Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sebuah pesantren galibnya terdengar alunan ayat suci Al-Quran atau senandung zikir bersambung-sambung. Tapi jangan harap mendengar suara syahdu seperti itu dari pesantren di Kecamatan Rejoso, Pasuruan, Jawa Timur ini. Dari tempat belajar agama itu yang kerap terdengar justru ingar-bingar musik yang memekakkan telinga.
Mungkin sesuai dengan suasananya, Kiai Abubakar Cholil, sang pemimpin pondok, menamakannya Pesantren Metal. Seakan untuk menegaskan citra, di pintu gerbang pesantren ia memasang tanda tiga jari—jempol, telunjuk, dan kelingking—menunjuk langit.
Anak gaul mengenal tanda itu sebagai simbol metal. Tapi, di pesantren itu, Kiai Abubakar memberinya makna baru sebagai simbol: iman, ihsan, dan imran. Kata Metal sendiri, menurut dia, kependekan dari—meski agak dipaksakan—”Menghapal dan Menghayati Ayat-ayat Al-Quran”.
Di pesantren itu, kiai yang baru berusia 36 tahun dan lebih akrab dipanggil Mas Bakar itu menampung apa yang ia sebut sebagai ”manusia rongsokan.” Mereka adalah pecandu narkoba, pemabuk, penjudi, maling, perempuan yang hamil di luar nikah, hingga orang stres. Tak mengherankan bila santrinya kebanyakan berambut gondrong, memakai anting, dan bercelana jins. Pondok ini juga mengasuh puluhan bayi yang dibuang oleh orang tuanya.
Latar belakang kelam para santri membuat Mas Bakar tidak memberlakukan aturan ketat di pondoknya. Mereka bebas berpakaian, keluar-masuk pondok, bermain musik, biliar, merokok, olahraga, dan sebagainya. ”Jika mereka khatam Al-Quran, mereka akan berubah dengan sendirinya,” katanya optimistis.
Pesantren ini pun tidak menerapkan kurikulum ala madrasah atau sekolah umum. Juga tidak ada sistem kelas. Semua santri, yang jumlahnya sekitar seribu orang, hanya diwajibkan salat berjamaah. Setiap hari ada sesi pengajian tafsir Quran. Seusai pelajaran tafsir, Mas Bakar berceramah dan melakukan tanya-jawab membahas masalah hidup para santri.
Model belajar seperti ini membuat Mas Bakar pernah menjadi sasaran kritik para ulama. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, ia berbalik mendapat dukungan. Ia malah mendapat kiriman santri yang sudah tidak bisa dibina lagi di pesantren lain.
Pendekatan yang berbeda dengan ulama kebanyakan juga dilakukan Kiai Husein Muhammad. Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al Tauhid, Cirebon, Jawa Barat yang memiliki 1.500 santri ini mengajarkan bahwa perempuan sama hak dan kewajibannya dengan kaum pria. Bahkan perempuan bisa menjadi imam bagi pria ketika salat.
Tidak sekadar bersuara, kiai kelahiran Arjawinangun 53 tahun silam ini mendirikan lembaga swadaya masyarakat Fahmina Institute, yang aktif mendorong peningkatan peran perempuan. Husein melihat selama ini perempuan berada pada posisi lebih rendah dari pria karena tak mendapat kesempatan.
Pandangan itu membuat Husein kerap menjadi sasaran kritik ulama lain. Bahkan kantor Fahmina pernah disatroni sekelompok orang. Tapi, berbekal kemampuan membaca dan memahami kitab kuning—kitab klasik para ulama abad pertengahan—Husein bisa mempertahankan argumentasinya. Ia mengatakan, sebenarnya yang membedakan dirinya dengan ulama yang menentangnya adalah cara membaca kitab kuning itu.
Husein awalnya menganut paham konservatif. Ia lahir dan dibesarkan dalam tradisi keulamaan yang kental. Kakeknya adalah pendiri Dar Al Tauhid pada 1930-an dan berhubungan dekat dengan KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Ia berubah dan mulai menaruh perhatian pada posisi perempuan setelah membaca karya Muhammad Abduh, pembaharu Islam di Timur Tengah. Abduh adalah tokoh yang berpandangan bahwa perempuan harus mendapat pendidikan seperti halnya pria.
Diskusi-diskusi dengan tokoh seperti Masdar F. Mas’udi, Wardah Hafidz, dan Ulil Abshar Abdalla membuat ia makin yakin bahwa kesetaraan gender, termasuk dalam praktek beragama, merupakan keniscayaan untuk mewujudkan Islam yang lebih egaliter di tengah masyarakat. ”Saya adalah orang yang rasional dan terus mengasahnya,” katanya.
Dua warna kiai yang memperkaya khazanah dakwah Islam.
Adek Media Roza, Bibin Bintariadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo