Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ke mana nenek pergi?

Ekspor buaya hidup dari kal-bar menjadi tumpuan harapan untuk menunjang ekspor non minyak. pemburuan buaya sejak th 1960-an tidak lagi menaati adat tradisional. (ling)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU pulau kerajaan buaya telah bubar. Terletak di tengah muara Sungai Kapuas Kecil, sekitar 16 km dari Pontianak, pulau itu dulu kala dikenal sebagai tempat buaya beranak pinak. Kini di situ sunyi. "Dulu, ketika saya masih muda, selalu terlihat nenek berjemur di pulau itu," tutur Lebeng, 62 tahun, nelayan dari Pontianak. Nenek adalah sebutan halus untuk buaya, agar penyebutnya tidak diganggunya. Hal buaya tiba-tiba menjadi pikiran orang Pontianak ketika di kota itu berlangsung Pekan Ekspot Hasil Hutan Ikutan (HHI), 25-27 Januari. Yang disebut HHI dalam pekan itu bukan hanya damar, rotan, getah jelutung, tengkawang dan sebangsanya. Tapi juga kulit ular, biawak, dan buaya. Lebih mengejutkan lagi bukan saja kulit, tapi buaya hidup pun dianggap sebagai HHI. Sesungguhnya kini hampir tak pernah lagi terlihat buaya berenang di banyak sungai di kawasan Kalimantan Barat. Pekan itu justru menekankan bahwa ekspor kulit buaya menjadi salah satu tumpuan harapan untuk menunjang ekspor nonminyak. Ekspor buaya hidup dari Kal-Bar sebagian besar dilakukan oleh Bong Pak Kiong, alias Sariman, 47 tahun. Pada 1980, katanya, ia masih bisa mengirim buaya hidup ke Hongkong, Singapura dan Jepang sebanyak 575 ekor, tapi tahun lalu hanya 200 ekor. Ini menunjukkan makin sulit menangkap buaya, dan diduga karena populasinya di Kalbar memang menurun. Benar, di sepanjang Sungai Kapuas masih ada orang yang kerjanya menangkap buaya. "Tapi beberapa tahun belakangan ini jarang sekali mereka berhasil," tutur Ateng, seorang pemilik perusahaan penggergajian kayu di pinggir Kapuas. Waltan Daulat Sinaga, Kepala Sub Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) Kal-Bar, mengatakan pemburuan buaya sejak tahun 1960-an tidak lagi menaati adat tradisional. Dulu hanya pawang yang berburu buaya. Dan sang pawang pun hanya bisa menangkap dan membunuh buaya yang dianggap berdosa, misalnya, menyambar orang yang lagi mandi di kali. Bila seseorang membunuh buaya yang tak berdosa, menurut kepercayaan penduduk di Kal-Bar, dia hanya mengundang bencana, lalu mereka tak akan merasa aman lagi mandi dan mencuci di sungai. Kepentingan bisnis kemudian ternyata mematahkan adat mdisional yang mengatur hubungan manusia-buaya agar pihak masing-masing merasa aman. Kulit buaya dan daging buaya bisa ditukar dengan lembaran uang yang tidak sedikit. Di Kal-Bar, terdapat jenis buaya muara (Crocodylus porosus), yang paling dicari. Kulitnya lemas, tidak kaku. Warnanya cokelat muda berbecak-becak hitam. Indah memang untuk tas, sepatu dan sebagainya. Dan daging buaya muara ini manjur untuk mengobau penyakit kulit. "Di Singapura orang percaya darah buaya ini bisa menyembuhkan kanker," kata Bong Pak Kiong, pengekspor buaya itu. Sejumlah orang pun percaya, tangkur buaya -- bila dicampur reramuan obat Tionghoa -- menjadi obat kuat yang luar biasa. Itu semua mengakibatkan pemburuan buaya di Kal-Bar meningkat sejak 1960-an. Reptil itu dalam legenda Jawa pernah dijinakkan Jaka Tingkir -- calon raja Pajang -- dan diminta mendorong rakitnya. Usaha melindunginya bukannya tiada. Menteri Pertanian lewat SK No. 716/1980 menyatakan buaya muara sebagai satwa yang dilindungi. Lantas Direktorat Pemeliharaan Alam, Ditjen Kehutanan, antara lain menetapkan bahwa: 20% dari buaya yang tertangkap untuk diekspor harus dikembalikan ke alam bebas. Peraturan boleh berbunyi, tapi di lapangan lain lagi halnya. "Kita tidak memiliki sarana dan tenaga pengawas yang efektif," tutur Kepala Sub PPA Kal-Bar. Sementara harga buaya usia 2-3 tahun: Rp 200.000. Bagaimana dengan peternakan buaya? Bong Pak Kiong memang memilikinya. Dua petak tanah seluas masing-masing 20 x 10 m, terletak di Km 11 Pontianak. Tapi peternakan ini sejak 1968 tidak selancar yang diharapkannya. Kini Kiong hanya memelihara buaya-buaya kecil. Tapi buaya liar tetap diburu, karena peternakannya kurang berhasil. Suaka alam untuk buaya direncanakan 10 tempat di Kal-Bar tapi baru diresmikan empat tempat. Tenaga pengawas kurang sekali untuk itu. Berbeda dengan di Kal-Bar, menurut Sutadi Ketua Badan Pengembangan Ekspor Nasional, peternakan buaya di Irian Jaya sukses, bahkan perlu dikurangi jumlahnya agar tidak berkeliaran. Orang seperti Bong Pak Kiong sebaiknya mengalihkan perhatian ke Irian Jaya demi kesinambungan ekspornya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus