DIA seorang dokter muda, 38 tahun. Tapi la risau terus, karena
rasa badannya tak keruan: pegal-pegal, lemas, pusing dan nyeri
di bagian pelipis. Anehnya, nafsu makannya membubung terus,
sehingga tubuhnya gemuk.
Gejala penyakit itu tak bisa diatasinya. Malahan tambah
menjadi-jadi. Kemudian jantungnya terasa seperti dipacu setan.
Berdebar kencang tak peduli karena kaget atau tidak.
Mengeluarkan tenaga sedikit saja, seperti naik tangga atau
bahkan berbicara cukup lama, membuat dia seperti orang mau
semaput dan berkeringat dingin.
Pikirannya kacau, cemas. Kalau dicobanya memusatkan pikiran,
keadaannya tambah kacau lagi. Dia panik dan khawattir
jangan-jangan dia akan menjadi gila.
Robby, nama panggilan intim dokter itu, meminta bantuan
koleganya. Tak kurang 18 dokter dari berbagai keahlian mencoba
mencari penyebab gejala penyakit yang dideritanya itu. Tapi
semuanya memberikan jawaban yang sama: "Anda menunjukkan gejala
neurotik." Artinya merasa sakit padahal sebenarnya dia
sehat-sehat saja.
Karena hampir putus asa ia mulai percaya pada dukun, ketika ada
yang mengatakan dia "kena guna-guna". Nasihat dukun untung tak
sempat diturutinya. Karena nasihat itu berbunyi: agar dia
berendam dalam tong berisi air mendidih.
Sampai pada suatu malam, ketika dia mau menuliskan resep untuk
pasiennya, sekonyong-konyong tangannya tak bisa digerakkan. Dia
langsung diangkut ke rumahsakit. Darahnya diperiksa. Ditemukan
kaliumnya cuma 3,1 meq/liter. Satu keadaan yang sangat kritis.
Sebab kalau sudah turun sampai 2,8, dia tak tertolong lagi.
Selama 10 hari mendekam di rumah sakit,dia banyak memakan
buah-buahan yangmembuat kalium dalam darahnya naik kembali.
Tetapi ketika kebiasaan lamanya diulang kembali, yaitu banyak
makan di luar, jajan, gejala-gejala penyakit yang membikin
senewen itu kambuh lagi.
Dia mulai mencurigai kebiasaan makannya. Dan teringat pada
keterangan seorang dokter yang muncul di TVRI April 1981. Dr.
Iwan S. Budiarso ketika itu menjelaskan bahwa Monosodium
Glutamat (MSG, disebutkan juga vetsin) yang diberikan pada anak
ayam percobaan, bisa membikin lemas binatang itu setengah jam
kemudian. Ketika dibedah ditemukan jantung anak ayam itu seperti
disemen dan ada yang separuh ginjalnya berkapur. Ada pula yang
mengalami perkapran di sendi-sendi tulang.
Robby, dokter yang suka jajatl itu mengingat-ingat jumlah vetsin
yang sering ditelannya bersama makanan-makanan
lezat.Diam-diam,ditakarnya di rumah. Tercengang dia menemukan
bahwa saban hari dia memakan kira-kira 15 gram vetsin. Jumlah
yang sudah melebihi takaran yang diperkenankan badan kesehatan
dunia (WHO), yaitu 6 gram/hari. "Barangkali saya sensitif
terhadap MSG," kata dr. Robby kepada wartawan TEMPO Yohannes
Batubara.
Penderitaan dr. Robby dan kisah dia sehat kembali dimuat dalam
majalah Intisari (Januari 1982). Tulisan itu mengundang banyak
surat pernyataan simpati. Tetapi tak kurang banyak pula mereka
yang menganggap artikel (tanpa nama pengarang) itu sebagai ilusi
belaka. "Gejala-gejala yang diceritakan itu memang menunjukkan
gejala hypokalemia (kadar kalium rendah)," kata Sunarto
Prawirosuyanto, bekas Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan yang sekarang duduk sebagai pimpinan Federasi Industri
Pengolahan Makanan. Tetapi, tak sebuah literatur pun yang pernah
menyebutkan bahwa hypokalemia disebabkan oleh MSG (vetsin).
Sunarto memperkirakan dr. Robby menderita diabetic acidosis
(penyakit gula).
Kepada TEMPO, Robby menyebutkan tulisannya di Intisari itu untuk
mengugah para peneliti Indonesia menyelidiki apakah vetsin
berbahaya terhadap manusia dan apakah bumbu masak itu bisa
menyebabkan hypokalemia.
Untuk melakukan percobaan langsung terhadap manusia, para
peneliti akan terbentur pada masalah etika (takut kalau-kalau
orang yang bersangkutan kecelakaan). Tapi sebuah surat yang
dialamatkan kepada Intisari menyatakan si penulis menderita
gejala yang sama seperti diderita Robby dan menyediakan dirinya
untuk bahan percobaan.
Meskipun percobaan pada manusia itu belum dilakukan, di tempat
prakteknya selama 3 tahun belakangan ini dr. Robby paling tidak
mencatat 150 pasien yang mengeluh dengan gejala yang mirip.
Memang, sejak Dr. Iwan Budiarso mengumumkan hasil menelitiannya
mengenai pengaruh MSG terhadap anak ayam, tidak pernah
terdengar ada peneliti lain yang memperluas sasaran penelitian.
Di Bagian Patologi Universitas Tarumanegara, Jakarta, sejak 6
bulan lalu para peneliti memang menyelenggarakan penelitian.
Tetapi baru terbatas untuk menamati pengaruh MSG terhadap herat
badan dan fertilitas yang dijadikan alat percobaan adalah
beberapa ekor tikus. Hasilnya: setelah disuntik cairan MSG,
binaung-binatang itu jadi gemuk, ekor mereka lebih pendek dan
kepala, biji zakar serta vagina lebih kecil dari semestinya.
Hasil penelitian di bawah pengarahan Dr. lwan Budiarso itu baru
akan diumumkan 6 bulan lagi.
Masalah bumbu masak ini nampaknya akan tetap menjadi bahan
pertentangan pendapat. Untuk memerangi penyakit mata di antara
6,5 juta penduduk Indonesia, Departemen Kesehatan akan
mencapurkan Vitamin A pada vetsin. Alasannya vetsin amat populer
di kalangan penduduk (TEMPO 7 November 1981). "Tapi apakah
vetsin ini memang kuda tunggangan yang baik. Selain Vitamin A
yang berlebihan bisa mengakibatkan keracunan, MSG sendiri sudah
terbukti di berbagai penelitian bisa mengakibatkan kerusakan
retina mata," kata Iwan Budiarso.
Iwan sendiri tidak anti-bumbu masak. Tapi soalnya bagaimana
melindungi masyarakat agar tidak menggunakannya secara salah.
"Saya kira bila dicampur dengan garam, adalah salah satu jalan
yang tepat," katanya. Di Jepang, menurut Iwan, vetsin dicampur
dengan garam yang populer dengan nama Aji-Shio.
Pihak Depkes sendiri menganggap konsumsi per kapita vetsin di
Indonesia cukup aman: 0,5 gram/hari. "Dia tidak akan
membahayakan kesehatan kalau dimakan dalam jumlah yang tidak
berlebihan," kata Dirjen POM, Dr. Midian Sirait. Cuma soalnya
sekarang Depkes masih mencari formula agar Vitamin A yang
dicampurkan ke vetsin itu tidak berlebihan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini