Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Promotor konser menyiapkan sejumlah skenario untuk kembali menggelar pertunjukan offline.
Pandemi melahirkan asosiasi untuk menyuarakan permintaan dukungan pemerintah terhadap konser musik secara langsung.
Hitung-hitungan bisnis masih menjadi momok penyelenggaraan konser di masa pandemi.
ANAS Syahrul Alimi punya waktu tiga bulan. Chief Executive Officer PT Syakira Ghyna Rajawali Indonesia Communication itu sedang menyiapkan Prambanan Jazz Festival, perhelatan musik jazz yang akan digelar pada 2-4 Juli mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persiapan kali ini memang jauh dari pengalaman Rajawali Indonesia. Acara pada awal Juli itu akan menjadi ajang kembalinya Prambanan Jazz Festival ke pelataran Candi Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada November tahun lalu, festival yang berkibar sejak 2015 itu terpaksa beralih ke tayangan virtual karena Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandemi yang belum berakhir pula yang kini memaksa Anas dan timnya menggodok sejumlah rencana tambahan. Mereka kudu memastikan protokol kesehatan terpenuhi jika ingin festival kembali digelar secara offline. “Sedang finalisasi. Penyelenggara konser harus dapat rekomendasi dari satuan tugas daerah,” kata Anas, Selasa, 6 April lalu.
Siang itu, ketika ditemui Tempo, Anas baru saja mengikuti rapat dengan timnya untuk membahas desain panggung pertunjukan dan area penonton. Dia memberi sedikit bocoran. Festival Juli nanti hanya akan menyediakan satu panggung. Dalam perhelatan sebelum pandemi, dua panggung berdiri membelakangi kompleks candi sisi timur.
Untuk area penonton, tim Rajawali Indonesia akan meniru konsep penyelenggaraan konser pertama di tengah pandemi di Newcastle, Inggris, pada Agustus 2020. Penonton akan dipisahkan dalam kotak-kotak berkapasitas empat orang yang di dalamnya berisi kursi dengan jarak masing-masing 1 meter. Anas juga sedang menyiapkan rancangan mekanisme penyaringan terhadap pengunjung, di antaranya kewajiban mengenakan masker dan menunjukkan hasil pemeriksaan negatif Covid-19.
Sam Fender saat tampil dalam konser musik di Virgin Money Unity Arena di Newcastle, Inggris, Agustus 2020. Foto: Twitter @VMUnityArena
Semua persiapan itu dimulai setelah pemerintah memberi sinyal bakal memberikan izin kepada penyelenggara pertunjukan, termasuk konser musik, untuk mengadakan acara secara offline. Lampu hijau pertama kali dinyalakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno pada medio Maret lalu.
Menurut Sandiaga, pemerintah perlu menyelamatkan banyak sektor ekonomi kreatif. “Untuk mereaktivasi kegiatan perekonomian yang produksinya menurun selama masa pandemi,” ucap Sandiaga lewat jawaban tertulis kepada Tempo, Jumat, 9 April lalu. Di sisi lain, dia menambahkan, mulai berjalannya vaksinasi dan menurunnya angka penyebaran Covid-19 juga menjadi pertimbangan pemerintah. “Namun kita tetap harus selalu berdisiplin menjaga protokol kesehatan.”
Kementerian Pariwisata berharap kinerja sektor pariwisata kembali menggeliat setelah tersungkur akibat pagebluk. Menggelar pertunjukan secara langsung menjadi salah satu siasat untuk kembali menghidupkan sektor ini sekaligus menopang bisnis ekonomi kreatif.
Konser bertaraf internasional terakhir yang digelar secara langsung adalah Java Jazz Festival di Jakarta International Expo pada 28 Februari-1 Maret 2020. Persis satu hari seusai penyelenggaraan acara tersebut, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia.
Sejak saat itu, berbagai agenda pertunjukan ditunda, bahkan dibatalkan. Sebagian event organizer mengalihkan acaranya ke platform virtual, seperti yang dilakoni Anas ketika menggelar Prambanan Jazz Online pada Juli 2020. Pertunjukan offline yang direncanakan berlangsung pada Oktober-November 2020 juga akhirnya terpaksa digelar secara virtual.
Roda bisnis Rajawali Indonesia pun seketika berbalik arah. Anas mengklaim perusahaannya kehilangan potensi pendapatan hampir Rp 80 miliar selama pandemi. Alih-alih bisa menutup ongkos produksi, konser virtual itu justru membikin tekor. “Tombok Rp 200 juta,” tutur Anas.
***
Penyanyi Rio Febrian dalam acara Prambanan Jazz Online di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Juli 2020. Foto: Dokumentasi Panitia
PONTANG-PANTING menghadapi bisnis yang mati suri, tujuh perusahaan penyelenggara konser terpaksa membentuk Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) pada 28 Oktober 2020. Mereka adalah Rajawali Indonesia, Java Festival Production, Berlian Entertainment, Nada Promotama, Synchronize Festival, Hype Music Asia, dan Ravel Entertainment (Hammersonic).
Pandemi benar-benar menyatukan mereka, yang sebelumnya sulit menjalin komunikasi secara formal. Apalagi penyelenggaraan acara virtual ternyata tak bisa memulihkan industri, termasuk dari sisi penyerapan tenaga kerja. "Banyak pihak yang terimbas. Makanya awal tahun ini kami harus bergerak. Event harus mulai jalan dengan cara adaptif," kata Ketua APMI yang juga CEO Berlian Entertainment, Dino Hamid, Rabu, 7 April lalu. "Selama ini enggak ada yang berpikir sepanjang ini dampaknya. Dan biasanya semua berjalan sendiri-sendiri."
Lewat APMI, para dedengkot pertunjukan musik itu bergabung dengan 14 asosiasi industri kreatif lain ketika melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo pada 3 Maret lalu. Mereka meminta izin penyelenggaraan pertunjukan secara offline. Tiga hari kemudian, pelaku industri film yang terdiri atas produser film, sutradara, aktor, pemilik bioskop, dan pengurus asosiasi juga melayangkan surat terbuka kepada Jokowi via media sosial.
Pelaku industri film memang sedang menghadapi permasalahan serupa. Bisnis mereka ambruk lantaran bioskop mati suri. Sama halnya dengan konser virtual, platform distribusi film secara online dianggap tak mampu menopang pertumbuhan industri.
Sederet permasalahan yang mengemuka ini memantik sejumlah diskusi di antara pelaku industri hiburan. APMI makin intens berkomunikasi dengan Kementerian Pariwisata sejak awal tahun ini, termasuk bertemu langsung dengan Menteri Sandiaga Uno pada 25 Januari lalu. Sepekan kemudian, Sandiaga menemui Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk meminta dukungan terhadap rencana pemberian kembali izin penyelenggaraan konser musik.
Pembahasan teknis dimulai sejak saat itu. Pada 8 Maret lalu, lima hari setelah 15 asosiasi industri menyampaikan surat terbuka kepada Jokowi, Kementerian Pariwisata mengundang sejumlah perwakilan asosiasi kreatif bertemu di Hotel Mercure, Jakarta. Bincang-bincang itu dihadiri Jenderal Listyo; juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito; dan pelaksana tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kartini Rustandi.
Dalam pertemuan itu, pemerintah menyatakan akan menetapkan lokasi penyelenggaraan event dalam tiga klasifikasi zona, yaitu merah, kuning, dan hijau. Hanya lokasi berstatus zona hijau yang bisa menjadi tempat kegiatan terbuka dengan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin. Adapun pelaku industri kreatif diminta menyiapkan presentasi untuk memastikan konser yang akan mereka digelar dapat memenuhi protokol kesehatan.
Pertemuan teknis lanjutan untuk membahas perizinan penyelenggaraan acara serta pertemuan, insentif, konferensi, dan ekshibisi (MICE) kembali dihelat pada Kamis, 25 Maret lalu. Dalam pembicaraan terakhir itu, menurut Dino, kepolisian menyatakan akan memberikan lampu hijau untuk penyelenggaraan konser musik. “Yang penting bisa benar-benar disiplin, event bisa dilaksanakan kalau satgas Covid memberikan persetujuan secara mekanismenya,” ujar Dino.
Juru bicara Kementerian Koordinator Perekonomian, Alia Karenina, mengatakan saat ini masyarakat sudah mulai terbiasa dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat, yaitu mengenakan masker, menghindari kerumunan, dan menjaga jarak saat beraktivitas. Karena itu, dia melanjutkan, pemerintah mempertimbangkan recana pembukaan kembali sejumlah kegiatan seni dan budaya secara offline dengan sejumlah persyaratan. “Kegiatan seni-budaya diizinkan buka maksimal 25 persen dari kapasitas dengan penerapan protokol kesehatan pada masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat mikro hingga 19 April mendatang,” ucap Alia, Kamis, 8 April lalu.
***
DEWI Allice Lydia Gontha juga sedang harap-harap cemas. Presiden Direktur PT Java Festival Production itu sedang bersiap memenuhi berbagai persyaratan agar bisa menggelar Java Jazz Festival tahun ini.
Menurut dia, koordinasi dengan berbagai pihak sebenarnya biasa dilakoni dalam penyelenggaraan acara berskala internasional. "Bedanya, sekarang paparan dilakukan ke lebih banyak instansi, sampai ke Kementerian Kesehatan dan satgas Covid-19," kata Dewi, Selasa, 6 April lalu.
Penampilan Ardhito Pramono pada hari kedua pergelaran musik Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2020 di Jakarta International Expo, 29 Februari 2020./ TEMPO/Nurdiansah
Pada Rabu, 7 April lalu, sehari setelah berbincang dengan Tempo, Dewi dijadwalkan membuat video simulasi penerapan protokol kesehatan untuk rencana penyelenggaraan Java Jazz akhir Juli nanti. Video ini akan menjadi bagian presentasi yang bakal disodorkan kepada Kementerian Pariwisata, Kepolisian RI, dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
Seperti Anas Alimi dari Rajawali Indonesia, Dewi belum bisa memastikan daftar pengisi acara festival yang akan mereka gelar. "Yang mau kami dulukan soal perizinan. Kalau belum gol, percuma melakukan itu semua. Kami perlu perizinan tertulis kalau sudah boleh berjalan," ujarnya. "Karena ini krusial, harus tahu berapa banyak memasukkan orang dan lainnya."
Adanya lampu hijau untuk penyelenggaraan pertunjukan secara offline memang belum akan menjawab sejumlah ketidakpastian yang dihadapi para promotor. Penerapan protokol otomatis akan mengurangi jumlah pengunjung dan menghapus potensi pendapatan.
Harapan mendapatkan dana dari sponsor juga masih menyisakan pertanyaan. Anas mengungkapkan, sejumlah badan usaha milik negara menetapkan ketentuan internal tak menjalin kerja sama dalam acara yang menghadirkan kerumunan. Padahal selama ini sponsorship dari perusahaan pelat merah berkontribusi hingga 70 persen dari seluruh pendapatan.
Di sisi lain, berbagai sarana untuk menjamin keamanan dan kesehatan di masa pandemi justru menuntut tambahan biaya. Walhasil, sejumlah strategi bisnis perlu dikombinasikan. Prambanan Jazz Festival kelak dipadukan dengan konsep virtual. Harga tiket pertunjukan langsung mungkin kudu naik dari yang termurah Rp 250 ribu menjadi Rp 500 ribu.
Penyesuaian besar-besaran untuk menekan biaya produksi juga bakal dilakukan dengan cara mengganti akomodasi para musikus. Penyediaan tiket pesawat, misalnya, akan dialihkan ke fasilitas perjalanan darat jika memungkinkan. Tawar-menawar biaya pun digeber dengan para vendor. Anas memperkirakan pendapatan konser tidak lebih dari 20 persen dibanding pada situasi normal.
Rencana penyelenggaraan kembali konser secara offline juga menjadi angin segar bagi pemerintah daerah, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang setahun terakhir ikut lesu seiring dengan rontoknya bisnis pariwisata. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Singgih Raharjo mengungkapkan, berbagai konser musik di Yogyakarta selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan daerahnya. Penonton yang datang dari berbagai daerah, juga mancanegara, akan membelanjakan dananya di sektor akomodasi, makanan, dan minuman. "Jalan terus saja," tutur Singgih.
AISHA SHAIDRA, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo