Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Desa hampir selalu dipimpin oleh kader Partai Kebangkitan Bangsa.
Sebagian pendamping desa juga terafiliasi dengan PKB.
Terjadi keterlambatan pengiriman honor pendamping desa pada triwulan pertama tahun ini.
PERINGATAN disampaikan Ketua Komisi Perdesaan Dewan Perwakilan Rakyat Lasarus dalam rapat kerja dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar pada Senin, 15 Maret lalu. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu meminta rekrutmen pendamping desa tak boleh didasari kebijakan politis. “Kalau politis, kinerja pendamping desa jeblok, nama PKB yang tidak baik,” kata Lasarus menceritakan kembali pernyataannya kepada Tempo pada Sabtu, 10 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Halim merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa. Ia juga kakak Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Kementerian Desa, sejak bernama Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, memang selalu dinakhodai kader PKB, dari Saifullah Yusuf, Muhammad Lukman Edy, Helmy Faishal Zaini, Marwan Ja’far, Eko Putro Sandjojo, hingga Halim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian pendamping desa terafiliasi dengan PKB. Salah satunya terlihat dari surat tugas pendamping desa untuk wilayah Jawa Barat yang diteken Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Jajang Abdullah pada 8 Januari lalu. Surat itu berisi 1.334 nama pendamping desa di tingkat kota, kecamatan, dan kabupaten.
Di Kabupaten Bogor, misalnya, Iman Sukarya Sarkowi terdaftar sebagai pendamping desa di Kecamatan Cisarua. Iman adalah Ketua Dewan Pimpinan Anak Cabang PKB Cisarua 2010-2015. Dia maju menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bogor pada Pemilihan Umum 2014, tapi gagal terpilih. Dua tahun kemudian, Iman lolos seleksi menjadi pendamping desa. Menurut Iman, tiga pendamping lokal desa yang membantu dia bekerja merupakan pengurus Gerakan Pemuda Ansor dan simpatisan PKB. “Ya, bisa saya katakan pendamping desa memang banyak yang berafiliasi ke PKB,” ujarnya.
Di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Rahmatullah, yang tergabung dalam organisasi Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama, juga terdaftar sebagai pendamping desa sejak 2015. Sekalipun mendapat informasi perekrutan pendamping desa dari rekannya di PKB, Rahmatullah mengaku mendaftar melalui jalur resmi dengan mengikuti seleksi yang digelar Kementerian Desa. Dia membenarkan ada pendamping desa yang terpilih karena mendapat rekomendasi partai tersebut.
Begitu pula di Bantaeng, Sulawesi Selatan, personel Ansor, Rasyidin, terdaftar sebagai tenaga ahli pelayanan sosial dasar di kawasan tersebut. Rasyidin mengakui banyak pendamping desa merupakan anggota Ansor dan pengikut Nahdlatul Ulama. Namun dia mengklaim semuanya mengikuti seleksi.
Dua pejabat di Sumatera dan Sulawesi mengatakan ketua PKB setempat ikut mengusulkan nama pendamping desa. Mantan Ketua Dewan Pengurus Wilayah PKB Sulawesi Utara, Grace Netty Tielman, mengaku pernah mengusulkan sejumlah nama menjadi pendamping desa. “Ada beberapa yang saya sarankan sesuai dengan disiplin ilmu dan secara profesional untuk ikut open bidding. Siapa saja boleh melamar, kan,” ucap Grace, kini anggota staf khusus Menteri Perdagangan.
Menteri Desa Abdul Halim membantah kabar bahwa pengurus PKB di daerah mengatur pengisian personel pendamping desa. Halim pun mengklaim partainya tak mendapat keuntungan dari pendamping desa. “Gampang ngeceknya, banyak kepala daerah yang dari PKB, enggak? Kenyataannya kan enggak,” tuturnya. Halim juga menyatakan kenaikan jumlah kursi PKB di DPR dari 47 pada 2014 menjadi 58 pada 2019 tidak terkait dengan banyaknya pendamping desa dari partainya.
Menurut Halim, pendamping desa diseleksi dengan melibatkan perguruan tinggi. Sejak 2017, tak ada lagi perekrutan baru besar-besaran, melainkan hanya rekrutmen terbatas untuk mengisi kekosongan.
Di sejumlah daerah, ada ratusan pendamping desa yang mengundurkan diri. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kependudukan, dan Pencatatan Sipil Jawa Tengah Sugeng Riyanto menyebutkan sekitar 350 pendamping lokal desa mundur pada 2019-2020. Penyebabnya, honor yang diterima tak sebanding dengan beban kerja. Pendamping lokal desa hanya menerima Rp 1,9 juta untuk mendampingi tiga-empat desa.
•••
BERBAGAI persoalan terus muncul terkait dengan pendamping desa. Pada triwulan pertama tahun ini, terjadi keterlambatan pengiriman honor untuk tenaga pendamping desa. Koordinator tenaga ahli infrastruktur desa Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Wratsongko Srikawurian, mengaku harus membobol tabungannya karena keterlambatan honor. “Pendamping desa kesal, tapi kami tetap bekerja,” kata Wratsongko.
Keterlambatan itu terjadi karena Kementerian Desa mengubah struktur organisasi dan tata kerja. Kewenangan pemerintah provinsi menyalurkan honor pendamping pun ditarik ke Kementerian Desa. Padahal jabatan yang mengurus persoalan pendamping desa di kementerian itu belum terisi.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Sumatera Utara Aspan Sofian mempertanyakan keputusan Kementerian Desa. Menurut dia, kementerian tak memberikan alasan jelas tentang perubahan mekanisme penyaluran honor. Aspan pun mengetahui perubahan itu dari pendamping desa, bukan dari Kementerian Desa.
Aspan mengatakan Kementerian baru benar-benar memberi tahu bahwa kebijakan penyaluran honor diambil alih pusat melalui surat pada 18 Januari lalu. Dalam surat itu disebutkan pembayaran honor pendamping desa, peningkatan kapasitas, dan evaluasi dilakukan langsung oleh Kementerian. Surat itu dikirim oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Desa Taufik Madjid.
Menteri Abdul Halim mengklaim penarikan urusan honor ke tingkat pusat bertujuan meningkatkan kapasitas pendamping desa. Kementerian Desa membuat tolok ukur penilaian kinerja yang lebih baik ketimbang di daerah. Tak tertutup kemungkinan honor itu meningkat jika kinerja dinilai memuaskan. “Saya tanya ke Menteri Keuangan, kenaikan honor harus ada tolok ukurnya,” ujar Halim.
Menurut Halim, penilaian kerja itu didasari laporan harian secara daring yang dikirim ke Kementerian Desa. Laporan itu kemudian akan diverifikasi. “Ini semua ada ukurannya.” Namun sejumlah kepala dinas ragu terhadap evaluasi dan pemantauan di tingkat pusat bakal efektif. "Siapa bisa memastikan mereka ke lapangan kalau bukan kami yang di daerah," kata Syafrizal Ucok, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Sumatera Barat.
DEVY ERNIS, ADINDA ZAHRA (MEDAN), ANDIKA KHAGEN (PADANG), MADE ARGAWA (BALI), JAMAL A. NASHR (SEMARANG), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), M.A. MURTHADO (BOGOR), DIDIT (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo