Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOTOT Sugianto melongo melihat daftar pemilih tetap yang diterimanya dari Panitia Pemungutan Suara tiga pekan lalu. ”Seingat saya, Pak Yus Pratomo sudah meninggal tujuh bulan lalu,” kata Ketua Rukun Tetangga 01, Rukun Warga V, Desa Bojongsari, Kecamatan Kembaran, Purwokerto, Jawa Tengah, itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Selain mendiang, menurut Totot, ada sejumlah nama yang sudah pindah domisili sejak lima bulan lalu. Menurut Zen Afroni, Ketua Panitia Pengawas Kecamatan Kembaran, setidaknya 121 orang yang sudah wafat masih tercantum di daftar pemilih tetap. ”Jelas sekali tak ada pemutakhiran data,” kata Zen,
Totot bercerita, pemerintah desa terakhir meminta pembaruan data warganya pada April 2008, menjelang pemilihan Gubernur Jawa Tengah. Setelah itu, ”Sampai sekarang kami tak pernah diminta menyerahkan daftar warga,” katanya. ”Tahu-tahu dikirimi daftar pemilih.”
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum, Bambang Eka Cahya Widodo, mengatakan pihaknya banyak menemukan penggelembungan daftar pemilih. Di Trenggalek, Jawa Timur, misalnya, 6.115 pemilih punya nomor induk kependudukan sama. ”Jumlahnya cukup signifikan di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” kata Bambang kepada wartawan Tempo, Pramono, Senin pekan lalu.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristianto, mengaku tak kaget dengan berbagai temuan itu. Ia yakin ada pihak tertentu yang diuntungkan dengan penggelembungan ini. Sebab, dalam sistem suara terbanyak, selisih satu sangat besar artinya.
Setidaknya ada tujuh modus penggelembungan. Menurut Hasto, yang mudah ditemukan adalah nama sama dengan nomor induk kependudukan berbeda. Lalu, nama beda tapi nomor induk sama, dan nomor induk kependudukan yang seharusnya hanya berupa kombinasi angka-angka dimodifikasi dengan menyisipkan huruf-huruf.
Kemudian, nama dan nomor induk sama tapi di tempat pemungutan suara berbeda, nama-nama pemilih fiktif dikombinasikan, nomor induk tidak standar, juga pemilih belum genap 17 tahun dan belum menikah, bahkan belum lahir. ”Ini modusnya kayak pemilihan Gubernur Jawa Timur kemarin,” kata Hasto.
Menurut Hasto, bukan tak mungkin kasus Jawa Timur berulang dalam skala nasional. Jika pemilu tetap dilaksanakan dengan kondisi seperti itu, banyak pihak tak akan puas. ”Kalau dipaksakan, tentu akan mengurangi kredibilitas proses demokrasi,” kata Hasto.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary membantah soal manipulasi data. Kalaupun ada kesalahan, sifatnya administratif. ”Coklit”, alias pencocokan dan penelitian, tak dilakukan menyeluruh. Dalihnya, di jadwal verifikasi tahun lalu anggaran dari pemerintah tak mengucur.
Hafiz yakin persoalan ini bisa diselesaikan sebelum 9 April. ”Tak benar pemilu terancam gagal,” katanya. ”Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga.”
Anggota Komisi, I Gusti Putu Artha, meminta kasus Jawa Timur tak digeneralisasi. ”Itu prosesnya beda dan datanya juga beda,” kata Putu. Sebagai antisipasi, pihaknya sudah menginstruksikan Komisi di daerah memverifikasi ulang.
Soft copy daftar pemilih juga dibagikan ke partai politik, supaya partai ikut menyisir ulang dan melapor ke Komisi. ”Cukup nanti diberi tanda sehingga di tempat pemungutan tidak disalahgunakan,” kata Putu.
Menurut Ketua Dewan Kehormatan Komisi, Jimly Asshiddiqie, penyisiran itu wajib untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Data fiktif harus dicoret. Kalaupun kesalahan lolos dan terjadi kecurangan, dia meminta partai mengumpulkan bukti sebagai bahan beperkara di Mahkamah Konstitusi.
Komisi dan Mahkamah, kata Jimly, hanya akan menangani kasus yang sudah siap. ”Kalau tak cukup bukti, tak akan ditindaklanjuti.” Laporan juga harus cepat, maksimal 25 hari setelah hari-H. Bersengketa di Mahkamah pun hanya 30 hari.
Mahkamah hanya mengadili sengketa hasil pemilu, bukan prosesnya. Artinya, kalau terbukti ada kecurangan, tak bakal dilakukan pemungutan suara ulang. ”Waktunya terlalu mepet dengan pemilu presiden,” kata Jimly.
Agus Supriyanto, Aris Andrianto (Purwokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo