Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berjualan untuk Hari Ini dan Esok

Ada beberapa alasan di balik terpilihnya Hokkaido sebagai tuan rumah pertemuan para pemimpin negara anggota G-8. Termasuk menggenjot sektor pariwisata.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagi yang cerah, pertengahan Desember lalu, di kawasan wisata Gunung Showa Shinzan di Hokkaido. Hawa dingin membekukan daun-daun telinga. Tak banyak wisatawan datang menikmati gunung berapi aktif—bentuknya mendekati gunung kapur—dan sebagian lembahnya ditutupi salju.

Berbagai cendera mata dijual di kios-kios kawasan wisata yang berjarak sekitar 86 kilometer ke arah barat daya dari Sapporo, ibu kota Prefektur (setingkat provinsi) Hokkaido, itu. Di antaranya kaus oblong dan suvenir Toyako Summit 2008 dalam aneka desain. Kendati pertemuan masih empat bulan lagi, tas dan kaus dengan tema yang sama juga telah dijual di Sapporo, bahkan di Tokyo. Tema ini juga tercetak dalam brosur-brosur wisata negara itu. Rupanya, begitulah mereka mengemas dan menjual sebuah event besar.

Pertemuan itu bakal dihadiri pemimpin negara anggota G-8, yakni Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Rusia, dan Amerika Serikat—serta tuan rumah Jepang. Temanya pun sensitif, tentang perubahan iklim dunia. Negara-negara tersebut banyak dikritik karena tidak kooperatif dalam mengatasi problem pemanasan global. Namun, di Hokkaido, pertemuan yang mengundang pemimpin negara-negara maju itu memang dimanfaatkan untuk ajang promosi wisata. Turis dari negara-negara itu tak begitu tertarik pada tempat wisata di pulau sebelah utara Jepang ini.

Selama ini, bisnis pariwisata yang tersedia memang cuma laku untuk tetangga-tetangga terdekat di Asia. Dari Kantor Promosi Turisme Hokkaido, kita bisa memperoleh data menarik: mayoritas turis berasal dari Taiwan (45 persen). Setelah itu, menyusul Korea (22,7 persen) dan Hong Kong (14,6 persen). Jumlah turis Singapura dan Australia tak sampai 4 persen. Malah wisatawan dari tetangga dekat, Rusia, tak sampai 1 persen, meski jumlah kunjungan tercatat terus meningkat. Pada 1997, tercatat 12 ribu turis datang ke Hokkaido. Pada 1999, jumlah turis menembus 20 ribu orang. Pada 2007, tercatat 86 ribu turis melakukan kunjungan. Angka ini di luar turis domestik yang menjadikan pulau ini sebagai tujuan wisata favorit musim dingin.

Berbeda dengan Okinawa di selatan, yang dikenal sebagai tempat piknik berhawa tropis, Hokkaido adalah pulau tujuan wisata musim dingin. Banyak atraksi musim dingin, seperti wisata alam pegunungan, pertanian, dan perikanan, yang ditawarkan. Kompetisi mendirikan bangunan salju merupakan salah satu atraksi Festival Sapporo. Juga kebiasaan berendam di dalam sumber air hangat pegunungan, yang disebut onzen di Jepang. Pulau seluas 83.000 kilometer persegi itu dikenal sebagai salah satu lumbung pangan di Jepang.

Tapi menyelenggarakan pertemuan politik tingkat tinggi merupakan pengalaman pertama bagi Hokkaido. Hotel Windsor di kawasan Danau Toya, yang menjadi situs pertemuan itu, sebenarnya hotel yang sudah makan garam untuk acara seperti pertemuan bisnis atau konferensi skala nasional dengan ratusan peserta. ”Artis-artis terkenal juga kerap dilayani,” kata Kazuhiro Mizumura, asisten manajer concierge hotel tersebut. Tapi mereka tak punya pengalaman sama sekali untuk pertemuan tingkat tinggi sepanjang tanggal 7-9 Juli 2008 itu.

Conferences of the Parties (COP) ke-13 di Nusa Dua, Bali, 3-14 Desember lalu, berhasil mendatangkan 15 ribu orang tamu. Mereka peserta dan pengunjung COP yang datang dari berbagai negara anggota Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim. Pada ajang G-8 nanti, ditambah delegasi negara undangan—seperti India dan Cina—jumlah tamu diperkirakan mencapai 8.000-10.000 orang. ”Meski dihadiri beberapa negara saja, pertemuan itu bakal menjadi pusat perhatian dunia,” kata Yasuo Imai dari Biro Promosi Pariwisata Pemerintah Prefektur Hokkaido.

Maka pemerintah daerah Hokkaido pun bergerak cepat. Menggaet kalangan industri hotel dan wisata, mereka membentuk Hokkaido Toyako Summit Preparation Council, yang dipimpin langsung oleh seorang perempuan, Harumi Takahashi, Gubernur Prefektur Hokkaido.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe (saat itu) menunjuk langsung Hokkaido sebagai ajang G-8 Summit pada April 2007. Jepang, yang kini menjadi pemimpin G-8, mendapat giliran jadi tuan rumah, setelah pertemuan terakhir di Jerman. Pemilihan lokasi pertemuan ini sempat jadi rebutan beberapa kota besar di Jepang, seperti Yokohama dan segitiga Kansai (Osaka-Kyoto-Kobe). Kota-kota itu mengaku mampu dan siap menjadi penyelenggara.

Tapi Abe secara sepihak memilih Hokkaido. Saat itu tak ada yang menghitung peluang kota yang tak berpengalaman menghelat pertemuan raksasa ini. Pulau ini memang agak lengang dibanding daerah lain di Jepang. Penduduknya saja sekitar 5,6 juta jiwa. Kota Sapporo saja cuma berpenduduk 1,8 juta.

Abe rupanya punya alasan menggunakan hak prerogatifnya itu. Terutama, katanya, bila temanya menyangkut lingkungan atau kankyou. Dan yang paling penting dari semua itu adalah soal keamanan atau keibi. ”Pertemuan yang berlangsung di kota yang padat, selain menyulitkan pengamanan, juga mengganggu warga,” kata Abe saat itu. Ia mengemukakan alasan kedua yang juga sangat menentukan: memicu pembangunan di wilayah itu. Ya, pemerataan kue pembangunan merupakan topik yang selalu hangat dan sensitif di Jepang.

Harumi Takahashi cepat menerjemahkan perintah Abe, seraya menyiapkan ajang pertemuan di kawasan Toya, yang dikenal cuma didatangi turis. Lokasi ini steril, jauh dari jangkauan warga. Bahkan wartawan pun tak bisa menginap di Windsor. Penginapan untuk mereka berada di hotel terpisah, sekitar 5 kilometer dari lokasi. Maka cukup mudah untuk menjaga keselamatan tokoh dunia seperti Presiden Amerika Serikat George W. Bush atau Kanselir Jerman Angela Merkel di tempat itu. Rencananya, para pemimpin negara maju itu akan tiba di lokasi dengan helikopter dari bandara Sapporo.

Beruntung, Jepang memiliki kota-kota yang gemar mengincar kegiatan berskala dunia. Kegiatan itu, menurut mereka, mampu mengalirkan gemerincing yen. Tak hanya saat puncak acara, tapi juga sesudahnya. Tokyo, misalnya, hingga kini ”menjual” Yoyogi Stadium dan Nippon Budokan, bekas venue Olimpiade Tokyo 1964. Sedangkan Osaka masih membanggakan menaranya, ikon sisa World Expo 1970.

Meski begitu, ada juga situs-situs yang pernah menjadi pusat perhatian internasional tapi dalam keadaan merana sekarang. Stadion Miyagi di daerah Rifu, Prefektur Miyagi, di wilayah Tohoku, Pulau Honshu, misalnya. Stadion berkapasitas sekitar 49 ribu penonton itu dibangun sebagai salah satu tempat pertandingan Piala Dunia 2002. Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) ternyata hanya menggunakannya untuk tiga kali pertandingan.

Apa boleh buat, pemerintah daerah kini terpaksa menomboki biaya perawatannya. Gelanggang itu kalah pula bersaing dengan stadion-stadion kecil di sekitarnya. Klub-klub sepak bola lokal tidak berminat berlatih atau menggelar pertandingan di Miyagi. Alasannya, sewanya mahal dan ”terlalu jauh” buat penonton setia mereka. Dan Hokkaido berusaha keras untuk tidak masuk kelompok ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus