Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bibi Teliti atawa Tidur Siang Saja

Pemilihan umum, Kamis pekan depan, dibayangi apatisme publik. Agar tak salah pilih: perhatikan latar belakang partai, rekam jejak para pendiri dan tokohnya, serta sepak terjang mereka selama ini. Pemilu memang bukan kewajiban, tapi usahakan jangan golput.

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head1206.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMILU tinggal sepekan lagi. Ada yang menyongsong pesta demokrasi itu gegap-gempita, ada pula yang bermuram durja.

Kaum yang pertama, barangkali, sudah tahu partai yang akan dipilih. Mungkin karena sudah cocok dengan partainya, atau karena calon anggota legislatifnya kebetulan tetangga, mertua, besan, atau konco lawas. Kalaupun belum punya pilihan, mereka sadar pemilu merupakan perangkat demokrasi yang utama. Tanpa pemilu, jangan berpikir demokrasi terlaksana dan negara akan sejahtera. Sebab itu, mereka berpesan jangan pernah berniat tak mencontreng di hari-H.

Akan halnya kaum yang kedua, boleh jadi mereka belum punya pilihan. Di mata mereka, partai politik sama saja: tukang bual dan obral janji. Kampanye cuma ajang tipu-tipu. Ada juga eksesnya: sisi jalan, rimbunan pohon, tiang listrik, dan WC umum semuanya ”tercemar” oleh stiker dan pamflet. Mungkin karena frustrasi, seorang teman di situs jejaring sosial Facebook menulis, ”Tidur siang yang paling enak adalah pada hari pencontrengan.”

Perihal politik yang kotor dan yang suci ini, sudah lama para filsuf dan teoretikus membicarakannya. Paul Ricoeur menyebutnya politik yang rasional dan politik yang durjana. Menanggapi revolusi Hungaria, ia membedakan ”yang politik” dan ”politik”. Yang pertama adalah relasi manusia yang tidak dapat direduksi ke dalam konflik kelas dan kepentingan. Yang kedua adalah bentuk kedurjanaan dan permainan kekuasaan. Keduanya, kata Ricoeur, berbeda namun berada dalam pergulatan yang sama.

Jauh sebelumnya, Machiavelli telah menyebut soal virtue (kebajikan). Politik yang durjana adalah politik yang kehilangan kebajikan.

Pemilu 2009 mestinya merupakan pemilu yang mengandung virtue. Dari sisi pemilih, kebajikan itu bisa dimulai dengan tak sembrono menentukan pilihan.

Salah satu caranya adalah memeriksa silsilah dan akar sejarah para partai—sesuatu yang disajikan edisi khusus Tempo kali ini. Membahasnya dalam diskusi yang gayeng dengan Kevin Evans (pendiri situs www.pemilu.asia) dan Ikrar Nusa Bhakti (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), tim redaksi sampai pada kesimpulan, umumnya partai peserta Pemilu 2009 punya kaitan dengan partai lain di masa lalu.

Ada dua hal yang mengaitkan mereka dengan para ”nenek moyang”: ideologi dan personel. Partai seperti PDI Perjuangan—juga sempalannya seperti PNI Marhaenisme, Partai Demokrasi Pembaruan, dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia—membawa ideologi marhaen yang dulu digagas Bung Karno.

Kaitan personel terlihat dalam partai seperti Hanura dan Gerindra. Meski Wiranto dan Prabowo Subianto mati-matian mengatakan mereka adalah partai baru, sulit untuk menghapus ingatan bahwa mereka mendirikan partai karena kecewa kepada Partai Golkar. Prabowo terpental dari konvensi Beringin 2004, dan Wiranto, meski terpilih menjadi calon presiden Golkar, nyatanya tak disokong oleh para kader.

Silsilah partai-partai itu—dari 1945 hingga 2009—lalu disusun berdasarkan kategori aliran. Maka tersebutlah kelompok Bintangis, Beringinis, Bantengis, Nasrani, serta Buruh dan Sosial Demokrat.

Kelimanya tentu bukan kategori yang zakelijk. Bintangis merujuk pada partai-partai Islam yang dulu disatukan Orde Baru ke dalam Partai Persatuan Pembangunan. Mereka yang tergabung dalam kategori ini adalah partai yang membentuk dan menjadi pecahan partai Ka’bah itu. Penjelasan yang sama bisa dipakai untuk menerangkan kelompok Bantengis.

Adapun Beringinis mengacu pada ”partai tengah”—yang ideologinya tak kiri dan tak kanan—dan mengedepankan prinsip developmentalisme. Dalam kategori ini, masuk juga Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa. Meski sejarah kedua partai menunjukkan persinggungan mereka dengan kelompok Bintangis, faktanya kedua partai tak ”ke kanan” ketika isu syariat Islam dan pornografi dulu ramai diperdebatkan di legislatif. Dalam dua isu yang terakhir ini, membaca aliran partai menjadi relevan.

Meneropong sepak terjang partai politik juga penting. Untuk partai yang ikut Pemilu 2004, perilaku wakilnya bisa dilihat di legislatif. Jika berharap korupsi diberantas, jangan pilih calon anggota legislatif bermasalah atau partai politik yang kadernya banyak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika ingin isu perempuan diperjuangkan, jangan berharap pada partai yang sedikit memasang wanita dalam daftar calonnya.

Partai baru bisa dilihat dari rekam jejak tokoh dan pendirinya. Memang, tak ada yang sepenuhnya bersih dari dosa. Tapi, paling tidak, pilihlah mereka yang paling sedikit membuat kesalahan terhadap sesama. Mereka yang pernah dituding melakukan kejahatan besar ada baiknya dilupakan saja.

Mungkin inilah saatnya menjadi Bibi Titi Teliti—kelinci cerewet dalam cerita anak-anak Bobo. Jika setelah itu hati belum juga mantap memilih, apa boleh buat, mari tidur siang saja.

Tim Edisi Khusus PEMILU 2009:

Penanggung Jawab: Arif Zulkifli
Kepala Proyek: Sunudyantoro dan Yandi M. Rofiyandi
Penyunting: Arif Zulkifli, Amarzan Loebis, Purwanto Setiadi, M. Taufiqurohman, Hermien Y. Kleden, Yosrizal Suriaji, Wahyu Muryadi, L.R. Baskoro, Bina Bektiati, Budi Setyarso, Nugroho Dewanto, Idrus F. Shahab
Penulis: Sunudyantoro, Budi Riza, Yandi M. Rofiyandi, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Kurie Suditomo, Dwidjo U. Maksum, Yuliawati, Wahyu Dhyatmika, Agus Supriyanto, Widiarsi Agustina, Bagja Hidayat, Anton Aprianto, Adek Media Roza, Philipus Parera, Sapto Pradityo
Penyumbang Bahan: Akbar Tri Kurniawan, Agung Sedayu, Munawwaroh (Jakarta), Adi Warsidi (Banda Aceh)
Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho
Riset: Indria Sari Susanti dan Endang Ishak
Foto: Rully Kesuma (Kepala), Bismo Agung, Mazmur Andilala Sembiring, Aryus P. Soekarno
Desain: Gilang Rahadian (Kepala), Fitra Moerat Sitompul, Kendra H. Paramita, Kiagus Auliansyah, Aji Yuliarto, Agus Darmawan S., Danendro Adi, Hendy Prakasa, Tri Watno Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum