Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banjir membuat rumah-rumah di NTT roboh.
Sebanyak 165 orang meninggal dan 45 lainnya hilang.
Kabupaten Flores Timur dan Lembata adalah dua daerah yang terkena dampak paling parah.
GELEGAR petir terus terdengar di rumah Elisabeth Lenahuki di Kelurahan Waiwerang, Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Ahad pukul satu dinihari, 4 April lalu. Penuh kecemasan di tengah hujan, perempuan 61 tahun itu berulang kali melongok ke luar jendela, memperhatikan aliran air di luar rumah. “Cuaca buruk sekali tiga hari belakangan,” kata Elisabeth saat dihubungi Tempo, Rabu, 7 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba saja banjir setinggi lutut mengepung rumah. Listrik padam seketika. Seiring dengan air merendam rumah dalam waktu cepat, Elisabeth berteriak-teriak membangunkan suaminya yang tertidur. Keduanya berlari ke belakang rumah, tapi air sudah terlalu tinggi. Buru-buru mereka naik ke loteng rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah gelap dan riuh banjir, Elisabeth mendengar jeritan tetangganya meminta tolong. Sambil melawan arus, dalam kondisi tubuh terluka, ibu dan seorang anaknya mencoba menjangkau rumah Elisabeth. Ia dan suaminya dengan susah payah membopong mereka ke loteng.
Di luar, banjir bandang terus meninggi dan merobohkan banyak rumah lain. Elisabeth teringat kepada anaknya, Yeremia, 33 tahun, yang tidur di rumah dekat kebun mereka, sekitar 50 meter dari situ. Rumah itu persis berada di pinggir Kali Waiburak, yang menjadi jalur banjir bandang. “Saat itu saya hanya bisa berdoa supaya anak saya selamat,” ucap Elisabeth.
Esoknya, setelah banjir surut, Elisabeth mendapati rumah yang ditempati anaknya itu habis dihajar bah. Kemenakannya yang tidur bersama Yeremia selamat. Namun Yeremia tak kunjung ditemukan. Tiga hari kemudian barulah tubuh Yeremia ditemukan di Pulau Solor, yang bersebelahan dengan Pulau Adonara.
Sekitar 1 kilometer dari rumah Elisabeth, banjir bandang juga menyapu kediaman Nelti Yanubi, 26 tahun. Ia sempat mendengar teriakan tetangganya. “Banjir! Banjir!” kata Nelti menirukan peringatan dari tetangganya. Ayah Nelti, Moses Yanubi, langsung menyambar tangan mahasiswi yang kuliah di Maumere tersebut.
Mereka berlari ke arah jalan raya. Namun aspal jalan sudah tertutup oleh banjir. Tiba-tiba saja air deras menggulung badan Nelti dan Moses, 62 tahun. Selama 15 menit, mereka berputar-putar terbawa arus dengan tetap berpegangan tangan. Hingga akhirnya mereka tersangkut di pagar sebuah gudang.
Seorang bocah membawa karung berisi bantuan logistik untuk korban tanah longsor di Desa Nelelamadike, Ile Boleng, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), 8 April 2021. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Sekitar pukul empat dinihari, air mulai surut. Dengan tubuh penuh luka memar, Nelti dan Moses berjalan menuju rumah penduduk yang terletak di ketinggian. Nelti mengamati, rumah-rumah yang terletak di tanah rendah telah hancur. Rencana dia merayakan Paskah bersama ayahnya pun tak terwujud. “Kami mau bilang apa lagi. Sudah jalannya Tuhan, toh,” ujar Nelti.
Di Desa Saosina, Kampung Baru, hampir 1,5 kilometer dari rumah Nelti, Handoko, 68 tahun, juga terseret arus deras. Sekitar lima jam sebelum hari berganti, Handoko memperhatikan debit air sungai di dekat mes tempat dia tinggal mulai menderas. Menjelang pukul satu dinihari, dia mendengar suara ribut dari arah sungai. “Suara gemuruh keras sekali,” kata laki-laki asal Surabaya itu.
Handoko yang sedang sendirian di mes lalu membuka pintu. Seketika air bercampur lumpur menghantam badannya. Berulang kali dia mencoba bangun, tapi kembali terjatuh.
Sesaat air surut hingga setinggi pahanya. Handoko terhuyung-huyung berlari ke arah truk tronton yang dilihatnya. Ia berhasil melompat ke atas bak tronton. Di situ dia menyaksikan Desa Saosina telah tenggelam. Pohon-pohon tak terlihat lagi. Rumah-rumah di bibir sungai pun tersapu bersih.
•••
BENCANA banjir bandang dan tanah longsor di sebelas kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Timur terjadi pada Ahad dinihari, 4 April lalu, akibat siklon tropis. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, hingga Jumat malam, 9 April lalu, 165 orang meninggal dan 45 lainnya hilang. Akibat bencana itu, 17.834 orang mengungsi serta lebih dari 14 ribu rumah rusak ringan, sedang, dan berat. Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata adalah dua daerah yang terkena dampak paling parah.
Di Desa Tanjung Batu, Ile Ape, Kabupaten Lembata, Alexander Kia Langoday, 28 tahun, menyaksikan langsung air bah beserta tanah longsor meluncur dari Gunung Ile Lewotolok. Sebelum bencana terjadi, Alexander dan keluarganya berkumpul di rumah setelah merayakan malam Paskah—peringatan menjelang kebangkitan Yesus. Mereka tak bisa tidur karena cuaca sangat buruk. Hujan deras terus menyiram wilayah itu.
Menjelang pukul tiga dinihari, Alexander hendak membuka pintu rumah untuk memindahkan sepeda motor. Tiba-tiba saja badannya dihantam banjir bandang yang datang dari gunung. Air juga membawa tanah, bebatuan, dan kayu. “Airnya setinggi pintu rumah, batu-batunya juga sebesar rumah,” tutur Alexander.
Air bah berulang kali menggulung Alexander. Ia tersangkut di batu besar. Kayu hutan sempat mengempaskannya, membuat dia terpelanting kencang. Lalu tangannya tersangkut di sebuah jeruji besi. Alexander menggenggam erat jeruji tersebut. Tak ada lagi pakaian menempel di tubuhnya. Sekitar 15 menit Alexander bergelantungan di jeruji yang ternyata terali jendela rumahnya sendiri tersebut. Saat itulah dia menyaksikan orang-orang hanyut bersama rumah mereka.
Samar-samar Alexander mendengar teriakan keluarganya yang menyangka dia terseret jauh. Ia kemudian berteriak, “Saya masih hidup, saya di jendela!” Ayah Alexander, Aloysius Laman Langoday, langsung menangis saat melihat sang anak terkait di jendela rumah.
Sejam kemudian, air mulai surut. Alexander melihat enam jenazah bergelimpangan di depan rumahnya. Ada yang tertimpa batu, juga kayu. Jasad lainnya terdampar di pinggir laut tak jauh dari rumahnya.
Sekitar seratus meter dari rumah Alexander, di dataran yang lebih tinggi, Dominikus Kaka, 38 tahun, mengalami kejadian serupa. Banjir tidak sampai meruntuhkan rumah. Namun tanah longsor membuat rumahnya roboh pelan-pelan. Dominikus bersama istri dan dua anaknya tertimpa reruntuhan atap dan tembok.
Tak mengalami luka berat, Dominikus langsung memanggil keluarganya. Lama tak terdengar sahutan. Kemudian dia mendengar suara lirih istrinya di balik reruntuhan bangunan. Dalam gelap, Dominikus berusaha membebaskan istri dan anak-anaknya yang berusia 9 dan 12 tahun dari reruntuhan bangunan. Beruntung plafon rumah tersangkut di lemari dan tidak menimpa mereka. “Saya tidak tahu macam mana kami bisa selamat. Mukjizat. Begitu sudah,” ujar Dominikus.
Desa di lereng Gunung Ile Lewotolok habis tertimbun tanah. Bersama ratusan korban lain, Dominikus dan keluarganya tidur di tempat pengungsian. Anak bungsunya masih mengalami trauma. Sejak malam itu, dia selalu menggenggam erat lengan bapaknya.
DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo