Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Salju Tak Lagi Tebal Di Hokkaido

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juli nanti, di Hokkaido, Jepang, pertemuan negara industri atau G8 akan dilaksanakan. Pertemuan ini akan membahas sikap negara maju dalam isu perubahan iklim.

Sebagai bakal tempat berlangsungnya pertemuan tingkat tinggi itu, Hokkaido sendiri mengalami persoalan lingkungan. Hokkaido selama ini dikenal sebagai daerah terdingin di Jepang. Pulau ini merupakan benteng alam Jepang. Tapi belakangan ini Hokkaido tidak sedingin sebelumnya. Salju pun tidak setebal dulu. Bahkan buah apel yang tumbuh di sana tidak semerah dulu. Diduga, itu semua akibat pemanasan global.

Pada Desember lalu, Arif A. Kuswardono dari Tempo bersama sejumlah wartawan dari Cina dan Asia Pasifik berkunjung ke Jepang atas undangan pemerintah negara tersebut. Berikut laporannya tentang persoalan lingkungan di Hokkaido.

Kapas-kapas salju itu turun melayang memutihi jalanan Kota Sapporo di Pulau Hokkaido. Pertengahan Desember lalu, seharusnya tebal salju di beberapa tempat di pulau paling utara Jepang itu bisa mencapai 50 sentimeter. Hokkaido adalah kawasan paling dingin di Jepang dan di pinggir-pinggir jalannya orang biasa bermain ski. Tapi kini Hokkaido berubah.

Harian Hokkaido Shimbun menulis bahwa pulau itu sudah terkena gejala pemanasan global. ”Ya, begitu katanya,” ujar Tanaka Yoshihiko, staf penulis di koran tersebut. Biasanya Desember adalah saat mereka direpotkan oleh salju. Tapi lihatlah, di beberapa tempat salju masih serupa selaput tipis. Apa boleh buat, wisatawan pemburu musim dingin juga belum banyak tiba.

Tanaka sendiri mengaku tak terlalu percaya bahwa penyebab berkurangnya salju itu global warming. ”Barangkali juga karena Hokkaido sudah dipenuhi jalan beton dan industri,” kata wartawan yang khusus meliput soal lingkungan tersebut. ”Jadi hawa panas tertahan dan salju tak mau turun,” katanya sembari tertawa. Pendapat itu, menurut dia, ia kutip dari seorang profesor di Universitas Hokkaido.

Bagi Hokkaido, salju adalah jalan uang. Salah satu pulau utama dari kepulauan Jepang itu mengandalkan hidupnya dari iklim khas mereka yang sub-artik. Kota itu banyak membuat atraksi pada musim dingin untuk memancing turis. Hanya ada beberapa kota besar di dunia berada di iklim ini. Di antaranya Moskow, Berlin, dan London. Sapporo, misalnya. Kota ini sedikit lebih hangat ketimbang Moskow yang bersuhu minus 10 derajat ketika musim dingin

l l l

Pulau dingin di utara itu selama ribuan tahun memang menjadi benteng alam yang paling liar di Jepang. Sejarah pulau itu mirip kisah penjelajahan dan penaklukan. Hingga abad ke-17, Hokkaido bahkan masih merupakan terra incognita bagi orang Jepang. Sebutan untuk pulau itu dahulu adalah Yezo atau Ezo (orang asing di utara). Pulau asing itu baru banyak didatangi orang ketika menjadi tempat tujuan bagi para pelarian pemerintahan Shogun Tokugawa.

Pada 1869, setelah Jepang membuka politik isolasi selama 220 tahun, sebuah komisi pengembangan dibentuk untuk menangani pulau tersebut. Kaisar Meiji mengubah nama Yezo menjadi Hokkaido, sesuai dengan sistem pembagian wilayah Ritsuryo. Hokkaido artinya kurang lebih wilayah bagian utara. Tujuan utama mengembangkan pulau tersebut adalah untuk membuat lahan pangan dan sumber makanan untuk modernisasi Jepang. Selain itu untuk menghindarkan pendudukan pulau tersebut oleh Rusia.

Pada saat pemerintah Meiji melegalisasi imigrasi, Hokkaido banyak didatangi imigran dari Pulau Honshu. Kuroda Kiyotaka, Wakil Ketua Komisi Pengembangan Hokkaido, mengajukan proposal ke Tokyo pada 1870 untuk mengundang ahli pertanian dari Barat yang memiliki kondisi iklim yang sama. Ini karena Hokkaido sangat berbeda dibanding prefektur lain di Jepang.

Horace Capron, komisioner pertanian dari Amerika Serikat, seorang ahli pertanian terkemuka, diundang ke pulau itu. Empat tahun kemudian, 965 tentara dikirim untuk membuka lahan pertanian di daerah Kotoni. Belakangan, pemerintah merekrut petani umum dari seluruh Jepang. Pada 1876, William S. Clark, rektor dari Universitas Pertanian Massachusetts, diangkat menjadi asisten utama di Sekolah Pertanian Sapporo, yang kini menjadi Universitas Hokkaido. Konon, salah satu gagasannya adalah membuka pabrik bir agar para pendatang itu hangat dan kuat dalam udara dingin. Kini itulah salah satu produk unggulan.

Sekarang, hampir 150 tahun kemudian, Hokkaido menjadi kawasan sumber bahan pangan terbesar di Jepang. Total area garapan 1,1 juta hektare atau seperempat total lahan pertanian di Jepang. Mereka memproduksi buah, beras, tomat, dan kedelai dalam produktivitas yang tinggi. Juga produsen susu, daging segar, dan ikan laut. Pulau 84 ribu kilometer persegi itu mempertahankan 71 persen wilayahnya sebagai areal hutan

l l l

Salju telah berkurang di Hokkaido dan itu membahayakan kehidupan pertaniannya. Sejumlah riset dari departemen pertanian di Jepang menyatakan telah terjadi perubahan pada produk pertanian mereka. Di Honshu dan Kyushu, dua pulau di selatan Hokkaido, misalnya, dilaporkan terjadi penurunan bentuk, rasa, dan warna beberapa produk pertanian.

”Kasus penyimpangan ini terus meningkat,” kata Hiroki Kadowaki dari Departemen Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (MAFF) Jepang. Penurunan kualitas itu terjadi pada beras, kedelai, teh, anggur sampai kembang. Pada beras, misalnya, bulirnya menjadi lebih tipis dan lebih putih. Jeruk jepang atau mikan berubah menjadi kopong, tak lagi padat. Apel merah makin kecil serta warna hijaunya bertambah. Rasa manisnya juga menurun. Semua itu dipicu oleh perubahan iklim dan temperatur dampak dari efek rumah kaca.

Jepang sendiri kini memacu riset untuk menghadang petaka itu. Untuk mencegah perubahan warna, mereka misalnya menemukan cara sederhana, yakni dengan mengupas kulit luar pohon apel di batang bawahnya. ”Kita mencoba mengembangkan varietas baru yang lebih tahan temperatur,” tutur Hiroki.

Pemerintah Prefektur Hokkaido sendiri menggelar program penghematan dan peningkatan kualitas lingkungan. Di antaranya meminta restoran dan industri makanan mengurangi pemakaian air dan emisinya. Targetnya emisi dari sektor itu berkurang 1,5 hingga 2 persen per tahun. Kalangan industri, bahkan perbankan, diminta membuat program yang pro-lingkungan. Bank, misalnya, memberikan bunga lebih rendah ke perusahaan yang pro-lingkungan.

Menurut Tanaka, program itu berbau formalitas. Hanya karena Hokkaido bakal jadi perhelatan pemimpin negara industri atau G8 Juli nanti. ” Perubahan iklim di sini tipis. Mungkin karena itu tidak terlalu berhasil,” ujarnya menjelaskan.

Menipisnya salju di Hokkaido telah membuat banyak pakar melihat itu sebagai pertanda bahwa tak sampai seratus tahun lagi Jepang akan semakin panas. Akan ada pergeseran daerah pertanian. Sejumlah daerah yang semula cocok untuk jenis tanaman tertentu mungkin harus mengganti komoditasnya.

Bagi banyak pakar, perubahan iklim itu membuat Jepang harus memikirkan ulang strategi industrialisasinya. ”Setelah kalah perang, cita-cita Jepang sangat sederhana. Kami ingin menjadi kekuatan ekonomi seperti Filipina,” kata Koji Tsuruoka, Direktur Jenderal Isu Global Departemen Luar Negeri (MOFA) Jepang. Ekonomi Filipina sehabis Perang Pasifik tumbuh stabil karena peran industri pertanian.

Setelah masa rehabilitasi, pada 1965-1970-an ekonomi Jepang ternyata tumbuh sangat tinggi, mencapai 8 persen per tahun. Saat itulah persoalan lingkungan timbul. ”Pabrik-pabrik tidak mungkin mengganti peralatannya tiap tahun,” kata Koji. Banyak asap dibuang ke udara dan polusi mencemari sungai.

Pada 1960-an, saking banyaknya gas berbahaya di udara, ibu-ibu melarang anaknya bermain di luar rumah pada siang hari. Krisis lingkungan memuncak ketika terjadi tragedi di dua wilayah di pesisir Teluk Minamata di Prefektur Kumamoto dan Kagoshima pada 1968. Mereka keracunan limbah merkuri dari pabrik kimia Chisso Co. Ltd. Sekitar 12 ribu penduduk Minamata mengalami keracunan. Dari 2.262 penderita keracunan yang terdaftar di arsip pemerintah, 1.246 di antaranya meninggal.

Ketika pemerintah menerbitkan peraturan lingkungan, protes datang dari berbagai perusahaan. Biaya produksi mereka jadi lebih mahal karena investasi itu menjadi tambahan biaya yang tidak diperlukan sebelumnya. Para pemimpin bisnis konservatif menolak perbaikan lingkungan. Tapi Tokyo kemudian mampu memaksa memberlakukan peraturan yang membuat standar lingkungan 10 hingga 1.000 kali lebih tinggi.

Biaya ekonomi memang menjadi lebih mahal. Namun persoalan ini teratasi ketika pertumbuhan ekonomi Jepang terus meningkat hingga di atas 10 persen. ”Produksi tumbuh, tapi dengan tingkat efisiensi energi yang tinggi,” tutur Koji melanjutkan. Pada 1980-an iklim dan udara di Jepang mulai ”bersih”. ”Bagaimanapun, kesehatan, ekonomi, dan kecerdasan adalah hal penting,” kata Koji Tsuruoka.

Tekanan untuk membuat produk ramah lingkungan juga makin kuat pada 1990-an, sewaktu Jepang tidak bisa mengelak ketika OPEC menaikkan harga minyak. Industri Jepang merespons dengan membuat ecoproduct. Kulkas di Jepang, misalnya, kini lebih hemat listrik 15 persen ketimbang kulkas generasi sebelumnya. ”Produk itu memang lebih mahal, tapi jika peduli tetap akan dibeli. Ini mengubah pasar,” tutur Koji.

Protokol Kyoto pun dibuat pada 1997. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jepang salah satu penyumbang emisi terbesar yang memicu efek rumah kaca, bersama sejumlah negara industri mapan dan negara industri baru seperti India dan Cina. Protokol itu merupakan aksi global pertama untuk mencegah efek rumah kaca, menargetkan negara-negara tersebut menurunkan emisinya. Di antaranya, Uni Eropa menurunkan emisi hingga 8 persen, Amerika 7 persen, dan Jepang 6 persen.

Sayangnya, dalam berbagai pertemuan lingkungan internasional yang digelar PBB, Protokol Kyoto hanya menjadi kesepakatan di atas kertas. Negara maju tetap tak mengurangi emisinya.

Dan kini masalah lingkungan muncul lagi. Salju tak lagi tebal di Hokkaido. Pertemuan G8 nanti akan digelar di Toyako, sebuah kawasan resor di atas Danau Toya di Hokkaido. Kawasan itu ditunjuk Tokyo untuk mewakili karakter lingkungan Jepang selaku tuan rumah yang mengaku ”bersih”. Pertemuan itu barangkali bisa menjawab mengapa Hokkaido mulai kehilangan saljunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus