Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kaki rapat! Kaki rapat! Konsentrasi, lihat ke bawah," jumpmaster yang berdiri dekat pintu pesawat C-130 Hercules berteriak. Semua penerjun sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada yang diam, pucat, dan komat-kamit. "Saya lupa sudah berapa banyak tasbih rosario saya habiskan," kata Letnan Satu Ben Mboi.
Kapten Benny Moerdani, yang memimpin pasukan, tampak tidak berbicara sedikit pun. Ia hanya pegang-pegang payung induknya di punggung-sambil menunggu giliran. Ketika bel tanda melompat berbunyi, Letnan Satu Ben Mboi ditendang dari belakang. Dia penerjun ketiga, setelah Sersan Mayor Teguh Sutarmin dan Sersan Mayor Amwat.
Pada fajar, Sabtu, 23 Juni 1962, total 213 penerjun payung dengan nama sandi Pasukan Naga tersebut melompat dari tiga pesawat Hercules. Tapi penerjunan memakai parasut statis jenis D1 buatan Rusia itu kacau. Saat subuh, situasi di Papua betul-betul masih gelap. Bulan pun masih ada. Mereka meloncat dari pesawat satu demi satu-ke bumi Merauke-tanpa tahu kondisi hutan di bawah.
Badan Ben Mboi menerabas cabang-cabang pohon dan ia tergantung 10 meter dari tanah. Ia melepaskan diri dari ikatan payung terjun dengan pisau dan memakai tali untuk turun. Tidak semua bernasib baik. Beberapa tewas tergantung atau terjebak di rawa. Tiupan angin juga membuat Ben terpisah dari Benny-yang tersangkut pohon kemiri.
Lima puluh dua tahun kemudian, operasi rahasia itu masih diingat Ben Mboi dengan segar. Pasukan memanggilnya dengan sebutan "Dok". Itu juga panggilan Benny untuknya-tidak pernah memanggil yang lain. "Dia (Benny) selalu memperlakukan saya sebagai dokter," ujar dokter lulusan Universitas Indonesia 1961 ini kepada Tempo di rumahnya di kawasan Cilandak, Jakarta, Kamis dua pekan lalu.
Tinggi Ben Mboi hampir 170 sentimeter. Ia memiliki lengan besar dan garis rahang tegas-tampak sangar. Walaupun kini lumpuh sebelah kiri badan, ia masih mampu berjalan menggunakan tongkat. Suaranya berat dengan bahasa Indonesia baku, terkadang campur Inggris. "Beginilah hidup saya sekarang," katanya.
Operasi Naga merupakan operasi yang paling tak terlupakan dalam hidup Ben Mboi-kini 79 tahun. Sebab, misi pasukannya begitu berat: menggagalkan rencana Belanda mendirikan "negara boneka" di Papua-sebagai bagian dari perwujudan Tri Komando Rakyat yang diumumkan Presiden Sukarno pada 19 Desember 1961. Indonesia saat itu hendak memperkuat diplomasi dalam perundingan dengan Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Kita harus membuktikan ada wilayah yang bisa direbut," tutur Ben.
Operasi ini dirancang Benny, yang saat itu masih berusia 29 tahun. Kepala Staf Operasi Tertinggi Mayor Jenderal Ahmad Yani tidak punya pilihan lain karena tidak seorang pun perwira senior berani memimpin operasi ini. Padahal pangkat Benny sebenarnya masih belum cukup untuk memimpin unit kesatuan besar. Benny menyasar Merauke sebagai target operasinya.
Yang menjadi tantangan terbesar Benny adalah fakta bahwa operasi udara ke Irian belum ada yang berhasil. Pasukan yang diterjunkan ke sana selalu hilang 100 persen. Itu diingatkan oleh Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto dalam taklimatnya kepada Pasukan Naga di Pulau Seram. "Kalian diperkirakan gugur 60 persen, kembali 40 persen," kata Soeharto sebagaimana dikutip di buku Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja.
Ketika tersangkut di pohon kemiri di hari pertama, Benny Moerdani sudah menyadari kesulitan medan di Irian. Ketiga pesawat Hercules yang membawa pasukannya ternyata keliru menentukan sasaran penerjunan. Pasukan diterjunkan 30 kilometer di utara dropping zone. Sungai yang semula disangka Merauke ternyata Sungai Kumbai. "Petanya masih peta lama, buatan 1937," ujar Ben. Tujuan Benny sebenarnya pantai selatan Irian Barat-yang lebih dekat ke pusat pertahanan Belanda di Merauke. Ben Mboi sendiri berhasil berkumpul dengan sembilan rekannya pada pukul 06.00 Waktu Indonesia Timur. Saat itu rekan-rekannya marah dan memaki Angkatan Udara yang salah menerjunkan mereka. "Ini di mana? Buset, kita diturunkan di West Nieuw Guinea. Bangsat AURI!"
Waktu itu Ben Mboi menjelaskan kepada mereka bahwa Irian Barat itu adalah West Nieuw Guinea dalam bahasa Belanda. "Mereka masih muda dan tidak tahu," kata Ben Mboi, yang terpisah dengan induk pasukan. Mereka dibekali satu peluit dengan kode panggil tiga kali dan jawab dua kali.
Meski tidak semua selamat, di hari kedua, Minggu, 24 Juni 1962, Benny sudah punya pasukan berkekuatan 60 orang serta memiliki peralatan komunikasi dan cadangan mesiu yang cukup. Benny memimpin pasukan baret merah (Resimen Para Komando Angkatan Darat) dan Kapten Bambang Soepeno memimpin pasukan baret hijau (Raiders 530).
Kelebihan Benny adalah kemampuannya dalam merencanakan bentuk komunikasi yang solid antarpasukan. Benny menempatkan Kapten Abdul Rachman Ramly, rekannya semasa pendidikan militer lanjutan di Amerika, sebagai operator di Pos Komando Laha, di luar Ambon. Maka setiap berita yang dipancarkan dari radio komunikasi single-sideband dari Merauke langsung ditangkap Ramly dengan memanfaatkan stasiun relay rahasia di Pulau Am.
Berkat komunikasi rutin tersebut, pasukan tak pernah kehilangan kontak. Setiap saat mereka bisa berhubungan untuk menyampaikan laporan atau meminta tambahan bantuan mesiu dan logistik. Bahkan bisa ikut mengarahkan dropping zone pesawat pengangkut angkatan udara.
Sebelum masuk ke Papua, Benny juga berkomunikasi dengan milisi pro-Indonesia di Papua bernama Labula-penduduk keturunan Buton yang kini sudah meninggal. Menurut Mulyono, putra kedua Labula, kepada Tempo, ada pesan-pesan rahasia yang memang sudah disampaikan Benny kepada ayahnya. Misalnya menghapus jejak dengan memakai dedaunan atau menyediakan makanan sembunyi-sembunyi di hutan.
Saat itu, penduduk asli memang lebih banyak pro-Belanda. Beberapa anggota pasukan dibunuh penduduk saat masuk kampung. Termasuk Teguh Sutarmin, rekan Ben Mboi. "Ada juga yang meninggal karena makan buah pakis," ujar Mulyono kepada Tempo, tiga pekan lalu.
Yang mengagetkan Benny, pada hari kedua, radio Australia menyiarkan ada tiga pesawat Hercules menerjunkan pasukan di Merauke-radio itu bahkan menyebut jumlah pasukan dan nama-nama pemimpinnya, termasuk Benny Moerdani. "Operasi rahasia ini bocor," kata Ben.
Di dalam hutan, Benny cukup sering melakukan kontak senjata dengan Koninklijke Mariniers, Marinir Kerajaan Belanda. Pada 28 Juni 1962, dua perahu motor menyerang pasukan Benny di hulu Sungai Kumbai. Pasukan Naga melawan dan berpindah-pindah tempat sambil bersembunyi di dalam kelebatan hutan. Benny dan pasukannya berhasil memukul mundur dua perahu motor tersebut. Dua anggota tewas: Kopral Emin dan Prajurit Dua Hardjito.
Menurut Ben Mboi, komandannya memang tidak berpikir tentang strategi secara sistematis. "Di medan tempur, tidak ada aturan yang tepat atau pasti. Semuanya adalah masalah eksekusi," ujarnya menilai Benny. Yang dipakai Benny, kata Ben, adalah strategi kucing. "Kalau bertemu, ya bertempur. Kalau tidak, ya kucing-kucingan," ucapnya.
Itu adalah taktik gerilya tua yang bekerja. Sebab, menurut Ben, tujuan Pasukan Naga bukan pergi perang. "Tujuan kami sebagai umpan, supaya Belanda memecah konsentrasi pasukannya yang di Biak, dan terbukti berhasil."
Seminggu kemudian, ketika pasukan sedang beristirahat di persimpangan Sungai Kumbai, Marinir Belanda datang lagi menyerbu. Pertempuran jarak dekat tak terelakkan. Benny tak menduga. Jaketnya sedang dia lepas. Tapi senjata, radio, dan dokumen tetap diikatkan ke tubuhnya. Begitu tembakan pertama terdengar, Benny langsung ngibrit dan memerintahkan anak buahnya menyelamatkan diri. Dalam sergapan itu, Benny nyaris tewas. Topi rimbanya tertembak.
Penembakan itu baru terungkap setelah gencatan senjata pada 17 Agustus 1962. Bersama pasukannya, Benny dijamu makan di markas Marinir Belanda di Merauke. Di dinding markas itu ditempelkan jaket Benny hasil sitaan dalam pertempuran Sungai Kumbai. Jaket tersebut dijadikan sasaran lempar pisau.
Korban gugur Operasi Naga tercatat sebanyak 36 orang, plus 20 orang hilang. Menurut Ben, kalau dipersentasekan, kurang-lebih 25 persen-lebih baik dari yang diperkirakan Soeharto.
Operasi Naga berakhir dengan ditandai New York Agreement pada 15 Agustus 1962-Amerika Serikat memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Belanda menyerah karena merasa tak akan menang bila berperang melawan Indonesia di sana.
Pada malam sebelum penandatanganan perjanjian itu, Tentara Nasional Indonesia masih menerjunkan pasukan lagi: kurang-lebih 1.300 prajurit, di Merauke-ditambah 1 kompi Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara di bawah pimpinan Letnan Satu Mattitaputy. Penerjunan tambahan dilakukan dengan alasan, dari pengalaman revolusi fisik dulu, Belanda selalu ingkar janji. "Dengan tambahan ini, seluruh kekuatan tentara yang diterjunkan di Irian Barat berjumlah 2.100 personel," kata Ben Mboi dalam buku Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja.
Setelah gencatan senjata, seluruh Pasukan Naga masuk secara terbuka ke Kampung Kuprik, Merauke, dengan baju compang-camping. Any Labula, kakak pertama Mulyono, saat itu memberikan songkok (peci tradisional) kepada Benny sebagai tanda kemenangan. "Warga merasa ikut menang perang," ujar Mulyono.
Saat itu juga Ben Mboi bertemu pertama kalinya dengan Benny setelah berpisah di hutan selama hampir tiga bulan, dan dia terkejut. Sebab, banyak pamflet di pohon dan dinding rumah berisi foto dia dan Benny, dengan tulisan: "500 gulden untuk informasi atau menangkap keduanya hidup atau mati".
Pada 1987, patung Benny dengan parasutnya yang tergulung di pundak berdiri di Kampung Kuprik, Distrik Tanah Miring-sekitar 30 kilometer dari Merauke. Monumen ini untuk mengenang keberhasilan Operasi Naga dalam merebut Irian Barat dari tangan Belanda.
Di prasasti itu tertulis: "Di sini daerah penerjunan dalam rangka pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Mayor L. Benny Moerdani pada tanggal 4 Juni 1962. Terima kasih atas perhatian masyarakat dan pemerintah daerah tingkat II. Persembahan masyarakat dan Pemda 2 Oktober 1989". Daerah dekat tugu Benny sampai kini sepi dan sedikit sekali ada rumah. Penduduk setempat menyebutnya "daerah rawa setan"-karena dikenal angker, yang berasal dari cerita mistis tentang arwah anggota Pasukan Naga yang tewas tergantung di atas pohon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo