rumah rusak: 335
KAB. TANAH DATAR
Korban tewas: 2
Bangunan rusak: 486
Kab. AGAM
Korban tewas: 24
Korban luka: 122
Hilang: 54
Rumah rusak: 14.183
Sarana PENDIDIKAN
Sarana kesehatan
Perkantoran
Jembatan
Sarana umum lain
Kesenjangan Gempa
Disebut juga seismic gap, merupakan kondisi tidak terjadi gempa hebat di zona rawan gempa untuk waktu panjang-biasanya lebih dari satu abad. "Inilah yang harus kita waspadai, karena berpotensi menjadi gempa besar," kata Cecep Subarya. Kesenjangan gempa antara lain terjadi di zona pertemuan lempeng di Selat Sunda dan di sekitar Kepulauan Mentawai.
1. Mentawai:
Gempa hebat terakhir terjadi pada 1797, 8,2 skala Richter. Ahli Paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, mengatakan bila energi yang tersimpang selama lebih dari dua abad itu tersalurkan, kekuatan gempa bisa mencapai 8,9 pada skala Richter. Gempa Sumatera Barat pekan lalu bisa menjadi faktor pelemah kuncian pertemuan lempeng Australia dan Eurasia di Mentawai.
2. Selat Sunda:
Gempa hebat terakhir terjadi pada 1908, 8,3 skala Richter. Energi yang tersimpan diduga berkurang karena pada 4 September lalu terjadi gempa dengan kekuatan 5,6 pada skala Richter.
Antara Mitos dan Fakta
Kemunculan awan aneh, kadang mirip awan bekas pesawat jet, dianggap sebagai pertanda akan datang gempa. Setelah gempa besar, banyak kesaksian warga melihat awan tersebut sebelum gempa. Cecep Subarya mengatakan, sejauh ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa awan yang kerap disebut awan gempa itu merupakan pertanda bakal datangnya lindu. "Pernah ada penelitian, tapi tidak tuntas, mungkin karena belum menemukan petunjuk yang meyakinkan," katanya.
Gempa Satu Lempeng
Seperti gempa Jawa Barat, lindu yang mengguncang Sumatera Barat terjadi jauh dari zona pertemuan dua lempeng: Australia dan Eurasia. Pusat gempa di lepas pantai Pariaman masih berjarak seratusan kilometer dari zona pertemuan dua lempeng yang berada di sekitar Kepulauan Mentawai. Sedangkan zona pertemuan dua lempeng tersebut, yang terdekat dari Jawa Barat, berada hampir 200 kilometer di lepas pantai selatan.
Kepala Bidang Geodinamika di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Cecep Subarya, mengatakan gempa yang terjadi di satu lempeng memiliki spektrum kerusakan yang lebih luas. Seperti halnya gempa di zona subduksi atau pertemuan dua lempeng itu, gempa di satu lempeng juga diakibatkan oleh energi yang terlepas dari dua lempeng yang saling mendorong itu.
Teori Elastic Rebound
Desakan lempeng Australia membuat ujung lempeng Eurasia kian melengkung dengan posisi ujung lempeng melekat (terkunci) di permukaan lempeng Australia. Kuncian ini berlangsung saat melenting hingga ujung lempeng Eurasia kembali lurus. Ahli geofisika Amerika Serikat, Harry Fielding Reid, menyebut fenomena itu sebagai elastic rebound, atau pentalan karet. Bersamaan dengan lepasnya kuncian itu, ikut pula terlontar energi yang disebut gempa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo