BEKERJA di dataran rendah, di rawa, ataupun di lepas pantai,
Pertamina sudah bisa. Mencari minyak dan gas bumi, Pertamina
sudah trampil. Kini perusahaan negara itu bersiap-siap pergi ke
dataran tinggi, daerah pegunungan. Sasaran barunya ialah sumber
energi geothermal, uap panas bumi.
Sebenarnya Pertamina berusaha mengelola panas bumi sejak 1974.
Krisis minyak yang melanda dunia waktu itu mendorong Indonesia
mencari sumber energi pengganti. Teknologi yang dipakai untuk
geothermal hampir sama dengan yang diterapkan untuk mencari
minyak dan gas bumi. Sama-sama memerlukan tahapan eksplorasi dan
pengeboran. Itu sudah dilakukan Pertamina di Kamojang (Jawa
Barat), kemudian di Dieng (Jawa Tengah). Ternyata berhasil.
Bahkan uap yang muncrat di dua wilayah itu sudah menghasilkan
listrik. PLTP (Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi) di Kamojang kini
baru hanya memenuhi kebutuhan kegiatan Pertamina setempat saja,
tapi PLTP Dieng (berkapasitas 2000 kw) punya kelebihan daya
listriknya untuk daerah pedesaan sekitarnya lewat jaringan PLN.
Namun semua kegiatan untuk geothermal itu sejak 1974 berjalan
lamban, dan tak banyak terdengar. Memang pasoalannya tak
tergantung pada Pertamina saja. Antara lain Pertamina perlu
menyesuaikan jadwal kerjanya jauh kedepan dengan perencanaan
PLN. Adalah PLN yang menampung uap panas bumi nanti untuk
dijadikan listrik yang kemudian disalurkan lewat jaringannya.
Pengembangan sumber energi geothermal ini direncanakan di
seluruh tndonesia. Di mana ada gunung api, di situ terbuka
kemungkinannya. Seluruh potensinya di Indonesia, menurut
perkiraan Pertamina, bisa mencapai 10.000 MW. Di antaranya 5.500
MW di Pulau Jawa saja. Dengan potensinya sebesar itu dan padat
pula penduduknya, Jawa dapat prioritas dalam rencana ini.
Pertamina sudah mulai menawarkan beberapa wilayah kerja di Jawa
pada kalangan kontraktor asing. Adalah Union Oil Co., satu
perusahaan Amerika, yang akan menandatangani kontrak pertama
dengan Pertamina untuk eksplorasi dan produksi uap panas.
Tanggalnya belum diumumkan, tapi, menurut sumber Pertamina,
mungkin dalam pekan ini juga.
Union Oil, produsen uap panas terbesar di dunia, yang sudah
banyak mengembangkan proyek geothermal di California (AS), konon
akan beroperasi di wilayah Gurung Salak dan Cisolok (Ja-sar).
Potensi wilayah itu ditaksir 450 MW. Seluas 60.000 ha konon
disediakan untuk Union Oil.
Untuk itu perundingan Union-Pertamina sudah berlangsung sejak
1976. Waktu sekian lama suatu pertanda bahwa kontraktor asing
belum begitu tertarik pada Joint Operation Contract (Kontrak
Operasi Bersama) yang ditawarkan untuk proyek geothermal.
Berbeda dengan kontrak bagi hasil (production sharing) untuk
minyak bumi, JOC ini tidak memungkinkan ekspor atas bagian
hasilnya.
Memang tak akan bisa uap panas bumi diekspor. Satu-satunya
pembelinya di Indonesia nanti ialah PLN. Bisakah berlaku harga
komersial? Ini jadi problem bagi pihak kontraktor asing maupun
Pertamina. Tapi ada gagasan, yang mungkin menarik bagi
kontraktor asing, untuk mengaitkan harga uap itu dengan harga
minyak internasional. Akibatnya, listrik tentu akan terpokok
mahal bagi PLN. Sedang PLN menjualnya harus sesuai dengan tarif
tetap yang ditentukan pemerintah.
Sebaliknya dengan tersedianya uap panas bumi, kata Ir. N. Sutan
Assin, Kepala Direktorat Eksplorasi Produksi Pertamina
padaTEMPO, kemampuan Indonesia mengekspor minyak bisa
dipertahankan. Ekspor minyak itu terancam dimasa depan dengan
naiknya tingkat konsumsi BBM--sekitar 11% setahun-di dalam
negeri.
Biasanya terpakai 35 barrel BBM sehari atau 12.775 barrel BBM
setahun untuk membangkitkan tiap MW. sila minyak itu bisa
diekspor, dengan US$ 34/barrel saja, akan ada penghematan US$
434.350/tahun jika tiap MW dibangkitkan dengan uap panas bumi.
Tapi bukan kaitan dengan harga minyak internasional yang
tampaknya jadisoal besar. Adalah kaitan jadwal Pertamina dengan
PLN yang masih jadi tanda tanya. Misalnya, PLN harus
menyesuaikan perencanaannya membangun PLTP, tapi mungkin tak
tersedia biaya nanti baginya. Sebaiknya, kata Sutan Assin lagi,
pelaksanaan rencana pembangunan PLTP itu diserahkan saja pada
Pertamina.
Pertamina tampaknya sudah menyusun rencana tahap demi tahap.
Tahun ke-5, tahap terakhir, kaitannya dengan PLN--pembangunan
PLTP. Jika kegiatan tahap pertama dimulai sekarang, baru 6 atau
8 tahun kemudian listrik dari energi geothermal dapat disalurkan
PLN pada pelanggannya.
Masalah tenaga kerja yang terlatih tak kurang pentingnya dalam
tahaptahap sebelumnya, mulai berbagai penyelidikan sampai
pengeboran eksplorasi (ke-3) dan pengeboran produksi (ke-4).
Karena itu partisipasi kontraktor asing diharapkan. Joint
Operation Contract, menurut M.A. Warga Dalem, seorang teknolog
Pertamina, bisa membuka kesempatan bagi pengalihan teknologi dan
sekaligus melatih orang Pertamina.
Sudah Terpaksa
Sejumlah ahli pengeboran Pertamina secara tak langsung pernah
belajar di Filipina, negara yang cepat maju memanfaatkan energi
geothermal. Dalam hal ini Filipina berada dalam urutan kedua
(446 MW) sampai Desember 1980, di bawah Amerika Serikat (938
MW), dan di atas Italia (440 MW).
Pada mulanya, sejak ada kontrak bantuan teknik tahun 1976 dengan
Philippine National oil Company, Pertamina mengirim tenaga
ahlinya ke sana melatih orang Filipina mengebor minyak-sempat
sampai tiga angkatan. Ternyata mereka terpakai mengebor untuk
proyek geothermal, kata Warga Dalem, sementara para pelatih dari
Pertamina akhirnya dapat tambahan pengalaman pula.
Dalam tingkat pemerintah, Selandia Baru pertama-tama membantu
Indonesia dengan grant untuk proyek panas bumi, seperti yang
sudah dan masih berlangsung di Kamojang. Untuk seterusnya pergi
kerja ke daerah pegunungan, menurut Sutan Assin, Pertamina
rasanya tak gentar sendirian. "Sudah terpaksa," katanya. Tapi
kerjasama kontraktor asing, tentu saja, akan mempercepat langkah
Indonesia memasuki zaman geothermal.
Kini Indonesia belum tercatat dalam daftar negara-negara yang
memanfaatkan energi geothermal. Tapi rencana pemanfaatannya oleh
PLN mencapai 190 MW pada akhir Pelita 111 (1984). Maka tak lama
lagi Indonesia akan terdaftar juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini