Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI panggung dakwah Islam, pelan tapi pasti, generasi pendakwah yang memilih jalur dakwah bil hal semakin merebut perhatian masyarakat. Generasi ini menawarkan pendekatan yang berbeda. Umumnya mereka menolak pendekatan lama, pendekatan fikih yang biasanya hitam dan putih. Mereka lebih mengandalkan pendekatan sufistik, supernatural, terkadang berbau mistik—tapi tak bisa dibilang mengamalkan klenik. Kalau mereka terlihat aneh, nyleneh, itu sesungguhnya hanya ”aksesori” yang melekat akibat pendekatan yang mereka pilih. Yang terpenting, generasi pendakwah itu memilih berbuat nyata, terjun langsung memerangi ”penyakit” masyarakat, dan umumnya jauh dari kilau-kemilau sorotan lampu kamera televisi.
Muhammad Sutanto adalah salah satunya.
Ia tergolong warga Nahdlatul Ulama yang unik. Di Semarang, dia yang biasa dipanggil Gus Tanto ini justru berdakwah di kalangan yang biasanya dijauhi kalangan beragama: lingkungan para preman. Kiai muda ini menurut orang yang mengenalnya konon memiliki ilmu kanuragan yang ampuh. Kata orang sekelilingnya, dia sanggup merebus telur dan menanak nasi hanya dengan meletakkan panci berisi telur dan beras di atas kepalanya.
Ia masuk dunia preman lewat ujian yang keras. Dalam sebuah perkelahian dengan para preman, ia kabarnya menunjukkan ilmu kebal. Belati tak mampu menggores kulitnya, tebasan pedang cuma membuat rambutnya menyala. Para preman itu melongo, lalu tunduk patuh belajar agama kepadanya.
Benarkah semua kesaktian itu dia miliki? Wallahualam bissawab. Yang sudah nyata, Pesantren Istighfar alias tempat minta ampun yang ia dirikan sudah dikenal luas sebagai Pesantren Preman. Di sana kiai berambut panjang ini tak mengajarkan ilmu fikih dan tata bahasa Arab. Ia hanya mengajarkan ilmu tauhid mengenai keesaan Allah. Ilmu yang disebutnya tombo ati alias obat hati.
Jangan heran bila Gus Tanto tak mempermasalahkan santrinya yang masih bertato. Ia tak meminta mereka menghapus tato itu. Yang penting mereka bersedia meninggalkan dunia hitam. Pada bulan puasa, ia juga membiarkan warung makan milik tetangganya tetap buka tepat di depan pesantrennya.
Kiai nyentrik ini justru mengkritik pemahaman yang menurut dia salah kaprah, bahwa orang berpuasa minta dihormati. Ia berpendapat, kita harus bisa menghormati orang yang tidak berpuasa. Godaan karena ada orang yang tak berpuasa seharusnya membuat ibadah puasa menjadi lebih khusyuk.
Ada pula kiai yang istimewa karena berdakwah di dunia hitam. Contohnya Khoiron Syu’aib, yang memilih tinggal sambil berdakwah di kompleks pelacuran Bangunsari Surabaya. Ia yakin, dalam hati kecil para pelacur dan germo, tetap ada niat untuk berbuat baik. Ia memahami bahwa para pelacur terpaksa menjajakan diri karena terdesak kebutuhan ekonomi.
Ia menyelenggarakan pengajian dari rumah bordil satu ke rumah bordil lainnya. Kadang-kadang berisiko bentrok dengan sang germo. Khoiron selalu berusaha memanusiakan para pelacur dan germonya. Persis di depan rumahnya, sejumlah lelaki penghuni kompleks berjudi kartu sepanjang hari. Ia membiarkan saja sambil berharap hati mereka tersentuh ketika melihat anak-anak mereka belajar mengaji di dekat tempat berjudi itu.
Di Parung, Bogor, Jawa Barat, kedermawanan luar biasa diperlihatkan Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syeikh Abu Bakar. Ia berdakwah lewat pendidikan dengan menyediakan pesantren gratis bagi anak yatim dan kaum miskin. Untuk membiayai ribuan santri, ia merelakan pendapatan dari bisnis pabrik roti, daur ulang sampah, dan hasil pertanian miliknya. ”Harta hanya titipan Allah, mereka sangat memerlukan pendidikan,” begitu prinsipnya.
Konsep dakwah unik lainnya dilakukan Yusuf Mansur. Yang satu ini memang laris jadi pelanggan stasiun televisi. Tema dakwahnya tetap, investasi berupa sedekah. ”Ini jalan keluar mengatasi kesempitan hidup,” katanya. Ia kerap mengutip sepotong ayat Al-Quran yang berisi anjuran kepada manusia agar menyisihkan sebagian harta untuk dinafkahkan di jalan Allah. Sebab, dengan demikian ia akan dikaruniai kelapangan hidup dan rezeki lebih banyak.
Kiai Husein Muhammad dari Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat, punya keistimewaan lain. Kendati dibesarkan di tengah tradisi pesantren dan kitab kuning yang biasanya bercorak patriarkis, Husein justru getol memperkenalkan kesetaraan gender. Dengan mengutip sejumlah kitab klasik, ia menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan itu setara. Seperti Amina Wadud di Amerika, ia juga berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi imam salat.
Tak terhitung jumlah kiai Nahdlatul Ulama yang dipercaya memiliki pemikiran berbeda dan ilmu-ilmu ”aneh” semacam itu. Kisah kiai-kiai itu barangkali sulit dipahami secara rasional. Namun, secara sosiologis kalangan nahdliyin percaya, bahkan akrab dengannya.
Di masa lalu ada almarhum Kiai Hamim Djazuli dari Kediri, Jawa Timur. Kiai yang akrab disapa Gus Miek ini biasa menenggak bir hitam dan kongkow di klub-klub malam seantero Surabaya. Bir jelas bukan tujuan, tapi sarana untuk mendekati para pekerja malam dan artis yang hidup jauh dari sentuhan agama. Dan benar. Kepada Gus Mieklah para artis, selebriti, dan pekerja malam datang mengadu. Bersama ribuan umat lainnya, mereka rajin mendatangi majelis semakan alias membaca Quran yang diadakan Gus Miek. Majelis itu masih berjalan sampai sekarang, kendati Gus Miek sudah wafat 13 tahun lalu.
Ada lagi cerita Gus Nuril, bekas komandan pasukan berani mati pembela Abdurrahman Wahid. Syahdan, Gus Nuril bercerita bahwa suatu hari ia bertemu seorang tua misterius yang memperkenalkan diri sebagai Syekh Yakub. Sejenak kemudian dia menghilang.
Selama dua tahun, Gus Nuril mencari siapa gerangan syekh itu. Suatu ketika secara tak sengaja ia membuka kitab lama kalangan nahdliyin. Di sana ia menemukan keterangan bahwa Syekh Yakub tak lain adalah mertua Kiai Hasyim Asy’ari. Jadi ia masih terhitung kakek buyut bekas presiden Abdurrahman Wahid. Syekh Yakub telah wafat berpuluh tahun yang lalu! Pertemuan spiritual itu membalik hidupnya. Secara emosional ia merasa dekat dengan sang buyut. ”Itulah alasan mengapa saya sangat membela Gus Dur,” katanya. Seperti yang lain, Gus Nuril juga merupakan tempat bertanya masyarakatnya.
Kalangan pejabat masa lalu, apalagi yang dekat dengan Keluarga Cendana, pasti mengenal sosok Mbah Lim yang bernama asli Kiai Muslim Rifa’i Imampura dari Klaten, Jawa Tengah. Omongan kiai ini sulit ditangkap telinga orang normal dan hanya dimengerti anak dan asistennya. Toh, para petinggi lokal maupun dari Jakarta kerap mendatanginya untuk meminta nasihat spiritual darinya sampai sekarang.
Kebiasaan nyleneh itu justru membuat pamor para kiai ini mencorong. Orang datang untuk sekadar bertanya atau sekalian bermukim untuk mendapatkan ilmu dan ketenangan hati.
Ahli tafsir Quran, Quraish Shihab, mengakui sebagian ulama memang masih mempercayai adanya hal-hal yang berbau supernatural. Namun, menurut dia, tak semua hal supernatural merupakan anugerah yang diberikan Allah untuk memuliakan manusia.
Karamah (kemuliaan) memang diberikan Allah kepada hambanya yang taat dan beriman. ”Tapi, ada pula ihanah (kehinaan) yang diberikan karena manusia menyimpang dari ajaran Allah,” ujarnya.
Tak cuma kaum nahdliyin yang mempercayai hal-hal supernatural. Abdul Munir Mulkan yang berlatar belakang Muhammadiyah pun mengakuinya. Ia sendiri pernah mengalami kejadian aneh. Semasa muda ia berkumpul bersama sejumlah kiai di Lampung. Mereka diundang ke suatu tempat yang jaraknya sekitar 30 kilometer. ”Kalau ditempuh dengan sepeda, makan waktu sekitar 1 jam,” katanya. Mereka berangkat pukul 06.00, mestinya sampai ke tempat tujuan pukul 07.00. Kenyataannya, setiba di sana jarum jam masih menunjuk angka 6. Ketika kejadian itu ia tanyakan kepada kiai kenalannya, si kiai cuma mesam-mesem. ”Saya tidak mendapat penjelasan yang bisa diterima akal. Tapi itulah yang terjadi.”
Pendekatan sufistik, di mata Munir Mulkan yang juga pengamat tasawuf, memang membuat mereka menjadi lebih lentur dalam berhubungan dengan masyarakat. Mereka tidak keras berorientasi pada fikih. ”Mereka beranggapan, dengan melayani, akan ada peluang menjadikan masyarakat lebih baik dari sebelumnya.” Hal itu berbeda dengan ulama fikih, yang biasanya bersikap hitam-putih. Mereka membatasi pergaulan. ”Sebab, mereka percaya, bergaul dengan orang yang tak jelas sama saja dengan ketidakjelasan itu sendiri,” ujar Munir Mulkan.
Pendekatan apa pun yang diambil, semua kiai punya peran. Dan kita bersyukur, semakin banyak dai yang kukuh di jalur dakwah bil hal—mereka menyelami isi kalbu masyarakatnya, lalu dengan pikiran luasnya mencarikan solusi konkret untuk semua problem kehidupan. Bukankah kita memerlukan dai yang memilih menyenangkan Tuhan dengan cara menyenangkan masyarakat ini?
Nugroho Dewanto, Suseno, Adek Media Roza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo