Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Susah berharap Lady Gaga tampil lurus-lurus saja tatkala kontroversi telah menjadi merek dagangnya, menjadi DNA barunya. Sosok Stefani Joanne Angelina Germanotta yang dididik dalam sekolah Katolik ketat dan mencintai musik rock telah menjadi masa silam. Perempuan 26 tahun itu kini berubah menjadi ”monster” bernama Lady Gaga—yang menyatakan kecintaannya kepada Judas dalam nyanyian pop-dance.
Meski dia punya modal binal (pernah menjadi go-go dancer), proses perubahan itu sesungguhnya baru terjadi setelah pertemuannya dengan produser Rob Fusari pada 2006 hingga peluncuran album perdananya, The Fame, pada 2008. Kurang-lebih dua tahunlah. Formula metamorfosis ini dianggap berhasil dan dipertahankan Gaga hingga sekarang.
Koreksi pertama adalah soal musik. Dibesarkan oleh ayah yang menyukai Bruce Springsteen, kepala Stefani disesaki musik rock 1970-an hingga 1980-an: Jimmy Page, John Lennon, Janis Joplin, Springsteen, Sex Pistols, Ramones, Billy Idol, AC/DC, dan Kiss. Bersama Stefani Germanotta Band (SGBand)—band yang dibentuknya setelah putus kuliah—dia berkeliling ke bar-bar di New York menyanyikan lagu-lagu Led Zeppelin.
Tapi Rob Fusari menganggap pilihan musik ini tak menjual. Fusari meminta Stefani banting setir ke musik pop-dance. Stefani marah, tapi tak punya pilihan. Beruntung dia menyukai Duran Duran dan Scissor Sisters. Meski menyetujui pilihan musik yang lebih ringan, dia mempertahankan lirik-lirik nakal dan protes rock.
Dalam beberapa lagu, seperti Judas dan Black Jesus, Lady Gaga terdengar agak berlebihan. ”Jesus is my virtue, but Judas is the demon I cling to,” katanya dalam Judas. Dalam klip lagu itu, dia menjadi Maria Magdalena. Sejumlah kalangan Katolik tersinggung ketika dia memakai baju biarawati dalam klip video Alejandro. Ada setidaknya 17 lagu yang dianggap menghina agama. Hal inilah yang membuat dia kemudian dianggap antiagama, bahkan pemuja setan.
Jauh sebelum Gaga, banyak musikus dituduh sebagai pemuja setan—karena lirik ataupun aksi-aksi mereka. Ozzy Osbourne pernah menggigit kepala kelelawar di atas panggung. Hal yang sama dilakukan Alice Cooper. Terlepas dari asli atau palsunya kelelawar yang dicokot, apa yang mereka lakukan tak ada hubungannya dengan pemujaan setan. Itu semata-mata aksi panggung demi sensasi. ”Saya seorang religius dan spiritual, yang terobsesi dengan seni berbau agama…. Saya amat terobsesi oleh hal itu,” kata Gaga kepada saluran infotainmen E!News.
Karena musiknya berubah, dia mengubah pula penampilannya menjadi lebih ngepop. Tapi dia tak ingin menjadi Shakira atau Britney Spears. Maka Gaga pun membaca Andy Warhol—nabi seni pop—dan memandangi karyanya selama tiga jam di museum. ”Buku-buku Warhol menjadi kitab sucinya,” kata Darin Darling, temannya, kepada New York Times. ”Dia membacanya dengan tekun, lalu menstabilo kalimat yang dianggapnya penting.”
Maka muncullah Gaga dengan penampilan barunya. Dia tak sudi memakai gaun glamor ala bintang Hollywood di karpet merah. Sementara Warhol memanfaatkan benda sehari-hari sebagai obyek seni, Gaga memanfaatkannya untuk mode. Kaleng Coca-Cola dijadikannya hiasan rambut tatkala dia turun di bandar udara Sydney; dia menggunakan potongan daging segar sebagai baju saat menghadiri Video Music Awards 2010.
Baju-baju itu membuat dia sulit tampil cantik dan anggun ala Miss Universe. Tapi ia juga tak ingin hanya berbaju unik seperti penyanyi Islandia, Bjork. Di situlah Gaga memasukkan unsur keseksian. Sebagai mantan go-go dancer, hal itu tak sulit. Tubuhnya dia tutupi dengan puluhan gelembung transparan dalam The Fame Ball Tour pada 2008. Baju ini sebenarnya meniru koleksi desainer Hussein Chalayan (2007), tapi hanya Gaga yang berani memakainya di depan puluhan ribu orang.
Seperti yang ia jelaskan kepada majalah Rolling Stone, ia menggunakan keseksian sebagai bagian dari perjalanan seni. Memiliki aura keseksian macam Madonna, Gaga punya kualitas suara amat baik yang tak dimiliki Madonna. Tapi dia tahu suara saja tak cukup—ihwal yang dia sadari sejak kuliah. Majalah Forbes pernah melaporkan hal berikut: sekali waktu Gaga bernyanyi di depan anak-anak muda New York, tapi tak ada yang memperhatikannya. ”Ketika saya main piano hanya dengan pakaian dalam, dan menyanyikan lagu yang sama, baru mereka berkata wooow!”
Selain untuk menarik perhatian, ia mengaku punya misi di balik keseksian. Ia ingin kesaksiannya—di klip video, panggung, dan penampilan sehari-hari—dianggap bagian dari upaya liberasi, pendobrakan norma, anarkisme demi perdamaian, seperti para hippie. ”Dalam hati, saya ini seorang hippie,” katanya kepada Rolling Stone. Gaga amat mengidolakan John Lennon dan Yoko Ono, yang punya pandangan sama. Dan dia menyanyikan lagu Imagine yang mengkampanyekan anarkisme damai.
Dengan dasar itulah ia memperjuangkan hak-hak kaum homoseksual. Maka santerlah isu, Lady Gaga seorang transgender. ”Ini rumor favorit saya,” ujarnya. Dokumen-dokumen, para kerabat, dan teman-teman dari masa lalunya membantah hal itu, tanpa Gaga sendiri mengungkapkannya. Berbagai tuduhan yang menganggapnya buruk tampaknya tidak jadi soal untuk Gaga. Ia bahkan ingin dijuluki Mother Monster, biang monster. Dia menyebut para penggemarnya little monster.
Hal ketiga yang dia ubah sebelum album pertamanya keluar adalah nama. Stefani Germanotta dianggap terlalu serius untuk sebutan seorang penyanyi eksentrik. Ia merasa harus punya nama panggung seeksentrik baju dan lagunya. Nama Gaga lahir dari keisengan Fusari menyanyikan Radio Gaga dari Queen setiap kali Stefani masuk studio rekaman. Menurut dia, Stefani cocok dengan lagu itu karena cerewet (ga-ga bisa berarti blah-blah). ”That's it,” katanya. Itu dia! Stefani pun memilih judul lagu Queen itu sebagai nama panggungnya dan mengganti kata radio dengan lady.
”Lady Gaga adalah namaku,” katanya kepada New York Times.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo