SUATU pulau kerajaan buaya telah bubar. Terletak di tengah muara
Sungai Kapuas Kecil, sekitar 16 km dari Pontianak, pulau itu
dulu kala dikenal sebagai tempat buaya beranak pinak. Kini di
situ sunyi. "Dulu, ketika saya masih muda, selalu terlihat nenek
berjemur di pulau itu," tutur Lebeng, 62 tahun, nelayan dari
Pontianak. Nenek adalah sebutan halus untuk buaya, agar
penyebutnya tidak diganggunya.
Hal buaya tiba-tiba menjadi pikiran orang Pontianak ketika di
kota itu berlangsung Pekan Ekspot Hasil Hutan Ikutan (HHI),
25-27 Januari. Yang disebut HHI dalam pekan itu bukan hanya
damar, rotan, getah jelutung, tengkawang dan sebangsanya. Tapi
juga kulit ular, biawak, dan buaya. Lebih mengejutkan lagi bukan
saja kulit, tapi buaya hidup pun dianggap sebagai HHI.
Sesungguhnya kini hampir tak pernah lagi terlihat buaya berenang
di banyak sungai di kawasan Kalimantan Barat. Pekan itu justru
menekankan bahwa ekspor kulit buaya menjadi salah satu tumpuan
harapan untuk menunjang ekspor nonminyak.
Ekspor buaya hidup dari Kal-Bar sebagian besar dilakukan oleh
Bong Pak Kiong, alias Sariman, 47 tahun. Pada 1980, katanya, ia
masih bisa mengirim buaya hidup ke Hongkong, Singapura dan
Jepang sebanyak 575 ekor, tapi tahun lalu hanya 200 ekor. Ini
menunjukkan makin sulit menangkap buaya, dan diduga karena
populasinya di Kalbar memang menurun.
Benar, di sepanjang Sungai Kapuas masih ada orang yang kerjanya
menangkap buaya. "Tapi beberapa tahun belakangan ini jarang
sekali mereka berhasil," tutur Ateng, seorang pemilik perusahaan
penggergajian kayu di pinggir Kapuas.
Waltan Daulat Sinaga, Kepala Sub Perlindungan dan Pelestarian
Alam (PPA) Kal-Bar, mengatakan pemburuan buaya sejak tahun
1960-an tidak lagi menaati adat tradisional. Dulu hanya pawang
yang berburu buaya. Dan sang pawang pun hanya bisa menangkap dan
membunuh buaya yang dianggap berdosa, misalnya, menyambar orang
yang lagi mandi di kali. Bila seseorang membunuh buaya yang tak
berdosa, menurut kepercayaan penduduk di Kal-Bar, dia hanya
mengundang bencana, lalu mereka tak akan merasa aman lagi mandi
dan mencuci di sungai.
Kepentingan bisnis kemudian ternyata mematahkan adat mdisional
yang mengatur hubungan manusia-buaya agar pihak masing-masing
merasa aman. Kulit buaya dan daging buaya bisa ditukar dengan
lembaran uang yang tidak sedikit.
Di Kal-Bar, terdapat jenis buaya muara (Crocodylus porosus),
yang paling dicari. Kulitnya lemas, tidak kaku. Warnanya cokelat
muda berbecak-becak hitam. Indah memang untuk tas, sepatu dan
sebagainya. Dan daging buaya muara ini manjur untuk mengobau
penyakit kulit. "Di Singapura orang percaya darah buaya ini bisa
menyembuhkan kanker," kata Bong Pak Kiong, pengekspor buaya itu.
Sejumlah orang pun percaya, tangkur buaya -- bila dicampur
reramuan obat Tionghoa -- menjadi obat kuat yang luar biasa. Itu
semua mengakibatkan pemburuan buaya di Kal-Bar meningkat sejak
1960-an.
Reptil itu dalam legenda Jawa pernah dijinakkan Jaka Tingkir --
calon raja Pajang -- dan diminta mendorong rakitnya. Usaha
melindunginya bukannya tiada. Menteri Pertanian lewat SK No.
716/1980 menyatakan buaya muara sebagai satwa yang dilindungi.
Lantas Direktorat Pemeliharaan Alam, Ditjen Kehutanan, antara
lain menetapkan bahwa: 20% dari buaya yang tertangkap untuk
diekspor harus dikembalikan ke alam bebas.
Peraturan boleh berbunyi, tapi di lapangan lain lagi halnya.
"Kita tidak memiliki sarana dan tenaga pengawas yang efektif,"
tutur Kepala Sub PPA Kal-Bar. Sementara harga buaya usia 2-3
tahun: Rp 200.000.
Bagaimana dengan peternakan buaya? Bong Pak Kiong memang
memilikinya. Dua petak tanah seluas masing-masing 20 x 10 m,
terletak di Km 11 Pontianak. Tapi peternakan ini sejak 1968
tidak selancar yang diharapkannya. Kini Kiong hanya memelihara
buaya-buaya kecil. Tapi buaya liar tetap diburu, karena
peternakannya kurang berhasil.
Suaka alam untuk buaya direncanakan 10 tempat di Kal-Bar tapi
baru diresmikan empat tempat. Tenaga pengawas kurang sekali
untuk itu. Berbeda dengan di Kal-Bar, menurut Sutadi Ketua Badan
Pengembangan Ekspor Nasional, peternakan buaya di Irian Jaya
sukses, bahkan perlu dikurangi jumlahnya agar tidak berkeliaran.
Orang seperti Bong Pak Kiong sebaiknya mengalihkan perhatian ke
Irian Jaya demi kesinambungan ekspornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini