Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Putu Wijaya: Saya Seperti Pabrik

26 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir lima tahun tangan dan kaki kiri Putu Wijaya lumpuh. Stroke pada akhir 2012 membuat seniman serba bisa asal Bali itu kesulitan menuangkan berbagai idenya ke layar komputer. Kondisi itu diperparah oleh gangguan penglihatan, yang membuatnya tak bisa berfokus melihat huruf di layar komputer.

Tapi Putu tak mau menyerah. Dia meninggalkan komputer karena sadar tak mungkin lagi mengetik di situ seperti sebelumnya. Pria 73 tahun itu kemudian memilih BlackBerry sebagai perangkat menulis. Dengan satu tangan, Putu mengetik ratusan cerita pendek dan monolog serta beberapa novel.

Satu kumpulan tulisan terbarunya adalah buku 100 Monolog Karya Putu Wijaya. Kumpulan monolog itu ditulis dan diterbitkan tahun lalu. Hebatnya, Putu cuma butuh dua bulan untuk mengarangnya. "Bagi saya, sakit tak perlu dianggap sebagai hambatan," katanya. Ratusan monolog itulah yang dipentaskan dalam Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya di Bali sepanjang Maret-Desember tahun ini.

Pada Rabu pekan terakhir Mei lalu, wartawan Tempo Prihandoko mewawancarai Putu di rumahnya di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Selama tiga jam, Putu menceritakan berbagai hal, dari alasan membuat monolog hingga penilaiannya terhadap kondisi teater di Indonesia.

nnn

Kenapa Anda membuat monolog?

Sekarang, salah satu masalah dalam pementasan drama adalah biaya yang mahal dan sedikit sponsor. Usaha untuk mementaskannya selalu terhambat. Apalagi sudah tidak ada komunitas seni yang mau memberi dana. Jadi susah sekali membuat produksi dengan pemain 10-15 orang. Lalu saya berpikir bagaimana caranya supaya hasrat pementasan tidak macet. Salah satunya dengan monolog. Dalam pementasan monolog memang bukan hanya satu orang yang terlibat, tapi biayanya pasti jauh lebih murah.

Pementasannya minimal?

Ketika menulisnya, saya usahakan supaya pementasannya murah dan mudah. Terkadang tidak memakai properti. Atau hanya sebuah kursi dan meja. Pementasannya tidak menyulitkan. Selain itu, saya menghapus batasan antara laki-laki dan perempuan. Monolog saya bisa dimainkan keduanya.

Dari mana Anda mencari ide seratus monolog itu?

Berita di media massa adalah makanan saya untuk mencari ide. Tidak semua, tapi yang menarik dan lucu. Misalnya tentang hoax dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Saya ambil apa yang dilupakan dan diabaikan orang. Jadi saya mengandaikan diri saya sebagai pemulung yang membuka tong-tong sampah. Saya memilih sesuatu yang dibuang orang, tapi ternyata itu berharga. Hal-hal sepele itu yang saya kembangkan.

Selain berita, dari mana lagi inspirasinya?

Anekdot dan lelucon ketika kumpul bersama teman-teman. Di balik anekdot dan lelucon sering ada pesan moral, tapi disampaikan dengan lucu sehingga tidak menyinggung perasaan. Itu semua saya blow-up menjadi tulisan. Terkadang juga ada yang salah ngomong, tapi justru bisa jadi inspirasi buat saya.

Cerita seperti apa yang layak dijadikan monolog?

Ceritanya harus kuat. Kalau tidak kuat, tidak akan bisa menjadi monolog. Dalam mencari cerita, tidak semuanya bisa saya pakai untuk monolog. Misalnya ada 100 ide cerita, mungkin hanya 20 yang bisa menjadi monolog, atau jangan-jangan cuma 10, atau bisa jadi tidak ada. Monolog itu harus tajam dan langsung menyangkut orang. Tapi, jika tidak tajam dan flat saja, masih mungkin dipertajam oleh pemainnya.

Berapa lama Anda membuat 100 monolog ini?

Kira-kira dua bulan. Setiap hari satu atau dua yang saya bikin. Saya mengetik pakai BlackBerry karena masih bisa saya baca hurufnya. Cuma BlackBerry senjata saya sejak sakit. Bikin apa pun cuma pakai ini. (Putu mengangkat BlackBerry tipe Bold yang dipegangnya.) Stroke membuat tangan dan kaki kiri saya tak bisa berfungsi. Ini membuat saya lebih banyak di rumah sekaligus punya lebih banyak waktu untuk berpikir. Dengan mobilitas yang terbatas, saya justru lebih mobile dalam berimajinasi. Jadi, bagi saya, sakit tidak perlu dianggap sebagai hambatan.

Anda juga banyak mengambil monolog dari cerita pendek Anda….

Ya, 100 monolog itu juga banyak yang saya ambil dari cerita pendek saya karena memang memungkinkan dikembangkan ke sana. Dalam monolog, angle-nya tinggal digeser. Jadi saya tidak merasa mengulang. Terkadang saya mencari ide monolog tapi dapatnya cerita pendek. Ya, sudah, tidak apa-apa. Saya memposisikan diri saya seperti pabrik. Apa pun yang datang saya olah. Buat saya, ini pekerjaan. Saya bahagia kalau bisa mengolahnya.

Apa kekuatan monolog jika dibandingkan dengan drama lengkap?

Drama dimainkan satu tim. Kalau cuma satu-dua pemain yang kuat, pementasannya bisa lemah. Berbeda dengan monolog, yang cuma dimainkan satu orang. Kalau aktornya bagus, hasilnya pasti bagus. Karena itu, yang memainkan monolog harus orang yang kuat dan terlatih. Kalau tidak begitu, jangan coba-coba memainkan monolog. Jika pemainnya kuat, cerita yang dibawakan pasti menarik. Dalam drama, belum tentu semua yang dimainkan menarik.

Mengapa sedikit sekali sejarah monolog dalam teater kontemporer Indonesia?

Kalau dalam makanan, monolog itu ibarat nyamikan, seperti pisang goreng, makanan kecil saja. Bukan dianggap sebagai sebuah pertunjukan. Jadi dulu jarang dibikin dan dipentaskan. Sekarang pementasan monolog terus dipacu karena memproduksi drama cukup mahal. Monolog itu memang bagian dari drama. Tapi kemudian bisa berdiri sendiri dan tampil terpisah. Dulu juga sudah ada monolog yang terpisah dari drama, tapi tidak terlalu populer karena orang lebih senang menonton drama. Drama sering dipentaskan karena dulu tidak ada masalah produksi.

Bagaimana akhirnya kumpulan monolog itu dipentaskan di Bali?

Pada Februari lalu saya kirim buku kumpulan monolog itu ke Putu Satria Kusuma, teman teater saya di Bali. Kemudian dia tergerak untuk bikin pementasan di seluruh Bali tahun ini. Saya sangat mendukung. Apalagi tidak ada sponsor, yang membuat pementasan itu tidak terikat ke mana-mana.

Omong-omong. Kenapa karya-karya Anda sekarang cenderung ke arah realis? Apakah sudah meninggalkan konsep visual layar?

Ini akibat sakit juga. Tapi sebetulnya saya memulai dari realis. Sewaktu SMA, saya memainkan drama realis dan menguasainya. Sejak sakit, saya lebih banyak di rumah dan lebih tekun mengerjakan sesuatu. Kalau memimpin latihan, saya usut sampai detail. Akhirnya mereka yang latihan sering merasa tidak bisa main lagi karena tuntutan saya terlalu njlimet. Saya lakukan itu karena sekarang waktu saya banyak. Tidak sibuk seperti dulu. Drama-drama realis saya mulai lagi sejak 2014. Ini sedikit membuktikan bahwa yang saya lakukan dulu bukan karena saya tidak paham realis, tapi saya tidak punya banyak waktu.

Artinya, Anda tetap tidak meninggalkan teater visual layar?

Tidak. Hanya, teater visual layar kan memerlukan mobilisasi yang bagus. Latihannya berbulan-bulan. Capek juga karena kadang-kadang saya harus memberi contoh. Sekarang saya sulit berdiri, hanya bisa duduk. Memberi contoh sudah tidak bisa lagi. Lebih mudah bagi saya untuk melatih drama realis karena cukup ngomong. Tapi sebetulnya semuanya masih ada, tidak hilang. Cuma kesempatannya tidak memungkinkan.

Buku teater apa lagi yang kini Anda siapkan?

Saya sedang menyiapkan buku berjudul Tradisi Baru. Isinya beberapa drama dan semacam esai panjang tentang keinginan saya supaya kita terbebas dari referensi Barat. Referensi Barat sekarang ini menjadi kiblat kita. Seakan-akan menentukan nilai kita. Jadi, kalau mau menilai teater kita, harus dipetakan dulu ke referensi Barat.

Sudah waktunya menyatakan referensi Barat bukan kiblat kita, tapi hanya salah satu referensi. Referensi yang utama adalah tradisi kita. Jadi dikembalikan kepada tradisi kita karena teater kita tradisinya luar biasa.

Apa sesungguhnya perbedaan utama teater Barat dengan kita?

Dalam referensi Barat, tragedi dan komedi itu berbeda, tidak bisa berjalan bersama. Tragedi seperti kematian dan pembunuhan tak bisa disatukan dengan komedi yang tertawa-tawa. Tapi di Indonesia itu satu paket. Bisa dicampur. Tarian dan musik juga bisa dicampur dalam pertunjukan teater kita. Di Barat, itu dipisahkan.

Selain itu, dalam teater Barat, pemain tampil seakan-akan tak ada penonton. Mereka menciptakan peristiwa di antara mereka saja. Pemain dengan pemain saja. Tapi, di sini, penonton dihadirkan. Kadang-kadang pemainnya ngomong sama penonton. Kalau perlu terjun ke penonton atau penontonnya dibawa ke atas panggung. Tidak ada batas. Di Barat tidak boleh begitu.

Contoh lain dalam hal kostum dan make-up. Pemain dalam teater Barat selalu berganti kostum dan make-up. Di kita tidak begitu. Kostumnya bisa satu saja dari awal sampai akhir. Tapi penonton tidak ada yang terganggu dan cerita tetap berjalan.

Bagaimana Anda melihat kondisi teater saat ini?

Pada 1970-an, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, adalah salah satu tujuan anak-anak muda pada malam Minggu. Banyak yang datang ke sana dan menonton teater. Saat itu teater menanjak. Tapi setelahnya mengalami penurunan karena muncul banyak pusat hiburan, bioskop, dan mal. Sekarang teater sedang bersaing dengan begitu banyak hiburan. Apalagi sekarang orang-orang lebih mencari hiburan yang bisa bikin tertawa. Mereka tak ingin menonton teater untuk disiksa dengan segala persoalan.

Dengan kondisi seperti itu, di mana posisi teater kita di Asia dan dunia?

Saya kasih contoh. Pada 1980-an, saya pergi ke festival seni di Berlin, Jerman. Di sana ada orang Jerman yang tertarik pada cerita pendek buatan saya. Dia bilang mau menerjemahkan dan menerbitkannya. Tapi, sebelum sepakat, dia membawa saya ke sebuah toko buku. Dia menunjukkan buku Pramoedya Ananta Toer dalam terjemahan bahasa Jerman. Dia bilang buku itu isinya bagus, tapi tidak laku. Penyebabnya, orang Jerman tidak punya referensi di Indonesia ada literatur.

Berbeda dengan Jepang. Pemerintahnya mengkampanyekan sastra mereka. Kalau ada misi ke luar negeri, sastrawan dan seniman diajak. Jadi penduduk negara yang didatangi punya referensi. Di Jerman, saya juga bertemu dengan sastrawan Amerika Serikat. Dia kaget di Indonesia ternyata ada sastrawan. Waktu itu saya berpikir, sebenarnya apa yang dipromosikan duta-duta kita di luar negeri.

Sebenarnya, kalau kita promosikan, teater juga tidak kalah bersaing kok dengan mereka. Saya sudah pernah bermain teater di Amerika, Jerman, Jepang, Hong Kong, Bratislava, Praha, dan lain-lain. Apresiasi mereka sangat tinggi jika kita membawakan karya yang berbau Indonesia. Kalau yang dibawa berbau Barat, kita pasti ketinggalan karena memang asalnya dari sana. Jadi di luar negeri itu kita harus mencari posisi sendiri.

Apa yang Anda sampaikan ketika Anda memberikan workshop teater di Amerika dan Jepang?

Di Amerika, saya tidak mengajarkan yang mereka ketahui. Mereka kan basic-nya product oriented. Artinya, kalau mereka ingin membuat pertunjukan, harus dipastikan pemainnya, biayanya, dan diuraikan kebutuhannya. Jadi produknya disiapkan dulu. Tidak boleh ada persiapan yang melenceng dari target. Dalam prosesnya juga tidak boleh ada yang melenceng.

Saya justru mengajak mereka ke process oriented. Apa yang akan dimainkan kita tidak tahu. Baru ketahuan setelah nanti kita mainkan. Mereka bilang ini gila. Tapi saya minta disediakan dana sesuai dengan kemampuan mereka saja, lalu beri saya kebebasan untuk membuat pertunjukan yang belum saya ketahui.

Saya juga menghilangkan audisi seperti yang sering mereka lakukan untuk memilih pemain. Siapa yang ada, itu yang dipakai. Kalau tidak bisa, ya, dilatih. Kalau tidak cocok, ya, dipas-paskan. Latihan pun saya minta supaya semua ikut dari awal. Bukan lagi satu-dua orang yang latihan di adegan tertentu. Yang tidak ada di adegan, saya minta menonton. Mereka memprotes karena capek. Akhirnya, supaya tidak ada konflik, saya ikuti kemauan mereka untuk kembali ke product oriented. Tapi, selesai pementasan, mereka semua menangis. Mereka baru pertama kali merasakan latihan drama layaknya keluarga.

Di Jepang, saya mengajarkan latihan teater seperti di Indonesia. Mereka saya ajak masuk ke dalam batin. Ini berbeda dengan latihan mereka. Lewat cara itu, saya ingin menyadarkan mereka bahwa kita satu tim. Semua pemain harus bisa membawa misi pertunjukan sampai ke penonton.


Kalau dalam makanan, monolog itu ibarat nyamikan, seperti pisang goreng, makanan kecil saja. Bukan dianggap sebagai sebuah pertunjukan. Jadi dulu jarang dibikin dan dipentaskan. Sekarang pementasan monolog terus dipacu karena memproduksi drama cukup mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus