Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selamat datang di bagian Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya. Memasuki ruang tunggu, mata langsung bertumbuk pada dinding cokelat berhiaskan logo reserse. Di bawahnya tertulis ”sidik sakti indera waspada”—ini garis dasar bagi para reserse. Di balik ruang tamu itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Carlo Brix Tewu berkantor bersama lebih dari 300 anak buahnya.
Mereka adalah tim khusus yang dibentuk pada pertengahan Oktober lalu. Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Adang Firman menunjuk Carlo untuk memimpin tim itu, yang beranggotakan 306 personel. Mereka terdiri dari para reserse Polda Metro Jaya, Brimob, Samapta, dan Densus 88. ”Tim ini dibentuk untuk melindungi masyarakat,” Adang menjelaskan kepada sejumlah wartawan. Tugasnya? Menghadang dan menghancurkan sepak terjang bandit berpistol yang kian merajalela di Jakarta selama hampir setahun terakhir.
Dalam peta kejahatan bersenjata api Indonesia, Jakarta masuk peringkat atas. Dua wilayah lain yang bisa menjadi contoh gawatnya aksi bandit berpistol adalah Medan dan Palembang. Nah, total kasus kejahatan dengan senjata api di Ibu Kota selama Januari hingga pertengahan Oktober mencapai 171 kasus. Yang terungkap tak sampai separuhnya, cuma 42 kasus.
Kerugian masyarakat Jakarta karena digasak maling bersenjata api selama 10 bulan terakhir tercatat Rp 16 miliar. Ini sudah termasuk perampokan uang Rp 2,8 miliar dari mobil PT Armorindo Arta di kawasan Cawang, Jakarta Timur, pada 8 Oktober lalu. Pening kepala Adang Firman menyaksikan ulah para bandit yang merangsek korbannya dari wilayah pinggiran macam Tangerang dan Bekasi hingga ke pusat kota di wilayah Monas, Jakarta Pusat.
Carlo mengaku ini bukan pekerjaan ringan. ”Tapi saya punya anggota-anggota yang jago di bidang ini,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu. Mari kita tengok sejenak kegiatan tim ini. Kamis lalu, masih di tengah suasana Lebaran, di ruang rapat seluas separuh lapangan tenis, Carlo beradu argumen dengan belasan reserse. Seorang reserse memelototi laptop dan mengetik hasil diskusi.
”Apakah semua informasi itu sudah A1?” Carlo bertanya ke forum reserse. Maksudnya, apakah informasi yang mereka terima dapat dipercaya dan sudah akurat.
Seorang reserse menjawab, ”Sudah, Dan (Komandan).”
Diskusi hari itu membahas beberapa titik terang yang sudah ditemukan untuk mengungkap aksi sekelompok perampok penjahat berpistol. Tergambar dalam diskusi, penjahat yang tengah mereka buru berjumlah enam orang. Pentolan kelompok itu ada dua. Salah satunya anggota sebuah kesatuan bersenjata, yang satu lagi adalah residivis kasus perampokan.
Di akhir diskusi, Carlo menegaskan: ”Jangan sampai salah tangkap.” Berlangsung sejak pagi, diskusi berakhir pukul 14.30 WIB. ”Untuk hari ini sudah cukup. Mari kita bertugas,” dia melanjutkan. Satu per satu reserse meninggalkan ruang rapat.
Seorang reserse senior menyampaikan perumpamaan kepada Tempo bahwa perampokan bersenjata api ibarat lapisan crème de la crème alias kelompok elite di blantika kejahatan. Ada uang besar, ada incaran bernilai tinggi. Para pemain kelas pemula jangan harap bisa masuk golongan ini. Pelaku umumnya residivis yang sudah punya trade mark serta telah memahat rekor pribadi. Rekor ini pula yang membuka celah bagi pelacakan polisi bila ciri-ciri mereka bisa dikenali di tempat kejadian.
Risiko semacam itu, termasuk kematian, membuat mereka tak segan bertindak kejam. Menembak dan membunuh korban saat mereka beraksi bukan lagi cerita baru. Dalam catatan Tempo, sudah 24 korban ditembak perampok—lima di antaranya tewas—dalam rentang waktu Januari sampai Oktober 2006.
Ada perampok yang bahkan tetap menembak mati korban kendati si korban tak mampu melawan. Itu yang terjadi dalam peristiwa perampokan Minan Sainun, 63 tahun. Dia warga Kampung Dongkal, Cipondoh, Kota Tangerang. Di hari nahas itu, 10 Oktober lalu, dia mendapat tugas dari kantornya untuk mengambil uang Rp 31 juta di Bank BCA Cabang Bandengan Utara, Jakarta Barat.
Keluar dari bank, dia diikuti enam perampok dengan tiga sepeda motor hingga ke Jalan Gedong Panjang, Pekojan, Jakarta Barat. Di situ mereka menembak korban dan merampas tas berisi uang dari tangannya. Minan tewas. ”Kenapa mesti ditembak? Kejam sekali mereka. Didorong saja sudah jatuh,” kata Atikah, 45 tahun. ”Suami saya sudah tua, takkan kuat melawan.” Ibu tiga anak ini berharap polisi segera membekuk pembunuh suaminya.
Pembunuhan Minan hanya satu dari 171 kasus yang harus segera dipecahkan oleh tim khusus. Tampaknya Carlo akan sangat mengandalkan beberapa veteran pengejar penjahat dalam timnya. Sebut contoh, Ajun Komisaris Besar Polisi Fadil Imran. Dia adalah Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan di Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Di bawah Fadil ada Komisaris Polisi Suyudi Arioseto, Kepala Unit Tim Pemburu.
Suyudi rajin ke lapangan memimpin 16 reserse memburu penjahat. Dalam menguber penjahat bersenjata api, tim khusus ini membekali diri dengan sejumlah data dasar para penjahat, mulai dari wilayah kerja, jaringan, sampai tampang mereka. Communicator Suyudi sesak oleh foto-foto para penjahat yang menjadi target operasi tim khusus.
Sepekan setelah dibentuk, tim yang baru berumur dua pekan ini telah membekuk enam kelompok perampok bersenjata api. Total perkara yang sudah terungkap menjadi 48 kasus. Salah satunya, kasus pembunuhan Minan.
Sejumlah reserse telah menangkap tiga dari tujuh perampok yang beraksi pada 16 Oktober lalu. Pada hari yang sama, polisi menembak mati seorang tersangka lain, Gondes, karena melawan saat dibekuk di Bandengan, Tambora.
Komplotan ini adalah penjahat kambuhan. Mereka mengaku telah merampok tujuh kali, di antaranya menembak dan merampok Khoe Whe Kwan di Jalan Semeru Raya, Jakarta Barat, pada 17 Juli lalu. Tersangka saat ini sedang diperiksa di Kepolisian Resort Jakarta Barat.
Selain menangkap tersangka, reserse yang bertugas di Polres Tangerang juga menggagalkan aksi penjahat di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Tangerang, pada 16 Oktober lalu.
Waktu itu, empat perampok menghadang mobil yang dikendarai Tjetjep Hindaryanto setelah dia mengambil uang dari sebuah bank. Reserse yang berada di kawasan ini kontan beraksi. Empat perampok terkejut, lalu berupaya kabur. Dua di antaranya tewas diterjang peluru polisi.
Tertangkapnya sejumlah perampok berpistol tidak secara otomatis mengurangi kejahatan di Ibu Kota. Polisi mengakui penjahat dari kelompok ini yang masuk penjara, sebagian tidak bertobat. ”Beberapa tersangka yang kami tangkap adalah residivis,” kata Suyudi. Mengapa demikian?
Inilah penuturan seorang reserse berdasarkan beberapa data yang dia kumpulkan. Begitu tertangkap, menurut sang reserse, perampok tersebut akan menggunakan masa-masa di dalam penjara untuk ”merenung”. Tepatnya, menganalisis sebab-sebab kegagalan aksi kejahatannya. Setelah itu, mereka merancang beberapa solusi untuk diuji coba kelak setelah mereka ke luar dari bui.
Penjara juga mereka jadikan markas untuk meningkatkan komunikasi antarpenjahat. Setelah keluar, kontak-kontak dari penjara bisa dibuka kembali untuk membentuk jaringan penjahat yang baru.
Para penjahat yang sudah tewas tertembak segera dicarikan penggantinya. Pos-pos kosong diisi oleh penjahat yang tadinya masih kelas teri namun dianggap cukup cemerlang untuk bergabung. ”Mereka yang dulunya pencopet, lalu naik kelas bergabung dengan kelompok ini,” kata seorang reserse kepada Tempo. Dengan cara ini, ”Pamornya meningkat di kalangan bandit.” Pada saatnya nanti, si teri yang sudah naik kelas akan melahirkan pemain-pemain baru.
Memang ruwet memutus lingkaran setan, termasuk di lingkaran ”elite” dunia hitam: kejahatan bersenjata api.
Nurlis E. Meuko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo