Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI sembilan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla paling "berotot"-alias berpengaruh. Dia memiliki segala amunisi yang diperlukan dalam politik: uang dan kekuatan partai.
Lewat Grup Bukaka, keluarga Kalla merambah bisnis transportasi, infrastruktur, dan perdagangan. Dalam edisi Juli lalu, majalah Globe Asia menempatkan Kalla pada peringkat 83 orang terkaya di Indonesia. Total hartanya Rp 1,15 triliun. Kalla juga menjadi Ketua Umum Golkar, partai pemenang pemilu yang memiliki kekuatan terbesar di parlemen.
Orang-orang di sekitar Kalla hakulyakin, bos merekalah yang menjadi penentu kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam pemilihan 2004. Seperti dalam sebuah wawancara dengan majalah ini, Kalla menjawab pertanyaan tentang perannya itu dengan jelas, "Saya bukan wakil presiden tanpa keringat."
Mungkin karena "keringat" itu, pengaruh Kalla di pemerintahan terang-benderang. Sebelum di-reshuffle, tahun lalu, sejumlah pengamat menilai Kalla menguasai kabinet. Walau sejumlah orang dekatnya digeser dalam dua kali reshuffle, kelompok Kalla tetap menguasai posisi penting dalam politik, dan mendapat banyak kue ekonomi. Kini Kalla juga dinilai sedang memperkuat barisan menuju Pemilihan Umum 2009.
Walau banyak pengamat menuding dia doyan menghimpun modal, mayoritas responden dalam jajak pendapat ini menilai Pak Wapres tidak mementingkan kelompoknya sendiri. Tingkat penilaian negatif terhadap Kalla berbanding lurus dengan tingkat pendidikan respoden.
Cuma sekitar seperlima responden, dengan tingkat pendidikan SD, SMP, SMA, memberikan rapor merah kepada Kalla. Selebihnya menilainya biru. Tapi hampir separuh kelompok sarjana menuding Ketua Umum Golkar itu mementingkan kelompoknya sendiri.
Jika dilihat dari wilayah, banyak responden dari Pulau Jawa yang memberi Kalla nilai negatif. Sebagian besar responden Ibu Kota menilai Kalla mementingkan kelompoknya. Cukup banyak pula responden dari Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Yogyakarta yang menilai Kalla cuma mengusung kepentingan kelompoknya.
Penduduk Yogyakarta sepertinya sudah patah hati dengan saudagar Bugis itu. Mayoritas responden dari Yogyakarta menilai bahwa selama hampir tiga tahun duduk di kursi wakil presiden, Kalla melakukan korupsi. Sebaliknya, hampir semua provinsi di luar Pulau Jawa, terutama di kawasan timur, menilai Kalla bersih dari korupsi.
Kalla memang punya sejarah kisruh dengan warga Yogyakarta. Ketika gempa menggodam Yogyakarta pada Mei 2006, Wakil Presiden itu berselisih dengan warga Bantul. Ketika itu Kalla berjanji akan membantu maksimal Rp 18 juta setiap rumah yang ambruk.
Ketika bantuan kurang, warga berunjuk rasa persis ketika Pak Wakil mengunjungi daerah itu. Tapi Kalla punya jawaban "kancil": "Saya kan bilang maksimal Rp 18 juta? Artinya di bawah jumlah itu juga bisa."
Hampir semua provinsi menilai Kalla tidak pernah menabrak peraturan untuk kepentingan kelompoknya, kecuali responden dua provinsi, yakni Yogyakarta dan Sulawesi Tengah. Persepsi responden Sulawesi Tengah memang mengejutkan: mayoritas responden memberikan rapor buruk kepada Kalla atas semua pertanyaan.
Mereka menuding Kalla sering menabrak peraturan dan mementingkan kelompoknya saja. Sulawesi Tengah adalah wilayah penuh darah. Sepanjang tujuh tahun terakhir Kabupaten Poso dilanda kisruh bernuasa agama. Pemerintah, terutama Jufuf Kalla, sudah merasa sekuat tenaga menenteramkan dan membangun kawasan itu. Dan mayoritas responden dari sana memberinya rapor merah.
DIY Patah HatiUmumnya responden tak percaya bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah orang buruk adat. Buat mereka JK adalah orang baik - kecuali responden yang berasal dari DI Yogyakarta.
1. Jusuf Kalla hanya mencari kesempatan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa dia lebih unggul dibanding SBY.
Setuju 22%Tidak setuju61%Tak jawab 17%
2. Jusuf Kalla hanya mementingkan diri dan kelompoknya
Setuju22%Tidak setuju64%Tak jawab 14%
3. Jusuf Kalla melakukan korupsi
Setuju7%Tidak setuju66%Tak jawab27%
4. Jusuf Kalla sering menabrak peraturan untuk kepentingannya
Setuju 16%Tidak setuju60%Tak jawab 24%
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo